Wabah demam babi afrika menggerus pasokan dan mengubah lanskap pasar daging dunia. Dengan surplus produksi ayam, Indonesia semestinya bisa memanfaatkan situasi itu untuk mengisi sebagian kebutuhan daging dunia.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Serangan demam babi afrika (african swine fever/ASF) telah menewaskan ratusan juta babi di 50 negara, termasuk China, sebagai produsen daging babi terbesar dunia. Kondisi ini berdampak terhadap lanskap pasar daging dan pakan global.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) Monique Eliot, dalam wawancara dengan Reuters menyebutkan, ada risiko untuk semua negara. Sebab, ada banyak sumber kontaminasi potensial.
Demam babi afrika tidak berbahaya bagi manusia, tetapi dapat ditularkan turis yang membawa roti isi ham atau sosis dari negara yang terkontaminasi. Roti yang dibuang digunakan peternak untuk memberi makan babi.
Selain China dan Uni Eropa, Vietnam, Filipina, Korea Utara, Korea Selatan, Laos, Myanmar, Kamboja, dan kini Indonesia, berjuang melawan penyebaran wabah penyakit ini. Di Indonesia, virus telah menjangkiti dan mematikan lebih dari 30.000 babi di 16 kota/kabupaten di Sumatera Utara sejak kasus pertama di Kabupaten Dairi pada awal September 2019.
Tak hanya menghancurkan populasi babi di Asia, penyebaran demam babi afrika juga membuat harga daging babi di tingkat internasional meroket. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebutkan, sejauh ini indeks harga daging naik 12,5 persen pada 2019, level tertinggi sejak Januari 2015. Adapun kelompok daging babi naik lebih dari 20 persen.
China dilaporkan ”menjelajahi dunia” untuk mencari daging demi menggantikan jutaan babi yang terserang wabah. Uni Eropa, produsen daging babi terbesar kedua dunia, telah meningkatkan penjualan ke China meski hanya mengisi sebagian kekurangan akibat wabah tersebut.
Sementara Argentina dan Brasil telah menyetujui pabrik ekspor baru untuk memenuhi permintaan daging sapi, ayam, dan babi. Brasil mengekspor 1,64 juta ton daging sapi pada 2018 dan 19,3 persen dari total volume itu dikirim ke China. Tahun ini, ekspor Brasil diperkirakan naik jadi 1,8 juta ton.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sebenarnya berpeluang mengisi pasar daging dunia, khususnya dengan daging ayam yang berlebih di pasar lokal. Apalagi, menurut data Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian, produksi daging ayam ras pada 2019 diperkirakan 3,82 juta ton. Padahal, kebutuhan nasional diperkirakan 3,25 juta ton. Artinya, ada surplus lebih dari 500.000 ton yang bisa diekspor Indonesia.
Alih-alih mendongkrak ekspor, kebijakan yang ditempuh pemerintah justru sebaliknya, yakni mengurangi produksi karena alasan stabilisasi harga. Rapat koordinasi perunggasan pada 19 November 2019, misalnya, memutuskan pengurangan telur tertunas (hatching egg) 7 juta butir per pekan atau 28 juta butir sepanjang Desember 2019.
Keputusan serupa bukan hanya terjadi kali ini. Dalam beberapa tahun terakhir, harga jual daging dan atau telur ayam yang anjlok sering diatasi dengan mengurangi produksi, bukan memperbesar pasar. Dalam situasi nan ironis itu, pasar dalam negeri ”dirongrong” daging ayam impor yang lebih murah, terutama dari Brasil, seiring kekalahan Indonesia di forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Selain menggenjot pengolahan di hilir serta memperluas pasar, pemerintah dan para pelaku industri peternakan nasional perlu mengatasi sederet problem di hulu, terutama ongkos produksi yang tinggi. Tujuannya, produk ayam makin berdaya saing dan kompetitif di pasar global.
Indonesia mestinya bisa memanfaatkan gejolak harga daging di pasar global dengan menyuplai kebutuhan dunia, khususnya daging ayam, yang telah surplus. Semestinya Indonesia bisa.