Hasil Uji Petik Jadi Dasar Revisi Aturan Soal Cantrang
Pemerintah berencana menguji petik larangan pemakaian alat tangkap cantrang. Hasilnya akan dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk merevisi aturan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan cantrang diusulkan untuk dibuka kembali bagi kapal-kapal nelayan yang akan beroperasi di zona ekonomi eksklusif Laut Natuna Utara. Namun, usulan itu bertentangan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 yang melarang pemakaian cantrang.
Alat tangkap itu tergolong pukat tarik yang dinilai merusak lingkungan. Meski demikian, pemerintah berencana memindahkan ratusan kapal nelayan cantrang berukuran lebih dari 30 gross ton (GT) dari pantai utara Jawa ke Laut Natuna Utara.
Wacana pemindahan nelayan itu muncul setelah kehadiran kapal-kapal China di zona ekonomi eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara. Pemindahan nelayan diharapkan mengisi kekosongan aktivitas pencarian ikan di kawasan itu.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, Zulficar Mochtar di Jakarta, Senin (20/1/2020), menyatakan, pihaknya sedang melakukan kajian terhadap Peraturan Menteri Kelautan Perikanan Nomor 71/2016. ”Sesuai permintaan pemangku kepentingan, nanti akan ada uji petik yang melibatkan berbagai pihak. Hasil kajian nantinya jadi dasar (revisi peraturan tentang cantrang),” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan Perikanan Nilanto Perbowo menyampaikan hal senada. ”Revisi aturan larangan cantrang kini dalam pembahasan,” katanya.
Pengkajian ulang terhadap peraturan yang melarang pemakaian cantrang merupakan bagian dari revisi terhadap 29 peraturan di lingkup Kementerian Kelautan Perikanan. Revisi mencakup 1 peraturan pemerintah, 23 peraturan menteri, 1 keputusan menteri, 3 keputusan direktur jenderal, dan 1 surat edaran. Dari jumlah itu, 17 aturan di antaranya ada di sektor perikanan tangkap.
Salah satu bentuk revisi bidang perizinan adalah peluncuran pelayanan sistem informasi izin layanan cepat. Proses perizinan dipangkas dari 14 hari jadi 1 jam untuk dokumen yang dinyatakan lengkap. Selama ini, proses perizinan di Kementerian Kelautan dan Perikanan dikeluhkan karena memakan waktu berbulan-bulan.
Rencana pemindahan nelayan cantrang menuai penolakan dari nelayan lokal Natuna. Nelayan lokal khawatir terjadi konflik area tangkapan. Selain itu, alat tangkap jenis cantrang juga dikhawatirkan merusak kelestarian lingkungan meski pemerintah menyatakan bakal mengarahkan penggunaan cantrang di zona perairan di atas 12 mil yang merupakan laut dalam.
Masalah baru
Kepala Bidang Hukum dan Organisasi Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin), Muhammad Billahmar berpendapat, pemindahan kapal cantrang dimungkinkan sepanjang diikuti pengawasan di zona penangkapan. Pengawasan itu penting agar tidak terjadi tumpang tindih area penangkapan dengan nelayan lokal.
Secara terpisah, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan, menilai pemindahan kapal cantrang hanya meredam masalah sesaat, tetapi berpotensi menuai masalah baru. Namun, pengawasan kesesuaian wilayah tangkap nelayan dengan zona yang ditetapkan dinilai tidak mudah.
Abdi juga menyoroti rencana pemerintah memindahkan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) di Selat Lampa bergeser ke utara Natuna yang dinilai tidak efektif. Masalah lokasi SKPT Natuna yang terlalu dekat dengan pangkalan TNI Angkatan Laut seharusnya diselesaikan dengan memindahkan pangkalan TNI ke utara yang merupakan garda terdepan perbatasan, bukan sebaliknya, memindahkan pangkalan nelayan ke perbatasan terluar.