Menggantung Rasa di Ujung Sumatera
Segalanya mendadak beku. Obrolan yang tak kenal waktu tiba-tiba saja menjadi sangat kaku dan mulut keduanya memilih jadi bisu.
Seketika itu pula Andin merasa dirinya tak ubah sebatang lilin. Memberi cahaya, menerangi gelapnya malam Asra, ketika meluapkan rasa di dinding kamarnya. Rasa penuh makna bernama cinta pada seorang perempuan yang dialirkannya ke selatan.
“Masuk rumah sakit,” begitu kalimat yang terdengar sebelum hati Asra menjadi gusar. “Tidak kutanyakan kenapa, sebaiknya kau saja yang langsung bertanya,” Andin berusaha bijaksana. Menurutnya Asra mesti tahu, meski ia sendiri tak yakin hatinya tak akan hangus dan jadi debu. Tentu Andin terbakar cemburu, sebab Asra begitu peduli dan mencintai perempuan berambut sebahu itu.
Sudah terang betul, Asra kemudian dihinggapi risau dan kacau. “Sebulan ini sudah kuusahakan agar kenangan tentangnya segera bisa kulupakan. Tapi selalu sesuatu terjadi atau bahkan seseorang mengabari tentang dia yang begitu kuat hidup di perantauan sendiri. Sekarang ia sakit dan tentu sendirian. Menurutmu apa yang harus kulakukan?” tanyanya pada Andin di seberang telepon.
Tidak ada jawaban yang terdengar. Hati Andin tengah terbakar.
“Hallo? Kau masih di sana?” Asra memanggil.
“Ya, tentu.”
“Apa harus kutelepon dia? Kirim pesan saja? Atau bagaimana?”
“Kau tentu paham dengan perasaanmu yang sudah mengakar. Kau tentu bisa pula menakar sebanyak apa rasa peduli perlu kau beri.”
“Ya…”
“Sudah ya, Sra. Listrik sedang padam. Daya baterai ponselku habis.”
Telepon ditutup. Rapat mulut Andin terkatup. Ia mesti berdusta tentang daya ponselnya agar tak terbaca rasa cemburu yang menusuk dadanya seperti beling kaca. Dalam dadanya itu sesuatu yang hangus ia bungkus. Disembunyikan dan pada Asra tak ingin ia perlihatkan.
Pukul delapan lewat lima belas menit. Setelah Isya. Andin melihat layar ponsel tanpa nama Asra yang biasa muncul di sana. Ia mengerti, ada hati yang sedang berlari. Pulang ke belakang, menjemput rasa yang sebenarnya tak pernah bisa ia buang. Sudah saja, Andin berusaha menyibukkan diri dengan segala apa yang ada di depan mata. Mengetik sebuah cerita dengan klasik, melanjutkan rajutan, atau membaca buku lama mulai dari halaman pertama.
Tapi sebentar kemudian berdering ponselnya.
Asra memanggil.
Degup di dadanya terasa tidak biasa. Sepercik api nyala sekali lagi di sudut hati. “Jangan begini. Asra juga seorang teman dan tentu apapun yang ia lakukan ada alasan. Jangan terbakar dengan perasaan. Kadangkala kita mesti punya banyak sifat rela,” bisiknya pada diri sendiri.
Andin menjawab panggilan, suaranya terdengar sedikit lebih pelan, “Hallo?”
“Hai, An.”
“Ya.”
“Kau sedang apa? Di mana? Kenapa suaramu pelan sekali? Kau sakit?”
“Tidak.”
“Atau sedang malas bicara denganku?” terka Asra.
Hela napas Andin menyatakan setuju dengan cara yang dingin. Tapi Asra tertawa.
“Kau sedang cemburu?”
“Pada?”
“Padaku.”
“Gila.”
Suara Andin mendadak biasa. Asra selalu berhasil mengendalikan suasana bahkan dengan lelucon kecil yang sangat sederhana.
Obrolan mereka semakin panjang dan sesekali malah membahas hal-hal usang. Andin sering menyela obrolan dengan bertanya pada Asra, “Tadi jadi telepon Sindi?”
Tapi terus-terusan Asra menghindar dengan membahas soalan lain.
“Sra?”
“Ya.”
“Dari tadi pertanyaanku belum kau jawab.”
“Oh, iya.”
“Jadi?”
“Apanya?”
“Telepon Sindi…”
“Oh…, jadi.”
Jantung Andin mendadak sesak dan seperti akan meledak. “Lalu?” tanyanya kemudian.
Andin berusaha mengendalikan perasaan jika nanti cerita Asra menjadi sesuatu yang membuatnya cemburu dengan mudahnya. Dan benar saja. Sindi bukan sesuatu yang mudah hilang dari ingatan sebab masa kenangan yang mereka lalui begitu panjang. Mendengar suara Sindi dari seberang telepon rupanya menumbuhkan perasaan yang lama pada dada Asra. “Kau tahu, An. Caranya bicara padaku mendadak merobohkan benteng yang kubuat sedemikian rupa demi menghambat kenangan-kenangan tentangnya,” ungkap Asra.
Andin sibuk mengatur debar dadanya yang saling berbentur.
