Kombinasi Antara Sepucuk Pistol dan Sebuah Nasib Buru
Mursid menekan pelatuk. Sebutir peluru melesat menembus batok kepala Pengendara Satu. Mursid tak sengaja melakukannya. Mursid panik.
Kompas/Cahyo Heryunanto
1.
MURSID mengambil sepucuk pistol yang tergeletak di bangku belakang angkotnya, menimbang-nimbangnya, menodongkannya di depan kaca spion dengan tampang menirukan seorang polisi yang kerap ia tonton di film yang rutin diputar televisi tiap Minggu malam. Aku akan memberantas kejahatan di muka Bumi ini, gumam Mursid di sebuah Selasa pagi yang sejuk. Anak Mursid, Risman, keluar dari rumah dengan seragam merah-putih lengkap dengan dasi dan topi, berjalan pelan mendekati Mursid. Mursid buru-buru menyembunyikan pistol temuannya di saku belakang celananya.
“Pak, minta uang saku!”
Mursid merogoh dompet yang disimpan di saku kiri celana dan membukanya. Cuma tersisa selembar uang dua puluh ribuan dan selembar dua ribu dan selembar seribu. Dia mengambil selembar dua ribu dan selembar seribu dan memberikannya kepada bocah semata wayangnya itu. Risman menerimanya dengan raut muka penuh kegembiraan.
“Saatnya kita berangkat!” ujar Risman yang kemudian disela oleh sebuah teriakan dari dalam rumah.
“Main berangkat-berangkat saja! Tunggu ibuk!”
Si ibu kemudian keluar dengan tergopoh-gopoh. Dikuncilah pintu rumah kontrakan yang dibikin dari kombinasi batu bata untuk sedikit bagian depan rumah dan bagian sisanya adalah anyaman bambu.
“Aku duduk depan, ya?”
Risman membuka pintu angkot bagian depan dan duduk manis tepat di sebelah kursi sopir. Si ibu duduk di bangku penumpang sambil membawa tas belanjaan yang terbuat dari anyaman pandan.
“Sudah siap disetirin Pas en Purius?”
“Siap!” sambar Risman.
Mursid menepuk-nepuk sebentar saku belakangnya, masih ada. Kemudian dia memasukkan gigi dan menginjak pedal gas. Seketika angkot kuningnya melaju konstan menembus pagi di Surabaya yang terbuat dari sedikit hawa sejuk dan sejumput kemacetan.
2.
MULA-MULA angkot kuning Mursid berhenti di sebuah sekolah dasar di kawasan Gebang. Risman membuka pintu angkot dan melompat keluar. Ketika dia hendak menghambur begitu saja untuk masuk gerbang, si ibu memanggilnya.
“Man, kebiasaan. Salim dulu!”
Risman berputar kembali menghampiri si ayah. Mursid mengulurkan tangan, Risman menciumnya. Begitupula sang ibu, juga melakukan hal yang sama dan Risman juga menciumnya.
“Samlikum.”
Risman lalu berlari begitu kencang, masuk ke dalam pagar sekolah.
Angkot kuning yang dikemudikan Mursid kembali bergerak, kali ini berniat untuk mengantarkan si istri menuju Pasar Keputih. Di tengah perjalanan, terjadi sedikit obrolan di antara mereka.
“Pak, apa sampeyan beneran ndak ada uang sama sekali?”
Mursid mengingat-ingat kembali isi dompetnya. Ada selembar dua puluh ribuan dan selembar dua ribuan dan selembar seribuan. Dua yang terakhir disebut sudah tak lagi tinggal di dalam dompetnya.
“Sisa buat bensin saja, Buk.”
“Apa sampeyan ndak mending nyari kerjaan lain? Nyobain ngonlen-ngonlen kayak Pak Darus itu, loh.”
Mursid segera terpingkal mendengar ucapan si istri.
“Kok kamu ketawa, Pak? Itu kemarin aja, istrinya Pak Darus cerita, Pak Darus baru sebulan ngonlen udah dapat tiga juta!”
“Meski hidup pas-pasan, toh kita setiap hari bisa makan dan tetap nyekolahin Risman.”
“Ya, tiap hari makan Pak. Tapi cuma makan tempe sama sambel! Risman itu butuh makanan yang lebih bergizi Pak! Dia sedang masa pertumbuhan!”
Mursid menginjak pedal rem. Angkot yang semula melaju konstan kini pelan-pelan berhenti.
“Ya sudah, Pak, aku pamit ke pasar dulu. Omonganku tadi mbok dipikirkan juga. Samlikum.”
Si istri mencium tangan Mursid, lalu berjalan masuk ke dalam pasar dan lenyap ditelah keramaian. Mursid termenung sebentar mengamati keramaian yang ada. Ibu-ibu memakai gelang emas. Ibu-ibu memakai kalung emas. Ibu-ibu mengeluarkan ponsel pintarnya dan memencet-mencet layar. Di bagian depan pasar Mursid melihat sebuah toko yang menjual pulsa, ponsel pintar, dan segala pernak-pernik aksesorisnya. Mursid kembali merogoh saku belakangnya. Menggenggam gagangnya. Rasanya begitu dingin. Mursid mengeluarkannya dan menatapnya begitu lama.
Dia berusaha mengingat-ingat sesuatu. Semalam, dia mendapat penumpang dua orang polisi. Mungkin salah satu di antaranya tak sengaja menjatuhkan pistolnya di bangku. Ya, mungkin begitu, batin Mursid. Mursid memejamkan mata, mencoba membayangkan kembali setiap detil adegan dalam film yang rutin ditonton setiap Minggu malam. Mursid refleks mengokang pistol. Tubuhnya bergetar hebat. Sekali lagi, dia mengamati toko ponsel pintar yang baru saja dibuka oleh seorang perempuan muda. Mursid menggenggam pistolnya begitu erat, lalu memejamkan mata sekali lagi.
