Lelaki yang Menggenggam Rindu
Sejak saat itulah, lelaki yang semula dikenal periang itu berubah menjadi lelaki yang sangat pemurung. Ia tak mau bicara kecuali jika yang mengajak bicara adalah orangtua atau kerabatnya.
Kompas/Cahyo Heryunanto
Ini adalah kisah tentang seorang lelaki yang usianya tak lagi muda. Bulan Juni tahun ini usianya memasuki angka 47. Ia masih lajang. Bukannya tak mau menikah. Namun ia hanya mau menikah dengan seorang gadis yang sangat dicintainya dan kini telah tiada. Ya, lelaki itu memang memiliki kesetiaan yang begitu besar terhadap kekasih hatinya. Sang kekasih meninggal dunia secara mendadak dua jam sebelum akad nikah dan resepsi pernikahannya dengan lelaki itu digelar dengan konsep sederhana; hanya mengundang kerabat dan tetangga dekat. Terserang angin duduk, begitulah orang-orang di kampungnya menyebut kematian mendadak yang menimpa perempuan bernasib malang itu.
Orang-orang yang datang pagi menjelang siang itu mestinya telah berencana ingin mengucapkan selamat menempuh hidup baru kepada kedua mempelai. Mestinya, orang-orang itu datang dengan wajah cerah diliputi kebahagiaan seraya dari bibir mereka teruntai doa semoga pernikahan kedua mempelai menjadi keluarga sakinah mawaddah warahmah. Namun, siapa yang mengira bila pada akhirnya yang terucap dari bibir para tamu undangan justru ucapan belasungkawa disertai gurat sedih yang memayungi wajah-wajah mereka?
Para tetangga dan kerabat hanya menatap pilu tanpa mengeluarkan sepatah pun kata saat menyaksikan lelaki itu tiada henti tersedu sambil memeluk salah satu tiang besi penyangga tarub di pelataran rumah calon istrinya tersebut. Sesekali waktu, ia berlari, lalu menubruk kursi pengantin yang baru beberapa jam ditata sedemikian rupa di atas panggung setinggi satu depa di depan rumah orangtua perempuan itu. Saat perempuan itu dikuburkan, lelaki itu bahkan masih belum menukar baju pengantinnya yang basah oleh keringat baur tanah. Ia terus menangis sambil meratap dan menatap para penggali kubur itu dengan raut yang siapa pun yang menatapnya pasti langsung menitikkan air mata.
Sejak saat itulah, lelaki yang semula dikenal periang itu berubah menjadi lelaki yang sangat pemurung. Ia tak mau bicara kecuali jika yang mengajak bicara adalah orangtua atau kerabatnya. Itu pun hanya berbicara sekadarnya. Misalnya ditanya sudah makan apa belum, sudah mandi apa belum, dan pertanyaan-pertanyaan harian yang bagi lelaki itu terdengar sangat membosankan. Jangan sekali-kali mengajak lelaki itu bicara tentang pernikahan, karena ia akan langsung tertunduk, lalu menangis tersedu-sedu.
Pernah kejadian, beberapa waktu lalu, saat ada wanita paruh baya dari kampung sebelah (yang merupakan teman orangtua lelaki itu) datang bertamu ke rumah dan bertanya pada lelaki itu. Pertanyaan basa-basi yang sangat basi dan tak penting yang biasa dilontarkan mayoritas masyarakat saat bertemu dengan orang yang dianggapnya sudah layak berumah tangga. Pertanyaan tentang apakah ia sudah menikah atau belum. Kalau belum, kenapa kok belum.
Kalau sudah, apakah sudah memiliki momongan, bla-bla-bla. Tak dinyana, begitu mendapat pertanyaan itu, ia langsung tertunduk, menangis, lalu tak mau lagi diajak bicara. Tentu saja wanita baya teman orangtua lelaki itu menjadi salah tingkah dan merasa bersalah. Ia lantas memohon maaf pada lelaki itu, tapi tak digubrisnya. Lelaki itu hanya bergeming, tertunduk, tergugu. Mungkin karena merasa bersalah dan tak tahu lagi cara menebus kesalahannya, wanita itu segera mohon pamit.
