Bukan hanya atlet, pekerja media juga wajib menyiapkan stamina prima untuk menghadapi SEA Games 2019 Filipina. Jika tidak, awak media akan kesulitan mengejar momen bersejarah atlet negaranya dalam meraih emas.
Oleh
Adrian Fajriansyah
·5 menit baca
Tidak hanya atlet, pekerja media pun wajib menyiapkan fisik dan stamina yang prima untuk menghadapi SEA Games 2019 Filipina. Jika atlet untuk kepentingan berlomba, sedangkan pekerja media agar sigap meliput ajang multi cabang olahraga itu.
Pasalnya, lomba digelar di banyak tempat dengan jadwal yang padat. Pekerja media harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain secara cepat. Jika tidak didukung fisik atau stamina mumpuni, pekerja media akan sangat kewalahan menjalaninya.
Itu yang dirasakan Kompas ketika meliput SEA Games ke-30 di Filipina pada 30 November-12 Desember lalu. SEA Games kali ini diadakan di banyak tempat. Setidaknya, di tiga lokasi utama, yakni Metro Manila, New Clark City, dan Subic.
Ketiga lokasi itu saling berjauhan. Jarak dari pusat kota Manila ke New Clark City sekitar 110 kilometer atau 2 jam perjalanan darat. Sedangkan, Subic berjarak 165 kilometer dari pusat kota Manila atau 2,5 jam perjalanan darat.
Ini diperparah dengan arena perlombaan yang saling berjauhan. Contohnya, di New Clark City. Di pusat olahraga yang baru dibangun ini, hanya ada dua arena, yakni Pusat Akuatik dan Stadion Atletik.
Tempat perlombaan lainnya berada di lokasi yang lebih jauh, seperti lapangan panahan yang berjarak sekitar 30 kilometer atau 45 menit dari pusat olahraga tersebut. Bahkan, pusat medianya atau MPC berjarak 35 kilometer dari pusat olahraga itu.
Tantangan lainnya adalah jadwal perlombaan yang hampir semuanya bersamaan. Contohnya, sejumlah nomor final panahan berlangsung serempak antara pukul 09.00-15.00, Minggu (8/12/2019). Padahal, pada pukul 16.00-20.00 ada beberapa final atletik di lokasi berbeda yang juga menjadi incaran para pekerja media.
Beberapa atlet Indonesia akan berlaga di final kedua cabang tersebut yang berpotensi menyumbangkan emas. Misalnya, pemanah Hendra Purnama yang akan tampil antara pukul 14.00-15.00. Ia memperebutkan emas di nomor recurve perseorangan putra. Sementara, pelompat jauh putri Indonesia Maria Natalia Londa akan bersaing merebut emas lompat jauh putri mulai pukul 16.00.
Kedua perlombaan itu tak mungkin dilepas. Jadilah saat itu, awak media Indonesia kelimpungan. Terbukti, Hendra maupun Maria kemudian berhasil menyumbangkan emas untuk Indonesia.
Agar tidak kehilangan dua momen penting nan bersejarah tersebut, awak media berusaha keras hadir di dua final itu, walaupun jadwalnya sangat ketat. Saat itu, kami praktis hanya sempat beristirahat sambil makan di dalam mobil.
"Kita usaha sebisanya untuk mendapatkan momen-momen penting dan bersejarah atlet Indonesia. Tapi, kalau memang sudah tidak terkejar, apa boleh buat," ujar fotografer Kantor Berita Antara asal Denpasar, Bali Nyoman Budhiana dalam perjalanan dari lapangan panahan ke stadion atletik, Minggu (8/12/2019) lalu.
Tantangan mobilitas
Situasi semakin pelik karena liputan SEA Games 2019 juga harus berhadapan dengan tantangan mobilitas di Negara Tagalog tersebut. Di Manila, jalanan bak neraka untuk menggambarkan parahnya kemacetan di ibu kota Filipina tersebut.
Tidak heran, dalam rilis terbaru Bank Pembangunan Asia (ADB), kota itu dikategorikan termacet berdasarkan survei 20 kota di Asia yang berpenduduk lebih dari 5 juta orang.
Kemacetan parah itu tak luput dirasakan selama gelaran SEA Games 2019. Jalan-jalan yang ada sebenarnya cukup lebar dan panjang. Namun, tak mampu menampung jumlah kendaraan bermotor di kota itu yang jauh lebih banyak.
Ini diperparah dengan banyaknya bus dan truk besar yang diperbolehkan melintas di pusat kota. Di sisi lain, Panitia Penyelenggara SEA Games Filipina (Phisgoc) tidak menyediakan jalur atau perlakuan khusus untuk awak media peliput ajang dua tahunan itu.
”Tidak ada yang salah dengan jalanan di sini, cukup banyak dan lebar. Tetapi, pertambahan kendaraan memang luar biasa. Jalan yang ada tak sanggup menampung kendaraan yang banyak,” ujar Jesus F Venzon atau Paman Boy (60), pengemudi taksi yang mengantar Kompas ke Philippine Arena, lokasi pembukaan SEA Games, Jumat (29/11/2019).
Sebagai gambaran, kemacetan di pusat kota Manila tidak beda jauh dengan kemacetan di wilayah Tanjung Priok, Jakarta Utara, yang dipenuhi truk saat jam sibuk.
Kendaraan besar bersikap intimidatif terhadap pengendara lain dengan berkendara liar dan tak segan membunyikan klakson berulang-ulang.
Akibat kemacetan parah, perjalanan menjadi sangat lambat. Jarak 30 kilometer dari Kota Manila ke Philippine Arena di Bulacan, yang seharusnya bisa ditempuh kurang dari 1 jam, menjadi 2-3 jam.
Kemacetan membuat orang cukup sulit mendapatkan taksi konvensional ataupun daring di Manila saat jam-jam sibuk. Padahal, fasilitas transportasi umum belum semudah di Jakarta yang memiliki kereta Commuter Line, BRT, dan MRT.
Beberapa kali mengejar waktu, awak media harus menyewa taksi dengan tarif cukup mahal, yakni sekitar 3.000-4.000 peso atau Rp 900.000-Rp 1 juta.
"Ini SEA Games terburuk yang pernah saya liput. Jauh banget dibanding SEA Games 2017 Malaysia dan SEA Games 2015 Singapura. Apalagi dibandingkan Asian Games 2018 Jakarta-Palembang kemarin," kata rekan media asal Kuala Lumpur, Malaysia.
Terlepas dari fasilitas yang diberikan tuan rumah, meliput ajang multi cabang olahraga, terutama di negara orang, mengajarkan banyak hal. Ternyata, tidak hanya atlet yang butuh mengolah fisik dan stamina untuk menghadapi ajang seperti SEA Games, melainkan juga awak media.
Jika tidak didukung kondisi prima, awak media akan kesulitan meliput ataupun mengejar momen bersejarah atlet negaranya dalam meraih emas.
"Kalau meliput ajang multi cabang seperti ini, idealnya peliput juga menyiapkan diri dengan berolahraga ringan tetapi rutin, beberapa hari sebelum ajang itu dimulai. Selama berlangsungnya ajang, peliput harus menjaga betul minum air putih, makan, dan istirahat yang berkualitas," pungkas fotografer The Associated Press asal Jakarta Tatan Syuflana pada beberapa kesempatan.