Berhaji
Perempuan itu mulai menjauhkan tubuhnya dari tangan keriput ibunya. Setiap kali ibunya berusaha menjangkau, dia kembali mengelakkannya. Matanya semakin garang menghunjam tatapan ibunya....
Kompas/Supriyanto Cartoons
Matanya memerah. Terlihat jelas sembap itu mengabarkan luka menganga di hatinya. Dia layangkan pandangan ke arah yang entah. Lurus menukik pagar bambu di halaman dan pohon mahoni yang berjejer rapi di sepanjang tubir jalan di depan rumahnya. Dengus napasnya masih terdengar kasar. Ada sakit yang tertanam begitu dalam seperti akar tunggang yang sulit untuk dicabut dan dihilangkan.
Dia tak mau jika usahanya selama ini harus terhenti hanya karena sesuatu yang tak diinginkan. Apa lagi hanya karena isu tabu yang terkesan dibesar-besarkan. Sejak lama dia telah bercita-cita menginjak Tanah Suci Makkah. Berdua ataupun sendiri. Bermandi airnya. Berlari-lari kecil di antara Sofa dan Marwah demi mengingat risalah Siti Hajar yang sedang mencari air untuk anaknya. Dia tak mau semua itu gagal begitu saja. Dia harus segera mendaftarkan diri jika tak mau terlambat.
”Apakah aku salah jika punya kemauan berhaji?”
Dia bergumam pada dirinya sendiri. Senja mulai berbenah hendak rebah bersama cericit burung perkutut dan pipit yang saling berebut pulang ke sarangnya. Sesekali, dengan sehelai sapu tangan yang dia beli beberapa hari lalu, dia usap cairan bening yang masih membasahi pipinya yang memerah.
Tak ada seorang pun yang dapat mendengarkannya. Suaminya pun, sejak beberapa hari lalu, tak kunjung pulang setelah beberapa kali harus bertengkar dan tak ada jalan keluar. Tanpa sepengetahuan istrinya, dia memutuskan pulang ke rumah ibunya. Entah sampai kapan.
******
”Perempuan tak boleh berangkat sendiri. Harus dengan suami. Jika tidak maka suaminyalah yang harus berangkat.”
”Kata siapa tak boleh?”
”Agama!”
”Adakah teks yang menjelaskan seperti yang kau ucapkan tadi?”
Diam.
”Maaf, yang kutahu haji harus tetap dilaksanakan bagi orang yang mampu, dan aku sudah merasa mampu melaksanakannya dengan jerih payahku sendiri.”
”Tapi kau adalah seorang perempuan. Kau harus pergi dengan orang yang bisa mendampingimu.”
”Bukankah Tuhan tak pernah membedakan laki-laki dan perempuan?”
”Perempuan tetaplah perempuan yang berisiko tinggi jika pergi sendiri.”
Sambil mencibir.
”Ya sudah, kita berangkat bersama tapi uangku tak cukup untuk berangkat berdua.”
Kembali diam.
”Kau pilih saja. Aku yang berangkat atau kau tak pernah mendapat izin dariku sekaligus hubungan kita akan berakhir.”
”Mas, ini uangku. Hakku untuk berangkat. Mengapa jadi kamu yang berkuasa?”
Angin berembus pelan. Mereka kembali terdiam. Tatapan bertaut saling menusuk. Penuh amarah. Sore pasrah pada matahari yang mulai bersinar jingga. Ada letup dada tertahan. Ada gejolak terpendam.
Dia hanya bisa terpaku melihat punggung suaminya yang mulai menjauh. Tak ada yang bisa dia katakan. Tiba-tiba dia merasakan hangat mengalir di kedua pipinya yang memerah.
******
”Sudahlah, kau tak boleh angkuh begitu. Suamimu benar mengatakan seperti itu.”
Ada desir mengalir yang tiba-tiba menghangat seiring detak jantungnya yang semakin mengencang dan menegang.
”Tapi, Bu, bukankah yang berhak berangkat adalah aku? Sudah sekian lama aku mendambakannya. Aku tak mau hanya karena masalah ini harus mundur yang berarti digantikan atau tidak sama sekali.”
”Itu sudah tradisi dan aturan agama kita.”
”Tradisi tidaklah benar selamanya, Bu. Ada kalanya kita menolaknya meskipun juga tak jarang kita menerimanya. Dalam hal ini aku menolaknya.”
Tatap matanya tajam menghunjam tatapan ibunya yang teduh. Seperti tak sedang berbicara dengan orang yang selama ini dicintainya. Entah dari mana dia dapat kekuatan seperti itu. Dia pun sendiri tak tahu.
Mashitah, ibunya, hanya tersenyum simpul. Dengan hati-hati dia kembali menyambung bicaranya.
”Kau boleh saja menolak. Tapi apa kata tetangga? Apa lagi suamimu tak akan pernah mengizinkan. Tuhan pun mungkin akan mengutukmu. Bukankah itu perbuatan yang sia-sia? Mengapa tidak kau berikan saja pada suamimu biar dia saja yang berangkat dan kau juga masih bisa beribadah.”
Perempuan itu mulai menjauhkan tubuhnya dari tangan keriput ibunya. Setiap kali ibunya berusaha menjangkau, dia kembali mengelakkannya. Matanya semakin garang menghunjam tatapan ibunya yang masih tak berubah. Dia ingin mencari kebenaran dari kata-kata ibunya itu. Sambil menundukkan kepalanya yang terasa berat akhirnya dia menggeleng lusuh.