Di seberang telepon cerita Asra terus mengalir lancar seperti air. Ketika ia sadar Andin sudah lama tak merespons ceritanya kala itu, ia berulang-ulang menyeru.
Dan Andin tersentak, “Ya, Sra?”
“Kau masih di situ?”
Andin mencoba bersembunyi dari perasaannya sendiri. Ia berusaha lari demi menghindari rasa iri atas Sindi yang menguasai Asra sampai ke palung hati. Ketika ia tak sanggup menahan perasaan, Andin mengakhiri panggilan dan berkata akan kembali menelepon besok pagi setelah pulang dari pekan.
Sesekali muncul dalam logikanya bahwa tidak mungkin seorang Asra akan menaruh hati pada seorang Andin Kirana. Bukan tidak mungkin jika selama ini kehadiran Asra di hadapannya hanya untuk menghalau ingatan tentang Sindi yang begitu sulit ia buang. Demikian kata ‘lilin’ bermakna ‘sepi’ setiap kali ia menghitung gugur daun yang mati. Asra tidak akan pernah membuka hati sebelum ia mampu melupakan Sindi. Dan itu mustahil terjadi.
Malam kian larut. Andin duduk di teras belakang rumah yang menghadap ke laut. Ombak bergelombang berulang-ulang menghempas karang. Dermaga hilang ditelan malam yang jelaga. Lampu nelayan berkedip-kedip, kunang-kunang kerlap-kerlip. Andin terlilit temali perasaan berduri dan rasanya amat sakit.
Sementara Asra dikelilingi rimbun perasaan yang menjalar cepat, tumbuh dan merambat di benteng dan pagar yang berkarat. Perasaannya masih begitu pekat. Namun ternyata di hari yang sama, Sindi hanya sebentar merespons keberadaannya. Selang beberapa jam kemudian tidak ada lagi jawaban panggilan yang ia hantarkan, juga balasan pesan yang ia kirimkan. Asra benar-benar sadar bahwa Sindi tak menyimpan dirinya lagi di lubuk hati. Tapi harapan masih menggunung dan juga jadi lautan.
Pesisir menemani Andin dengan gelisah yang merajalela. Sebuah rasa ia gantung jauh ke ujung Sumatera. Seorang lelaki yang ada di sana ia yakini suatu saat pasti akan kembali. Namun kemana caranya akan dihantarkan tentu hanya Asra yang akan memutuskan. Pesisir lautan, perbukitan, atau akan menyeberang ia ke pulau yang ada di selatan-tempat yang dijadikan Sindi kota perantauan.
Listrik menyala dan lilin ia padamkan.
Padang, 31 Juli 2019
Maya Sandita, lahir di Pekanbaru pada 02 Mei 1994. Alumnus prodi seni teater ISI Padangpanjang (2019). Tahun ini Maya berdomisili di Batam sebagai pelatih teater berbahasa Inggris dan manager bimbel bahasa Inggris Talking English. Maya tergabung dalam FPL (Forum Pegiat Literasi) Padangpanjang, KOPI TANDA (Komunitas Penulis Tanah Datar), PCRBM (Penulis Cerita Rakyat Berbahasa Minangkabau), Bagindo Rajo (Komunitas Pendongeng Batusangkar), Street Theatre dan Teater Ode Batam. Beberapa karyanya pernah diterbitkan menjadi antologi cerpen : Lentera dalam Antologi Cerpen Perahu Tulis – Balai Bahasa Padang (2012), Heldes dalam Antologi Cerpen Menunggumu – DivaPress (2013), dan Batu Godang Putaran Toluak dalam Antologi Cerita Rakyat Berbahasa Minangkabau – Balai Bahasa Padang (2018). Beberapa cerpennya juga dimuat di koran lokal yang berjudul : Felicia – Republika (2019), Cokelat Pasir Pantai Bibir Ibu – Padang Ekspres (2019), Penabur Bunga – Republika, Rantai – Singgalang (2019), Kekasih Penggelar Buku – Haluan (2019), Pandam – Singgalang (2019), Bantal Penambal Bulan – Haluan (2019), Persahabatan – Riau Pos (2012), Teh Senja Ini – Rakyat Sumbar (2017), Tanya di Sepanjang Sungai di Rimbun Hutan – Rakyat Sumbar (2018). Maya juga menulis beberapa naskah teater yakni Perempuan-Perempuan (2014), Lysistrata (Terjemahan) (2015), Joko & Wina (2016), Eros (2016), Ratok Gadih Suayan (2016), Piknik (2017), Kartu Nama (2017), Isi Dada dan Kepala dalam Kantong Belanja (2018), Lanun Longkang (2018), dan Ode Perempuan Rantau (Terjemahan) (2019). Pada tahun 2018 Maya meraih juara 1 dalam Lomba Menulis Cerita Rakyat Berbahasa Minangkabau tingkat provinsi yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan Sumatera Barat, dengan judul cerita Batu Godang Putaran Toluak. Saat ini maya sedang menunggu penerbitan antologi cerpen pertamanya berjudul Ruang Tunggu dari Forum Aktif Menulis yang berpusat di Kediri – Jawa Timur di bawah asuhan Muhammad Subhan, S.Sos.I.