Sungai masih menjadi urat nadi kehidupan di Kalimantan. Saat meliput daun kratom di Kapuas Hulu, wartawan ”Kompas” nyaris tenggelam di Sungai Kapuas karena perahu cepat yang terlalu sarat dengan muatan daun ajaib itu.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·5 menit baca
Saat meliput sungai dan tanaman kratom (Mitragyna speciosa) November lalu, Kompas harus masuk ke sudut-sudut Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Mengarungi sungai, berganti moda transportasi, serta menginap di rumah lanting menjadi keharusan. Bahkan, saya nyaris karam saat menaiki perahu motor cepat (speedboat) karena terlalu sarat muatan.
Kapuas Hulu, yang berjarak 600 kilometer dari Pontianak, adalah wilayah yang saya tuju untuk meliput sungai dengan berbagai aspeknya dan tanaman kratom yang sedang kontroversial. Tanaman yang sering disebut sebagai daun ajaib itu menjadi sumber penghasilan utama ratusan ribu warga. Akan tetapi, Badan Narkotika Nasional (BNN) menggolongkannya ke dalam jenis narkotika golongan 1.
Terkait sungai, saya ingin menulis mengenai rumah lanting dan kapal bandong yang merupakan representasi dari kebudayaan sungai. Rumah lanting dan kapal bandong sudah tidak banyak lagi. Saya pun bertanya kepada kenalan di Kapuas Hulu bernama Marcellus (63) untuk menentukan wilayah mana yang masih memiliki rumah lanting yang relatif masih banyak dan kapal bandong. Ia sangat paham wilayah Kapuas Hulu.
”Kamu ke Nanga Embaloh saja. Di situ kamu masih bisa menemukan rumah lanting yang lumayan banyak dan juga kapal bandong,” ujarnya.
”Di sana ada penginapan hotel atau losmenkah?” saya bertanya.
”Wah. Tidak ada. Begini saja, kamu temui Pak Akiau (58) kenalan saya. Dia bisa mambantu kamu selama di sana. Kebetulan dia tinggal di lanting,” ujar Marcellus.
Saya pun berangkat dari kota Putussibau, ibu kota Kapuas Hulu menuju Nanga Embaloh, Kamis (14/11/2019) siang. Untuk mencapai Nanga Embaloh, saya harus menumpang speedboat sekitar 1 jam 30 menit mengarungi Sungai Kapuas.
Di sepanjang perjalanan itu juga saya bisa menyaksikan tepian Kapuas yang dipenuhi tanaman kratom. Geliat ekonomi dari kratom sangat tampak jelas di pinggir Kapuas.
Perjalanan menuju Embaloh Hulu saat berangkat lancar. Kamis sore saya tiba di Nanga Embaloh. Di sana saya singgah di rumah lanting milik Akiau. Saya pun memperkenalkan diri bahwa saya teman Pak Marcellus.
Akiau adalah narasumber pertama saya. Kebetulan dia memiliki rumah lanting dan tinggal di lanting sejak kecil. Sederhananya, rumah lanting adalah rumah yang berdiri di atas rakit dan mengapung di sungai. Saya mendapatkan kisah menarik dari Akiau. Ia pun membawa saya menemui pemilik rumah lanting lainnya serta pemilik kapal bandong. Saya bisa cepat mengumpulkan data lapangan dan selesai hari itu juga.
Hari sudah mulai gelap. Kini saatnya memilikirkan akan tidur di mana malam itu. ”Pak, di sini tempat penginapan di mana ya?” tanya saya.
”Tidak ada Pak. Tidur di lanting saya saja. Sekalian mencoba tidur di rumah lanting, kan, he-he-he...,” ujar Akiau.
Setiba di rumah, Popo (55), istri Akiau, menyiapkan makanan dan makanan lainnya khas Kapuas Hulu, yakni kerupuk basah. ”Pak, silakan coba kerupuk basah buatan saya,” ujarnya.
