Kota Wuhan yang Saya Kenal
Para mahasiswa Indonesia di Wuhan, China, seperti warga Wuhan, kini tengah didera cobaan wabah virus korona. Wartawan ”Kompas” berkesempatan berkunjung ke Wuhan, November 2019, sebelum kota ini didera wabah virus korona.
Kota Wuhan adalah kota pedalaman China yang terletak di tengah-tengah negara tersebut. Kota ini menjadi titik persimpangan kereta cepat antara Guangzhou, kota nomor satu di selatan dengan Ibu Kota Beijing di utara, dan Kota Shanghai di timur laut, serta Chengdu di barat daya.
Pada akhir November 2019, Kompas berkesempatan hadir di Wuhan menjadi salah satu pembicara dalam seminar People to People Exchange yang diadakan oleh Central China Normal University (setara IKIP di Indonesia dengan skala terbesar di wilayah tengah daratan China).
Seminar itu digelar tiga hari dan para peserta dari Indonesia meluangkan waktu keseluruhan lima hari di Wuhan untuk berinteraksi dengan akademisi China dari berbagai pusat kajian ASEAN dan pusat kajian Indonesia. Mereka tentu saja juga bertemu dengan para pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan S-1 hingga S-3 di berbagai kampus di Wuhan, kota yang dibelah Sungai Yangtze (Mandarin Chang Jiang) itu.
Setiba di Bandara Tian He di Wuhan setelah transit di Bandara Bai Yun (Awan Putih) di Kota Guangzhou (tidak ada penerbangan terjadwal langsung dari Wuhan ke Indonesia) yang berangkat dari Jakarta, Kompas bersama akademisi dari berbagai kampus di Jawa dan Bali, dijemput dengan mobil sedan keluaran terbaru kelas setara atau di atas Toyota Camry hingga sedan Cadillac serta sedan Citroen rakitan China.
Delegasi Indonesia terdiri atas 51 orang yang didominasi akademisi dengan mantan Wakil Mendiknas Republik Indonesia Fasli Jalal, Ketua Harian Perhimpunan Indonesia Tionghoa Indra Wahidin turut memberikan pidato dan mengisi seminar yang membahas berbagai aspek sosial, budaya, dan ekonomi dalam hubungan Indonesia-China.
Selain para penghubung dari pihak kampus dan Pemerintah Provinsi Hubei, tentu saja para mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan umumnya S-2 dan S-3 di Wuhan, langsung menemui di bandara dan ada juga yang menunggu di Hotel Zhong Nan Garden tempat peserta menginap dan berseminar. Hotel tersebut terletak tidak jauh dari Danau Timur (Dong Hu) dan Sungai Yangtze. Kedai Starbucks dan berbagai gerai makanan serta minuman serta pertokoan modern terletak sepelemparan batu dari hotel.
Sekretaris Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Tiongkok Taufik Arif, Wakil Rais Syuriah PCNU Ahmad Syaifuddin Zuhri, dan beberapa teman aktivis mahasiswa Indonesia di Wuhan segera berkumpul di malam pertama delegasi hadir di Wuhan. Sebuah restoran Muslim di sebelah hotel langsung menjadi ”posko” untuk melepas kangen bertemu teman lama yang sama-sama mendalami kajian Tionghoa, Islam, dan hubungan budaya daratan China dan Asia Tenggara serta Nusantara.
Sate kambing, mi tarik daging sapi dengan kaldu pedas, sayur telur, hot pot dengan cabai kering dan buah mala—sejenis rempah pedas—berbagai menu halal dan teh khas China dihidangkan di meja makan. Restoran Muslim tersebut buka sejak sore hingga dini hari seperti beberapa restoran lainnya. Logo halal dalam bahasa Arab dan Mandarin terpampang di dalam dan di reklame luar ruang restoran.
Seperti kota-kota lain di China, restoran Muslim adalah bagian dari tradisi kuliner di China. Di kawasan menengah atas dan menengah bawah, restoran Muslim (jing zhen atau halal dalam Mandarin) selalu ada dan ramai dikunjungi tamu Muslim dan non-Muslim. Para mahasiswa asing dari Timur Tengah dan Eropa pun dijumpai penulis saat meluangkan malam berkumpul bersama para pelajar Indonesia selama empat petang di Kota Wuhan.
