Para pemegang kebijakan sepatutnya belajar cepat, betapa pemberian subsidi pada barang lebih besar mudaratnya ketimbang subsidi langsung kepada orang yang berhak, termasuk subsidi elpiji 3 kilogram.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Ada pelajaran yang bisa dipetik dari subsidi elpiji 3 kilogram di negara kita. Betapa pemberian subsidi pada komoditas lebih banyak mudaratnya ketimbang subsidi langsung kepada orang yang berhak. Rencana pengendalian subsidi elpiji bahkan membuat sebagian pihak tak menggunakan nalarnya dengan benar.
Sejak dikenalkan ke publik tahun 2007, harga jual elpiji 3 kg atau yang dikenal sebagai gas melon adalah Rp 4.750 per kg. Padahal, harga rata-rata elpiji nonsubsidi (keekonomian) berkisar Rp 10.000-Rp 11.000 per kg. Nilai subsidi pada gas melon jadi sekitar Rp 6.000 per kg.
Dengan konsumsi per tahun 6-7 juta ton, subsidi elpiji bisa lebih dari Rp 36 triliun per tahun. Pada 2018, subsidi elpiji 3 kg mencapai Rp 58,1 triliun dan tahun 2019 tak jauh beda, yaitu Rp 58 triliun. Angka itu belum termasuk subsidi solar dan listrik, jenis energi lainnya.
Kembali ke soal subsidi pada komoditas. Lantaran ada dua harga yang beda jauh untuk satu jenis barang, tak heran jika ada penyelewengan di lapangan. Contoh yang jamak adalah pengoplosan elpiji. Gas dari tabung 3 kg yang dibeli murah dicampur dengan gas dari tabung 12 kg nonsubsidi.
Selain itu, ada sejumlah temuan di lapangan, masyarakat yang tergolong mampu ikut membeli elpiji yang sejatinya untuk masyarakat miskin. Kasatmata ada pemilik mobil, tinggal di perumahan kelas menengah, bahkan apartemen ikut membeli gas melon. Di Indonesia, apa mereka dikategorikan sebagai masyarakat miskin? Jelas tidak.
Dari berbagai fakta itu, pemerintah berencana mengembalikan subsidi pada khitahnya. Usulan agar elpiji 3 kg dijual secara tertutup, tidak bebas seperti sekarang, sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Uji coba distribusi tertutup dengan kartu beridentitas khusus pun sudah dilakukan. Elpiji 3 kg hanya bisa diperoleh para pemegang kartu khusus.
Rencana pengendalian subsidi akan dimulai paling awal semester II-2020. Dari perhitungan pemerintah, diperkirakan ada penghematan sampai 30 persen dari total nilai subsidi elpiji dalam setahun. Jika pengendalian subsidi diterapkan sejak Januari 2020, dengan alokasi subsidi Rp 50,6 triliun tahun ini, penghematan mencapai Rp 15 triliun.
Dengan rencana pengendalian ini, harga jual elpiji 3 kg disesuaikan harga keekonomian, diperkirakan jadi Rp 35.000-Rp 40.000 per tabung. Sementara saat disubsidi, harganya sekitar Rp 20.000 per tabung. Namun, masyarakat miskin yang berhak atas subsidi masih bisa membelinya dengan dana subsidi yang langsung diberikan ke mereka.
Sayangnya, rencana ini diterjemahkan secara liar oleh sejumlah kalangan. Bahkan, beberapa politisi menuduh pemerintah tak berpihak pada rakyat dengan menaikkan harga elpiji. Parahnya lagi, rencana itu dianggap melanggar konstitusi! Sebuah pemikiran yang entah dari mana dasarnya.
Komoditas energi sekaligus jadi komoditas politik di negeri ini. Isu kenaikan harga energi adalah isu serius yang bisa berujung polemik dan konflik di jalanan lewat demonstrasi. Persoalan energi bisa jadi tunggangan dan agenda gelap politisi untuk tujuan yang bukan mencerahkan rakyat, tetapi membuat situasi makin runyam.
Di luar itu, para pemegang kebijakan sepatutnya belajar cepat. Betapa pemberian subsidi pada barang, sekali lagi, lebih besar mudaratnya ketimbang subsidi langsung pada orang yang berhak. Edukasi ke publik harus terus-menerus diberikan. Butuh pula dukungan politisi yang mencerdaskan publik, bukan yang membodohi.
Negara kita bukanlah negara yang berlimpah minyak dan gas bumi. Indonesia sudah berstatus net importir minyak sejak 16 tahun lalu. Lebih dari separuh elpiji yang dikonsumsi diperoleh dari impor dan dianggap sebagai penyumbang defisit neraca perdagangan. Selain berperilaku hemat energi, pengendalian subsidi adalah langkah yang sesuai akal sehat.