Saya pun mencoba kerupuk basah. Kerupuk basah dengan cita rasa ikan sungai yang sangat lezat dimakan dengan saus kacang. Makanan pun segera kami santap. Setelah selesai makan, saya pun mandi langsung mengambil air dari Sungai Kapuas. Tinggal di rumah lanting tidak perlu repot-repot menyedot air ke kamar mandi.
Malam itu saya tidur di rumah lanting Akiau. Mereka keluarga yang sangat ramah dan bersahaja. Bayangkan kalau tidak ada lanting Akiau, saya tidak tahu akan tidur di mana malam itu karena tidak ada penginapan.
Saya pun memiliki pengalaman tidur di rumah lanting. Saat ada perahu cepat melintas, lanting diterpa gelombang, sehingga rumah bergoyang mengikuti irama gelombang air sungai. Sepintas tak ada bedanya dengan tinggal di rumah daratan. Namun, saat diterpa gelombang baru terasa kekhasan tinggal di rumah lanting.
Nyaris celaka
Malam pun berlalu. Jumat (15/11/2019) pukul 05.00 waktu setempat, saya bangun karena speedboat yang akan saya tumpangi untuk kembali menuju Putussibau berangkat pukul 06.00. Saya menunggu di teras lanting.
Saat speedboat menjemput saya di lanting, saya kaget karena sarat dengan muatan remahan kratom titipan warga. Remahan kratom dimasukkan ke dalam plastik. Ketinggian speedboat dengan permukaan air tinggal 3-4 sentimeter saja.
Bagaimana tidak sarat. Di bagian depan dan belakang penuh dengan tumpukan plastik berisi remahan kratom. Di tempat duduk terdapat empat penumpang. Ada ibu-ibu dan anaknya serta seorang nenek. Duduk pun berdempetan.
Perahu tidak bisa melaju kencang karena muatan sangat berat. Kamudian, saat nakhoda mengurangi kecepatan, air sempat nyaris masuk ke dalam speedboat. Mengurangi kecepatan tidak boleh sembarangan karena bisa karam.
Ibu-ibu yang duduk di sebelah saya wajahnya cemas. Saat gelombang menerpa speedboat dan air nyaris masuk, ibu itu ngoceh. Apalagi, ibu itu sangat latah. ”Eh air. Eh air. Masuk,” ujar ibu itu sambil menutup mulutnya yang terkesan malu karena latah.
Demikian juga nenek yang duduk di depan saya tak henti-hentinya menyebut Tuhan setiap speedboat oleng dan nyaris terguling.
Sang nakhoda pun berupaya mengurangi barang bawaannya dengan meminta bantuan rekannya yang juga membawa speedboat. Namun, muatan tetap sarat. Kecepatan hanya bisa 20-30 km per jam. Beberapa kali muatan dikurangi, tetapi masih saja sarat.
”Kalau begini mau berapa jam baru sampai ke Putussibau,” dalam hati saya bergumam.
Saat speedboat oleng, kami harus menjaga keseimbangan agar tidak karam. Sebab, air muncrat sampai ke dalam. Kalaupun kapal karam, saya bisa berenang. Namun, yang saya pikirkan laptop dan kamera di dalam tas saya. Kalau sampai karam, habis semua bahan liputan yang dikumpulkan sejauh 600 km dari Pontianak.
Saya pun sudah hampir emosi karena nakhoda hanya memikirkan keuntungan. Meskipun saat ini mengangkut kratom penghasilan terbesar mereka, keselamatan penumpang juga harus dipertimbangkan.
Sepertinya nakhoda mulai memahami perubahan wajah saya. Dia pun menghampiri salah satu speedboat lainnya. Kebetulan penumpang di situ sedikit. Saya berpindah speedboat dan bisa tiba di Putussibau dengan selamat.
Dalam liputan ke wilayah-wilayah yang belum pernah saya kunjungi, terkadang khawatir tidak menemukan bahan yang diinginkan. Namun, saya selalu berkeyakinan, sejauh saya memiliki niat baik, langkah kaki saya akan selalu dipertemukan dengan apa yang saya cari, termasuk dengan orang-orang yang mambantu dalam peliputan, misalnya keluarga Akiau.