Selain stok yang lebih besar, harga beras awal tahun ini lebih rendah dibandingkan tahun 2018 atau 2019. Namun, segenap tanda perlu dilihat dengan cermat. Tiga bulan ke depan akan jadi masa krusial untuk mitigasi.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·3 menit baca
Hujan deras mengguyur sejumlah wilayah di Indonesia pada pembuka tahun ini. Intensitas hujan di beberapa daerah di Pulau Jawa, sentra utama beberapa komoditas pangan nasional, bahkan sangat ekstrem. Tidak sedikit wilayah yang terdampak banjir.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan, cuaca ekstrem dengan curah hujan lebat yang dapat disertai kilat dan angin kencang pada periode 1-4 Januari 2020 berpotensi terjadi, antara lain, di Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.
Situasi serupa berpotensi berlanjut pada 5-7 Januari 2020, antara lain, di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Kondisi ini relatif berbeda dibandingkan dengan beberapa bulan sebelumnya. Sejumlah petani di provinsi-provinsi sentra padi ini, setelah terdampak kekeringan di musim gadu, bahkan harus memundurkan jadwal tanam di musim rendeng karena hujan terlambat datang.
Sampai akhir Desember 2019, petak-petak sawah di sentra padi Jawa Barat dan Jawa Tengah, seperti di Subang, Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, dan Pemalang, bahkan masih kering. Debit air irigasi masih kurang, sementara hujan belum cukup lebat untuk membasahi sawah.
Sepanjang tahun lalu, kekeringan membuat produktivitas lahan turun dan sebagian tanaman padi puso. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, luas panen padi sepanjang Januari-September 2019 sebesar 8,99 juta hektar, turun dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018 yang 9,53 juta hektar. Adapun produksi beras turun dari 28,48 juta ton jadi 26,91 juta ton.
Segenap situasi itu tak bisa dianggap remeh. Apalagi kesalahan data dan prediksi telah berulang ”menjerumuskan” pemerintah pada keputusan yang kurang tepat dan telat terkait perberasan nasional. Contoh paling dekat adalah situasi akhir tahun 2015 dan 2017. Keputusan diambil ketika situasi sudah genting dan solusi tiba saat tak dibutuhkan lagi.
Keputusan untuk mengimpor beras pada awal tahun 2018, misalnya, terbilang sangat telat. Sebab, pasar sudah telanjur bergejolak, sementara beras yang diimpor baru tiba ketika petani telah memulai panen musim tanam rendeng 2017/2018.
Akan tetapi, apakah cukup dengan stok tersebut? Dengan konsumsi berkisar 2,8-3 juta ton per bulan, stok sebesar itu sebenarnya hanya 66-71 persen kebutuhan bulanan secara nasional. Apalagi pemerintah tak bisa memastikan berapa sebenarnya jumlah beras yang tersimpan di dapur masyarakat sehingga segenap kemungkinan buruk mesti diantisipasi lebih dini.
Jika menilik data BPS, harga rata-rata gabah petani ”konsisten” naik delapan bulan terakhir. Harga gabah kering panen (GKP), misalnya, terus naik dari Rp 4.356 per kilogram (kg) pada Mei 2019 menjadi Rp 5.215 per kg pada Desember 2019. Adapun beras medium naik dari 9.143 per kg menjadi Rp 9.566 per kg pada periode yang sama.
Tren harga yang dirangkum oleh petugas BPS dari 1.273 transaksi penjualan gabah di 23 provinsi dan 1.071 titik observasi beras pada 877 perusahaan penggilingan di 31 provinsi itu menunjukkan hukum besi permintaan penawaran. Tren kenaikan harga itu dipicu oleh pasokan yang cenderung berkurang.
Selain stok yang lebih besar, harga beras di pasaran awal tahun ini juga lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2018 atau 2019. Namun, segenap pertanda perlu dilihat dengan cermat. Apalagi, lanskap perberasan sangat berbeda tahun ini, terutama akibat peralihan ke model bantuan pangan ke nontunai. Tiga bulan ke depan akan jadi masa krusial untuk mitigasi.