Ada desakan agar pemerintah juga mendorong produksi barang di Indonesia. Di sisi lain, banyak cara untuk membawa produk dari luar negeri ke Indonesia.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Metode mengimpor barang konsumsi semakin berkembang. Situasi ini menambah tantangan pemerintah dalam mengawasi barang impor yang masuk dan beredar di Indonesia.
Masyarakat memasukkan barang dari luar negeri ke Indonesia antara lain melalui platform perdagangan secara elektronik atau e-dagang. Cara lain dengan memesan barang kepada penyedia jasa titipan dan mengimpor lewat pusat logistik berikat.
Tantangan bagi pemerintah ini terkait kebijakan menurunkan batas nilai barang kiriman impor yang bebas bea masuk. Batasan yang sebelumnya 75 dollar AS mulai Januari 2020 menjadi 3 dollar AS.
Pemerintah juga merasionalisasi tarif pungutan pajak dalam rangka impor yang terdiri dari bea masuk 7,5 persen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen, dan Pajak Penghasilan (PPh) badan 0 persen. Dengan demikian, setiap impor barang kiriman dikenai tarif pajak sebesar 17,5 persen.
”Penyedia jasa titipan tidak hanya berlatar belakang individu, tetapi juga ada yang berasal dari perusahaan yang khusus berbisnis jasa titipan. Model kerja perusahaan ini mirip kargo dan seharusnya membawa dokumen, tetapi berkembang menerima jasa titipan barang. Volumenya besar dan biasa diakali dengan dibongkar, lalu dibagi-bagi menjadi unit-unit,” tutur Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung yang dihubungi Jumat (27/12/2019), di Jakarta.
Ia menambahkan, pemerintah bisa menertibkan pemesanan barang melalui jasa penitipan atau jastip.
Selain itu, ujar Ignatius, masih banyak cara untuk membawa produk atau barang dari luar negeri ke Indonesia. Ia mencontohkan, cukup banyak pemilik platform e-dagang asing yang menyertakan ongkos kirim gratis dari luar negeri ke Indonesia dengan syarat tertentu.
Meski demikian, Ignatius mengakui, ada konsumen yang jeli menghitung selisih harga. Konsumen seperti ini biasanya rela menunggu barang kiriman dari hasil berbelanja di platform e-dagang luar negeri tiba di Indonesia. Realitas seperti ini bisa dicermati pemerintah untuk mengevaluasi sejauh mana kebijakan mengenai batas nilai bea masuk impor tersebut efektif diterapkan.
”Persoalan masifnya impor, seperti barang konsumsi, semestinya jangan selalu membebani pelaku usaha ritel. Pemerintah mesti punya data, kategori barang konsumsi apa yang paling banyak diimpor, setelah itu dorong industri manufaktur dalam negeri memproduksi,” ucap Ignatius.
Meningkat
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Moneter, Fiskal, dan Kebijakan Publik Raden Pardede, dalam siaran pers, memaparkan, berdasarkan catatan dokumen impor, setiap tahun ada peningkatan barang kiriman hasil transaksi belanja di platform e-dagang luar negeri ke Indonesia.
Pada 2017, volume barang kiriman sekitar 6,1 juta paket. Pada 2018 naik menjadi 19,57 juta paket. Saat ini, volumenya diperkirakan menjadi sekitar 49,69 juta paket.
Raden menambahkan, beberapa sentra perajin tas dan sepatu dalam negeri gulung tikar dan beralih menjual produk sejenis yang diperoleh dari impor. Oleh karena itu, Kadin Indonesia menyambut baik kebijakan pemerintah perihal batasan nilai bea masuk impor itu.
Ia mencontohkan, bea masuk tas berkisar 15-20 persen, sepatu 25-30 persen, dan produk tekstil 15-25 persen. Ketiga kategori barang ini juga dikenai PPN 10 persen dan PPh 7,5-10 persen.
”Kami berharap, kebijakan itu bisa menciptakan perlakuan adil antara barang dalam negeri buatan industri kecil menengah dan barang impor. Barang impor bisa berasal dari kiriman hasil transaksi belanja di platform e-dagang atau distributor melalui kargo umum yang masih banyak beredar di pasar,” ujar Raden.
Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Tax Center Ajib Hamdani berpendapat, pemerintah harus jeli melihat perkembangan dan tren peredaran impor barang. Saat ini, setiap kategori barang apa pun dapat dibeli melalui platform e-dagang, termasuk produk usaha kecil menengah.