Waktu pun bergulir begitu cepat. Hingga tak terasa kejadian meninggalnya calon mempelai perempuan itu kini telah menapaki angka 17 tahun, tetapi kesedihan yang dirasakan lelaki itu tak jua sirna. Ya, lelaki itu masih tetap bersetia pada cintanya. Pada kesetiaannya. Pada kerinduannya. Pernah suatu hari orangtuanya mencoba membujuknya agar mencari pengganti perempuan itu. Sebelum membujuk, orangtuanya telah memiliki calon sebagai pendamping hidup anaknya. Namun lelaki itu hanya menggeleng, bahkan rautnya tiba-tiba berubah merah penuh marah. Sejak saat itulah orangtuanya tak pernah berani mengusik kehidupan pribadi anak lanang semata wayangnya itu.
Selain pendiam, lelaki itu juga dikenal tertutup oleh masyarakat di kampungnya. Orang-orang di kampungnya sudah sangat paham tentang sifat dan kejadian yang pernah menimpa kehidupan lelaki malang itu. Oleh karena itulah tak ada yang berani mengusik dengan pertanyaan-pertanyaan yang bisa membuat lelaki itu tersinggung dan marah sebagaimana pernah dialami oleh orangtuanya saat berniat ingin menjodohkan lelaki itu dengan perempuan lain.
***
Suatu hari, lelaki itu bersama ibu kandungnya pergi ke kota dalam rangka menghadiri hajatan khitan kerabatnya. Mulanya, lelaki itu menolak saat diminta oleh ayahnya yang sudah repot bila bepergian jauh untuk menemani sang ibu yang sudah sepuh tapi masih terlihat energik dan masih bisa bepergian dengan kendaraan umum. Dan ketika lelaki itu menyadari bahwa hanya dirinya yang bisa diandalkan untuk menemani sang ibu, akhirnya dengan raut terpaksa ia menyanggupi perintah sang ayah. Pikir lelaki itu, kalau terjadi apa-apa di jalan yang berkaitan dengan keselamatan ibu, tentu ia akan merasa sangat bersalah.
Bersama ibu, lelaki itu pun berangkat ke rumah kerabat naik angkutan umum berupa minibus. Butuh waktu sekitar 45 menit dari kampungnya menuju rumah kerabat ibu yang lokasinya cukup dekat dengan pusat kota. Setiba di sana dan bersalaman dengan para kerabat, lelaki itu pamit pada ibu ingin keluar sebentar. Jalan-jalan di pusat kota, begitu ucap singkat lelaki itu saat pamit. Ibu yang sangat mafhum dengan karakter anaknya yang pendiam, tak bisa dibantah, dan tak menyukai suasana ramai itu hanya tersenyum, mengangguk, dan berpesan agar jangan lama-lama. Lelaki itu mengangguk kecil dengan raut datar tanpa senyum.
***
Lelaki itu terpana saat melihat kota kelahirannya yang kini terlihat sangat jauh berbeda dengan beberapa tahun silam. Ia baru tersadar sudah lama tak menyambangi pusat kota tersebut. Dulu, saat masih berpacaran dengan perempuan kekasih hatinya yang kini telah tiada, beberapa kali ia pergi ke pusat kota sekadar jalan-jalan di alun-alun dan trotoar yang kondisinya tak seramai dan sepadat sekarang.
Pula, masih hangat di memori lelaki itu saat kekasihnya yang sangat dicintainya itu bilang ingin pergi ke swalayan di pusat kota. Satu-satunya swalayan terbesar di kotanya waktu itu. Namun, ketika sudah tiba di pelataran swalayan yang cukup luas itu, kekasihnya tiba-tiba menggeleng dan berubah pikiran. Lain kali sajalah, begitu katanya membikin kening lelaki itu berkerut. Saat ditanya kenapa tak jadi masuk ke swalayan, kekasihnya tersenyum tipis sambil bilang enggak kenapa-napa. Lelaki itu pun tak berusaha menanyakan alasannya lagi karena dirasa tak penting dan akhirnya mengajak kekasihnya minum es degan di pinggir jalan dekat swalayan itu.