”Maaf, Bu, kali ini aku tak sependapat dengan ibu. Itu uangku yang kudapatkan dari jerih payahku. Hasil kerja kerasku dari cita-cita yang besar sampai di Tanah Suci. Mengapa harus kuberikan pada orang lain ketika kesempatan itu berada di tanganku?”
Mashitah hanya tersenyum simpul. Sesekali digelengkan kepalanya seperti dia tak mengerti jalan pikiran anaknya.
******
Senja masih memerah bergaris-garis seperti kerutan di wajah Mashitah. Cericit burung perkutut dan pipit saling bersahutan menyambut malam yang hendak bertandang. Sesekali kelelawar menyambar-nyambar di teras rumahnya. Suara tokek dan cicak bersahutan seperti sedang merayakan suatu kemenangan yang entah. Dia tak tahu dan tak mau tahu. Semua itu telah biasa terjadi di rumahnya menjelang maghrib tiba. Dia tak pernah merasa ingin mengakhiri semuanya.
Hanya, petang ini dia begitu merasa berisik. Dia tak mau mereka hadir untuk saat ini. Biarlah hening menemaninya. Dia mengambil tongkat panjang dan sesekali dikibaskannya menjangkau binatang-binatang itu. Bahkan, kalau boleh meminta, biarlah mereka hengkang untuk selama-lamanya. Namun, setiap kali dia lengah mereka dengan leluasa kembali berteriak lantang bahkan seperti sengaja mengejeknya.
Sudah lima hari suaminya tak pulang, sejak pertengkaran terakhir itu. Tak mungkin dia mengharap bantuan dan meminta pendapat ibunya kalau tak ingin kembali dipersalahkan seperti yang sudah-sudah. Dia tak habis pikir, mengapa mereka semuanya sama. Bahkan ibunya pun yang seharusnya bangga padanya, jelas-jelas menentangnya. Dia lebih memilih mendukung menantunya yang sama sekali tak ada hubungan darah dengannya.
”Sial...!”
Dia menggerutu sendiri dengan napas yang berusaha dia tekan. Tatapannya dilepaskan begitu saja. Sesekali digunakan memburu makhluk yang sangat memuakkan. Makhluk yang ingin diburunya hingga mereka semua enyah. Tokek dan cicak itu.
Tak mudah baginya memutuskan harus memilih yang mana. Di satu sisi dia mempunyai cita-cita yang besar untuk segera sampai di Makkah. Melakukan ibadah haji sebagai penyempurna agama. Hingga dia tak segan-segan bekerja keras dan menabungnya diam-diam. Setelah semuanya dia dapatkan, malah bermunculan suara-suara yang sangat tak diinginkan.
”Kau ini aneh. Seharusnya suamimu yang menunaikannya.”
”Seorang istri baru diterima amalnya ketika dia dengan sepenuh hati melayani suaminya.”
”Paling dia hanya ingin jalan-jalan.”
Ha-ha-ha….
Begitu perih dia mendengar kata-kata itu. Dia begitu marah. Dadanya bergemuruh. Ingin rasanya membalas dan menantang mereka. Namun sebagai seorang perempuan, tak ada yang bisa dilakukannya kecuali hanya dengan air mata. Meski tak ada yang tahu.
Dia baru sadar, tak ada ruang baginya mempertahankan pendapatnya. Di sini mereka sama. Mau saja dibodohi oleh suami mereka sendiri. Sesekali dia bertanya pada dirinya sendiri apakah peraturan agamanya yang memihak, atau pemahaman mereka yang setengah.
Suara merdu Mu’ammar menyeruak dari sakunya.
Satu pesan masuk.
Selamat menunaikan ibadah magrib. Tak usah kau khawatir padaku. Aku sekarang berada di rumah ibu. Maaf jika aku tak memberi tahumu sebelumnya tapi aku masih belum bisa pulang sebelum kau betul-betul mengurungkan niatmu. Bukan aku mengancam tapi demi keselamatanmu. Sedang untuk berangkat berdua kita masih belum punya biaya yang cukup.
Sender:
Mat Sahe
+6287850013452
Tak dibalas. Dia meletakkan HP-nya begitu saja di meja. Dia kembali menatap tajam ke depan. Seperti sedang mencari sesuatu. Dia sedang dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama mempunyai risiko tinggi. SMS yang dibacanya sangat jelas sebagai bentuk penolakan tegas suaminya yang nanti akan berbuntut perceraian yang tidak dia harapkan dan tentu juga akan mengecewakan ibunya yang dia sayangi dan hormati selama ini. Tapi memilih menyerah berarti harus bertentangan dengan perasaannya sendiri yang telah lama dia pendam dan perjuangkan hingga kesempatan benar-benar terbuka baginya.
Sementara, pandangannya menerawang dengan gemuruh dada yang semakin mengencang, jari-jarinya kembali mengotak-atik tombol HP. Dibukanya sebuah pesan masuk tersimpan. Ditatapnya kembali. Lalu lambat laun air mukanya berubah. Tak lagi setegang semula. Disekanya air mata yang masih membasah. Lamat-lamat, di antara gelap malam dan temaram cahaya lampu, dia mulai bisa tersenyum sebelum akhirnya beranjak ke dalam rumahnya dan ke kamar mandi.
Khairul Umam adalah Sekjen MWC NU Gapura. Guru di MA Nasa1 Gapura dan dosen di INSTIKA Guluk-Guluk. Alumnus Pascasarjana UGM-FIB Antropologi. Tulisannya telah dimuat di media lokal dan nasional.