Aku akan memberantas kemiskinan di keluargaku lebih dulu, gumam Mursid di sebuah Selasa yang mulai terik. Dia membuka pintu angkot, menjejakkan kaki kanannya ke atas tanah lebih dulu. Lalu tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan aneh dalam penglihatannya. Bayangan seorang anak kecil berlari ke dalam pelukan seorang ibu, sampai kemudian dua orang polisi datang mendekati ibu dan anak tersebut dan memberondongkan peluru ke batok kepala si ibu dan anak. Tubuh ibu dan anak segera limbung dalam pelukan tanah, dengan keadaan masih saling berpelukan.
Ada rasa sendu yang tiba-tiba menyelimuti Mursid. Matanya berkaca-kaca. Tangan kanannya yang sedang memegang gagang pistol di saku belakang celananya gemetar. Sepersekian detik kemudian, dia kembali mengangkat kakinya yang menjejak tanah masuk ke dalam angkot. Mursid menyalakan mesin angkotnya, mengucek mata, menggebrak klakson, dan membuat orang-orang di pasar menoleh ke arahnya.
3.
SAAT hendak pulang, Mursid dicegat oleh delapan orang pengendara motor berjaket hijau di dekat rawa-rawa di kawasan Medokan Semampir. Langit sudah gelap pekat. Tak ada lampu jalan. Tak ada orang-orang. Cahaya lampu motor menyorot begitu terang ke arah angkot Mursid. Dua orang turun dari motornya dan menghampiri Mursid dan berbicara dari jendela.
“Turun kamu, cok! Kemarin kenapa kamu ngeroyok temen kami?”
Mursid gemetar, jantungnya berdegup kencang. Dia menelan air liur sejenak dan membuka pintu.
“Cepetan keluar!”
Pengendara Satu mencengkeram baju Mursid, membuat tubuh Mursid sedikit terangkat. Tanpa basa-basi, Pengendara Satu melepaskan bogem mentah ke pipi kiri Mursid sebanyak tiga kali dengan penutup sebuah hantaman lutut ke arah perut Mursid. Mursid berguling-guling di atas aspal sambil memegangi perutnya. Pengendara Dua menendang tubuh Mursid dengan penuh amarah yang kemudian diikuti oleh pengendara motor berjaket hijau yang lain.
Dalam keadaan yang terdesak itu, Mursid kembali teringat bahwa di saku belakang celananya masih tersimpan sepucuk pistol temuannya. Mursid meraihnya dan mengarahkan ke arah orang-orang yang mengeroyok. Sekumpulan pengendara motor berjaket hijau mundur perlahan.
“Sampeyan-sampeyan ada masalah apa sebenarnya sama saya, ha?!”
Sekumpulan pengendara motor berjaket hijau saling pandang satu sama lain. Mursid bersiap menekan pelatuk. Pengendara Dua maju selangkah.
“Sabar, Mas. Sabar...”
“Apa salah saya ke kalian, ha? Apa?”
Pengendara Satu dengan cekatan meraih ponsel pintarnya dan mulai menyalakan kamera video.
“Hei, hei, apa yang kamu lakukan? Cepet matikan!” bentak Mursid.
“Kamu serahin pistolmu atau videomu bakal ku-viral-in!”
“Omong apa kamu? Cepet matikan!”
“Tinggal pencet post lalu...”
Dor.
Mursid menekan pelatuk. Sebutir peluru melesat menembus batok kepala Pengendara Satu. Mursid tak sengaja melakukannya. Mursid panik. Mursid tak sengaja melakukannya. Mursid gemetar. Tangan Mursid terasa lemas. Pistolnya terlepas dari genggaman. Pengendara Satu limbung dalam dekapan rekan-rekannya. Kepalanya bersimbah darah. Mursid panik sembari melangkah mundur. Pistolnya jatuh menghantam aspal dan terpental. Mursid masuk ke dalam angkotnya dan berusaha menyalakan mesin. Mursid mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. Mursid memandang kerumunan pengendara motor berjaket hijau di depannya. Mursid memejamkan mata.
“Sudah siap disetirin Pas en Purius?”
“Siap!”
Mursid memasukkan gigi dan menekan pedal gas dengan kekuatan maksimum.
4.
RISMAN menyalakan televisi. Si ibu membawa sebakul nasi dan sepiring lauk dan satu cepuk sambel dan menaruhnya di depan Risman.
“Man, makan dulu.”
“Tempe lagi, buk?”
“Sudah, jangan protes! Cepet makan.”
Si ibu mengambilkan nasi dan dua potong tempe dan satu sendok kecil sambel untuk Risman.
“Bapak ke mana ya, buk? Biasanya jam segini udah pulang.”
“Iya, tumben bapakmu belum pulang.”
Si ibu mengambil remot dan membesarkan volume televisinya.
“Buk, lihat, buk! Kayak Pas en Purius!”
Si ibu segera mengganti saluran televisi.
“Yah, kok, diganti, buk.”
“Belum cukup umur kamu. Sudah, lanjut makan sana.”
“Ibuk gak makan juga?”
Si ibu terdiam sebentar, “Ibuk nunggu bapakmu pulang saja.”
Si ibu masuk ke dalam kamar, mengambil buntalan kain jarik, dan berusaha sekuat tenaga membenamkan segala kesedihannya.
Aris Rahman P. Putra, lahir di Sidoarjo, 12 Juli 1995. Alumnus Universitas Airlangga Jurusan Antropologi. Kumpulan cerpen perdananya yang berjudul Riwayat Hidup Sebuah Pistol di Kawasan Mulholland Drive baru saja diterbitkan oleh Penerbit Basabasi.