Gerakkan Ekonomi di Papua
Peran Jawa sebagai kontributor terbesar perekonomian Indonesia belum bergeser. Di sisi lain, perekonomian di Papua tumbuh minus pada 2019 dengan kontribusi paling rendah.
JAKARTA, KOMPAS — Jawa masih menjadi kontributor terbesar bagi perekonomian Indonesia. Pada 2019, produk domestik regional bruto Jawa yang tumbuh 5,52 persen secara tahunan berkontribusi 59 persen terhadap perekonomian Indonesia.
Pada 2019, perekonomian RI tumbuh 5,02 persen dibandingkan dengan tahun 2018 atau yang terendah sejak 2016.
Sebaliknya, kawasan timur Indonesia, yakni Maluku dan Papua, pertumbuhan ekonominya pada 2019 minus 7,4 persen. Kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) yang 2,24 persen paling rendah daripada kawasan lain di Indonesia.
Padahal, pada 2018, wilayah Maluku dan Papua tumbuh 6,99 persen dengan kontribusi terhadap PDB RI 2,47 persen.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform Fabby Tumiwa berpendapat, ketersediaan sumber energi yang cukup dan terjangkau adalah syarat utama untuk menggerakkan ekonomi suatu wilayah. Oleh karena itu, kecukupan pasokan listrik merupakan hal yang penting dan vital. Listrik merupakan sumber energi bagi aktivitas individu, rumah tangga, dan industri.
Kecukupan pasokan listrik akan merangsang aktivitas ekonomi, baik dalam skala kecil, menengah, maupun skala besar. ”Negara-negara yang industrinya maju, konsumsi listrik per kapitanya jauh lebih tinggi daripada negara berkembang,” kata Fabby di Jakarta, Jumat (7/2/2020).
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, rasio elektrifikasi di Maluku dan Papua di bawah rasio elektrifikasi nasional yang 98,89 persen. Hingga akhir 2019, rasio elektrifikasi di Maluku 92 persen dan di Papua 94 persen. Rasio elektrifikasi adalah perbandingan jumlah penduduk yang mengakses listrik dibandingkan dengan populasi di wilayah tersebut.
Dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (5/2), Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menyampaikan, pertumbuhan ekonomi Papua minus 15,72 persen. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi wilayah Maluku dan Papua menjadi negatif 7,4 persen. Padahal, perekonomian Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat pada 2019 masih tumbuh positif.
”Penyebab utama pertumbuhan ekonomi Papua negatif karena penurunan produksi Freeport akibat pengalihan sistem tambang,” ujarnya.
PT Freeport Indonesia beralih dari pertambangan terbuka ke bawah tanah sehingga produksi berkurang. Harga komoditas tambang yang turun juga menyeret pertumbuhan ekonomi Papua.
Berdasarkan data BPS, sumber pertumbuhan ekonomi Papua dari pertambangan dan penggalian minus 43,21 persen pada 2019.
Faktor penggerak
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi Sanny Iskandar mengatakan, perekonomian suatu daerah akan tumbuh ketika ada faktor penggerak.
”Faktor ini bisa dari berbagai sisi, seperti industri manufaktur, pariwisata, ritel, properti, dan lainnya,” kata Sanny di Jakarta, Jumat.
Menurut Sanny, Kadin Indonesia, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dan Himpunan Kawasan Industri Indonesia mendorong pengembangan kawasan ekonomi di Maluku dan Papua. Kawasan ekonomi itu bisa berbasis sumber daya alam dan pariwisata. ”Dua sektor itu yang mungkin bisa mendorong pertumbuhan ekonomi di Maluku dan Papua,” ujar Sanny.
Apalagi, Maluku dan Papua sebenarnya memiliki potensi sumber daya alam terkait dengan minyak dan gas serta perikanan.
”Sektor yang sebetulnya paling cepat untuk dikembangkan demi menumbuhkan ekonomi di sana adalah pariwisata. Apalagi, dorongan infrastruktur digalakkan di sana,” kata Sanny.
Baca juga: Jaga Konsumsi agar Tak Melemah
Ketua Umum Gabungan Industri Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman menyebutkan, pembangunan infrastruktur di Papua dan Maluku tidak diikuti penumbuhan industri. ”Pemerintah harus berkorban dulu untuk membangun infrastruktur, terutama infrastruktur untuk industri terkait listrik, gas, dan lainnya,” katanya.
Direktur PT Harta Samudra Robert Tjoanda mengungkapkan, usaha perikanan tangkap berpotensi tumbuh di perairan Indonesia bagian timur. Usaha penangkapan ikan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, seperti pancing ulur (hand line) yang melibatkan nelayan tradisional dan kecil, justru menjadi kekuatan yang menggerakkan perikanan bernilai tambah di wilayah itu.
Optimistis
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan, Indonesia punya banyak alasan untuk tetap optimistis pada tahun ini. ”Kita juga punya modal untuk tetap menjaga hubungan baik dan harmonis antara pemerintah dan pemangku kepentingan, termasuk pengusaha,” kata Sri Mulyani pada Business Gathering Outlook Perekonomian dan Kebijakan Fiskal 2020 yang dilaksanakan Apindo, Kadin Indonesia, dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Indonesia Tak Beranjak dari Kisaran 5 Persen
Namun, dia juga menegaskan agar kewaspadaan tetap dijaga. ”Optimisme dan kewaspadaan adalah campuran yang baik dalam menjalani 2020,” katanya.
Secara terpisah, Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo menyebutkan, modal asing Rp 11 triliun meninggalkan Indonesia dalam sepekan terakhir. Aliran modal ini dipicu sentimen penyebaran virus korona tipe baru di Asia.
Modal asing Rp 11 triliun meninggalkan Indonesia dalam sepekan terakhir.
Kepala Riset UOB Suan Teck Kin menyebutkan, pertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia akan terkena dampak kedaruratan kesehatan global akibat virus korona tipe baru. Dengan asumsi kondisi itu berlangsung 6 bulan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 bisa merosot 0,1-0,2 persen. Tahun ini, UOB memproyeksikan perekonomian Indonesia tumbuh 5,2 persen. (APO/KRN/LKT/CAS/DIM)