Pengamat Nilai Konsep Kota Hijau Cerdas Ibu Kota Baru Belum Matang
Pemanfaatan empat PLTU di Kalimantan juga bertentangan dengan konsep kota hijau cerdas. Meski pemakaian kendaraan listrik ditingkatkan, tetap saja tidak berkelanjutan karena membakar batubara untuk menghasilkan listrik.
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsep kota hijau cerdas dalam pembangunan ibu kota belum disiapkan secara matang. Padahal, persiapan sejak dini sekaligus dapat memitigasi dampak dari pemanfaatan teknologi ramah lingkungan, seperti kendaraan listrik.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, mengatakan, dengan kondisi saat ini, rasanya sulit mewujudkan pembangunan kota hijau cerdas di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, lokasi ibu kota baru di Kalimantan Timur.
Seusai mengunjungi kawasan tersebut beberapa hari lalu, menurut dia, banyak kendala di lapangan yang masih perlu diselesaikan. ”Harus ada ketetapan rencana tata ruang daerah. Supaya jelas mana saja daerah konservasi hutan beserta satwa liarnya, berapa luas lahan maksimal yang akan dibangun, dan di mana lokasi persisnya,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (29/12/2019).
Sementara itu, ia juga menilai pemanfaatan empat pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Kalimantan juga bertentangan dengan konsep kota hijau cerdas. Meski nantinya transportasi yang digunakan adalah kendaraan listrik, tetap saja tidak berkelanjutan lantaran listrik yang digunakan berasal dari pembakaran batubara.
Menurut Nirwono, maraknya penggunaan mobil listrik di wilayah ibu kota pada masa mendatang juga perlu diantisipasi dengan melakukan penataan kota yang memusat dan terpadu. Jika tidak, ancaman kemacetan tetap akan menghantui karena masyarakat lebih suka mengendarai mobil pribadi.
”Pola kerja masyarakat lokal juga harus disesuaikan dengan pengembangan kota hijau cerdas. Mereka akan mengalami banyak perubahan budaya,” katanya.
Kendati demikian, rencana pemerintah membangun ibu kota baru yang terbebas dari pabrik dan industri dipandang Joga selaras dengan konsep kota hijau cerdas. Namun, fungsi ekonomi tetap harus dipikirkan agar kota bisa hidup. ”Misalnya dengan mengembangkan kota jasa pertemuan, konvensi, dan pameran, bukan hanya kota pemerintahan saja,” ujarnya.
Nirwono berujar bahwa langkah-langkah mitigasi terkait bencana lingkungan di Kalimantan Timur juga perlu disiapkan dengan baik. Hal itu misalnya dalam mengatasi kesulitan air bersih, mengatasi ancaman banjir, dan menghalau asap kebakaran.
Menurut dia kondisi yang berbukit-bukit menjadikan kawasan ibu kota baru rawan terhadap banjir dan longsor. Terlebih jika proses pembangunan kota dilakukan dengan cara membabat hutan. Daerah penahan dan resapan air akan tergerus.
”Kondisi hutan yang berbukit-bukit dan (kondisi) geologis tanahnya harus benar-benar dikaji secara mendalam. Begitu juga dengan ancaman kebakaran hutan dan lahan,” katanya.
Pertimbangan utama
Beberapa waktu lalu, pemenang sayembara desain ibu kota juga telah diumumkan. Tim dari Urban+ Associate Designer meraih gelar juara berkat desain yang mereka namakan dengan Nagara Rimba Nusa. Menurut rencana, wilayah inti ibu kota tersebut akan dibangun di atas lahan seluas 5.000-6.000 hektar.
Menurut anggota tim Urban+ Associate Designer, Yugo Phurbojoyo, faktor lingkungan menjadi sektor utama yang dipertimbangkan dalam membentuk desain ibu kota. Penempatan istana negara, misalnya, menghindari lokasi bekas penambangan, hutan lindung, dan tidak mengganggu kelestarian ekosistem.
”Apa yang ingin kami tampilkan adalah identitas kebangsaan Indonesia, keindahan alam dan kota yang cerdas,” katanya.
Yugo mengatakan, kota cerdas yang akan diusung tidak akan terlepas dari pemanfaatan lingkungan di sekitarnya. Konsepnya, lingkungan akan menjadi sumber energi bagi ibu kota negara, termasuk kaitannya dengan akses mobilitas penduduknya nanti.
Wakil Ketua Sekretariat Tim Koordinasi Strategis Pemindahan Ibu Kota Negara Kementerian PPN/Bappenas Hayu Parasati mengatakan, saat ini pemerintah tengah menyiapkan beberapa hal secara paralel. Selain studi kelayakan (feasibility study), pemerintah juga sedang menyusun rencana induk, desain urban, sekaligus menyiapkan undang-undang tentang ibu kota.
”Undang-undang tentang ibu kota ini yang akan menjadi landasan utama langkah-langkah selanjutnya,” katanya.
Sejauh ini, tim pemindahan ibu kota juga membuat kajian tentang proses pemindahan ibu kota yang dilakukan oleh negara lain. Dalam waktu 100 tahun terakhir saja, setidaknya ada 35 negara yang telah memindahkan ibu kotanya. Selain itu, sekitar 30 negara masih menjalani proses pemindahan ibu kota tersebut.
”Indonesia adalah satu-satunya negara yang akan memindahkan ibu kotanya sejauh 1.000 kilometer melintasi pulau-pulau,” ujarnya.
Terkait dengan jarak pemindahan tersebut, Indonesia akan belajar banyak dari Brasil. Hayu menilai, mereka berhasil memindahkan ibu kota mereka dari Rio de Jeneiro ke Brasilia sejauh 900 kilometer. Selain jumlah penduduknya yang meningkat pesat, perekonomian mereka juga meningkat.
”Indonesia dan Brasil juga memiliki motivasi yang sama, yakni memperkuat identitas bangsa, persatuan, dan pemerataan. Target lima tahun perpindahan juga terpenuhi,” ujarnya.
Kajian lain berkaitan dengan pemindahan pusat pemerintahan Australia dari Sydney ke Canberra. Sama halnya dengan Brasil, ibu kota Australia juga mampu berkembang dari segi jumlah penduduk dan ekonominya. Padahal, kawasan ibu kota Canberra terbebas dari bisnis dan perdagangan.
”Kami juga mempelajari contoh-contoh negara yang gagal memindahkan ibu kotanya. Ada beberapa hal yang kami cermati, seperti pemilihan lokasi yang kurang tepat,” ujar Hayu.
Menurut dia, pemilihan lokasi ibu kota negara pada prinsipnya harus berada di lahan yang luas, dikuasai oleh negara, dan terbebas dari ancaman bencana. Oleh sebab itu, lahan yang dipilih adalah lahan hutan tanaman industri (HTI) dan bukan kawasan pesisir pantai.