Di sela seminar, Syafuddin Zuhri dan Arif Taufik bergantian menemani penulis dan para akademisi untuk berkeliling Kota Wuhan. Wuhan adalah salah satu kota pusat Revolusi China tahun 1911 ketika Dokter Sun Yat Sen memimpin perlawanan bersenjata di Kota Wuhan dan menggerakkan tentara Republik Tiongkok. Dalam perkembangannya, Kota Wuhan, menurut Zuhri, menjadi pusat kekuatan militer kaum nasionalis (Kuomintang).
Seperti kota-kota yang pernah dikunjungi Kompas, antara lain Beijing, Shanghai, Nanjing, Xiamen, Anhui, Guangzhou, Nanning, dan sejumlah kota menengah dan kecil di China, Kota Wuhan terbagi atas berbagai blok hunian, taman, danau, dan berbagai fasilitas publik dan tentu saja kereta bawah tanah yang memudahkan transportasi warga. Mobil listrik dan motor listrik juga menjamur di seantero Kota Wuhan.
Syaifuddin Zuhri mengajak penulis mengunjungi pusat Teknologi Informasi China di Optical Valley yang luasnya ribuan hektar dan diproyeksikan menjadi Silicon Valley-nya China. Pengembangan teknologi 5G dan berbagai perusahaan teknologi raksasa, seperti Huawei dan Xiaomi, turut membangun perkantoran dan pusat riset di sana.
Pemerintah pusat dan Pemerintah Kota Wuhan berkongsi membangun Optical Valley yang memiliki landmark bangunan berkubah bundar futuristik. Tepat di sebelah Optical Valley terdapat pusat pertokoan yang membentang bilangan kilometer panjangnya, yakni Optic Valley Pedestrian Street. Berbagai pertokoan kelas atas hingga kelas bawah terdapat di Optic Valley. Penulis dan rombongan sempat diajak berbelanja panganan buah dan oleh-oleh khas Wuhan di pertokoan Carrefour.
Tenaga ahli perusahaan-perusahaan di Optic Valley tersebut, ujar Zuhri, dipasok oleh Huazhong University. Huazhong adalah salah satu dari sejumlah kampus tempat WNI menuntut ilmu. Kampus lain adalah Central China Normal University yang merupakan kampus ”IKIP” nomor dua di China setelah Beijing Normal University yang mencetak guru dan dosen-dosen terbaik di China.
Kampus lainnya adalah Wuhan University. Di Wuhan juga terdapat kampus untuk mencetak guru olahraga yang sebagian mahasiswanya menjadi sukarelawan dalam Olimpiade Militer yang digelar di Wuhan medio terakhir 2019.
Dalam kesempatan lain, Arif Taufik menceritakan mahasiswa asing yang jumlahnya ribuan di Wuhan dengan negara asal lima besar mahasiswa dan mahasiswi asing yakni Pakistan, Vietnam, Korea Selatan, Indonesia, dan Thailand.
Berbagai taman, bangunan modern, transportasi umum, dan bagian kota tua Wuhan di Distrik Wuchang adalah bagian dari perjalanan sejarah ribuan tahun daerah tersebut. Zuhri menceritakan, terdapat empat masjid dan ada kantin halal di kampus Central China Normal University.
”Standar kampus di China biasa ada kantin khusus halal atau pun kedai halal. Di kampus saya CCNU ada satu lantai khusus kantin halal dengan lebih 20 kedai di dalamnya,” kata Zuhri.
Harga menu halal di kampus, seperti la mian (mi tarik daging sapi) semangkuk dijual 8 renminbi (Rp 16.000) dan di restoran luar kampus 10 renminbi (Rp 20.000). Mi polos vegetarian dihargai 5 renminbi (Rp 10.000) semangkuk. Bandingkan dengan mi tarik sejenis di mal-mal Jakarta yang harganya lebih dari Rp 50.000 semangkuk (25 renminbi).
Para mahasiswa Indonesia di Wuhan seperti warga Wuhan lainnya, kini tengah didera cobaan wabah virus korona. Zuhri mengingatkan agar masyarakat di Indonesia tidak ikut menyebarkan berita palsu, dan menguatkan para mahasiswa yang tetap bertahan di Wuhan serta terus menjaga koordinasi dengan pihak kampus yang mengupayakan layanan terbaik bagi para pelajar Indonesia di Wuhan dan kota-kota lain di China pada masa sulit ini.
Ketabahan para pelajar Indonesia dan solidaritas dalam masa krisis ini adalah inti dari hubungan kemanusiaan dan persahabatan Indonesia dan China sebagai sesama perintis persaudaraan Asia-Afrika bersama India dan Mesir pada 1955 yang melahirkan Semangat Bandung!