Dan kini, lelaki itu telah berdiri di halaman swalayan yang dulu pernah disambanginya bersama kekasih hatinya. Entah mengapa ada debar-debar yang tiba-tiba mengentak dada saat kedua kakinya berdiri di sana. Swalayan itu kini telah berubah lebih megah, lebih besar dan luas, bertingkat lima. Dulu, seingat lelaki itu, swalayan tersebut hanya bertingkat dua. Entah, seperti ada energi begitu kuat yang menyeret kedua kaki lelaki itu untuk masuk ke dalam swalayan megah tersebut.
Baru beberapa langkah, lelaki itu seperti orang kebingungan. Sampai-sampai beberapa orang yang lalu lalang keluar masuk swalayan memperhatikannya dengan raut dan tatapan aneh. Mungkin, mereka menganggap lelaki itu berasal dari pelosok kampung dan baru kali pertama pergi ke kota dan masuk ke swalayan semegah itu. Namun, lelaki itu tak menghiraukan pandangan aneh orang-orang itu. Ia kembali melangkah. Terus melangkah. Selangkah demi selangkah. Langkahnya terhenti seiring pandangannya terpatri pada sebuah tulisan di ujung sana. Tulisan dengan huruf kapital berwarna hitam itu berbunyi: Tempat Penitipan.
Tiba-tiba wajah perempuan kekasih lelaki itu terbayang di benaknya. Hei, tak hanya terbayang, tapi seolah tampak di depan mata. Spontan, kedua tangan lelaki itu terangkat, berusaha menangkap dan menggenggam erat bayangan kekasihnya itu. Pada saat itulah bayangan kekasihnya raib. Lelaki itu tertegun sambil menatap kedua tangannya yang kini dalam posisi (seperti) menggenggam sesuatu. Ah, tiba-tiba ia sangat merindukan kekasihnya yang kini telah tiada. Kedua sudut bibir pucat lelaki itu tertarik ke kanan dan kiri, menumbuhkan lengkung senyum tipis. Setengah tergesa, ia melangkah menuju tempat penitipan tersebut.
”Silakan, Pak,” perempuan muda penjaga penitipan barang tersebut menyapa lelaki itu dengan raut ramah. Lelaki itu menatap dengan raut kosong pada perempuan berseragam biru muda berambut hitam sebahu itu.
”Mana barang yang hendak dititipkan, Pak?” pertanyaan berikutnya membikin lelaki itu ngungun.
Lelaki itu tertunduk. Menatap bingung kedua tangan yang masih dalam posisi menggenggam. Detik berikutnya, tumbuh senyum di kedua sudut bibirnya. Perlahan, ia mengangkat kedua tangan dan menyodorkannya pada perempuan itu. Sambil membuka genggaman, lelaki itu berkata lirih dan gemetar, ”Saya ingin menitipkan rindu.”
Perempuan penjaga penitipan barang itu terpana tak percaya dengan apa yang dilihat kedua mata dan didengar kedua telinganya. Memorinya spontan melayang pada sosok lelaki yang hingga detik ini masih dirindukan kehadirannya. Lelaki yang pernah menjadi kekasihnya tapi kini tak mampu lagi mengingat dirinya setelah tragedi kecelakaan yang membuatnya amnesia.
__________________________
Sam Edy Yuswanto, lahir dan berdomisili di kota Kebumen. Ratusan tulisannya telah tersiar di berbagai media cetak, lokal, hingga nasional, antara lain: Jawa Pos, Republika, Koran Sindo, Kompas Anak, Suara Merdeka, Jateng Pos, Radar Surabaya, Riau Pos, dan Kedaulatan Rakyat. Buku kumpulan cerpen solonya yang telah terbit di antaranya Kiai Amplop, Percakapan Kunang-kunang, dan Impian Maya.