Pemerintah berjanji tetap menyerap gabah produksi petani untuk menjaga harganya tetap layak. Selain panen raya, petani khawatir harga gabah anjlok karena gudang penggilingan, pedagang, dan Bulog masih terisi.
Oleh
Nina Susilo / M Paschalia Judith
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan Perum Bulog tetap akan menyerap gabah atau beras produksi dalam negeri untuk menstabilkan harga di tingkat petani. Namun, soal pengelolaan cadangan beras pemerintah, pihaknya masih akan membahasnya dalam rapat koordinasi.
Airlangga menyampaikan hal itu melalui pesan singkat seusai mengikuti rapat terbatas di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/2/2020). Menurut dia, fungsi Bulog sebagai stabilisator harga tidak akan berubah.
Secara terpisah, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyatakan, peran Bulog sangat penting untuk menjaga harga, yakni dengan tidak melepas beras cadangan dan menyerap produksi petani pada saat panen raya. Dengan demikian, harga di tingkat petani diharapkan tak anjlok.
Para petani khawatir harga jual hasil panennya anjlok pada panen raya Maret-Mei 2020. Sebab, pasar beras dinilai jenuh, antara lain terlihat di gudang milik Bulog, penggilingan, kelompok tani, dan pedagang yang umumnya masih terisi.
Sejumlah pihak mengingatkan pemerintah soal dampak perubahan model penyaluran bantuan pangan dari natura menjadi tunai, khususnya terhadap kesejahteraan petani. Perubahan itu dinilai berimbas pada terus turunnya realisasi penyerapan gabah/beras oleh Bulog, yakni dari 2,961 juta ton (2016) menjadi 2,051 juta ton (2017), 1,488 juta ton (2018), dan 1,201 juta ton (2019).
Seiring perluasan program Bantuan Pangan Non-tunai (BPNT) sejak tahun 2017, pangsa pasar Bulog makin kecil. Penyaluran beras terus berkurang sehingga fungsi stabilisasi dikhawatirkan makin lemah. Kini, Bulog mesti bersaing menyuplai bahan pangan ke agen penyalur.
Menurut Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial, Andi ZA Dulung, Bulog berpeluang memperbesar pasokan beras ke agen penyalur bahan pangan pada program BPNT. Dengan demikian, saluran makin besar sehingga risiko penumpukan dan kerusakan beras akibat terlalu lama disimpan di gudang bisa makin minimal.
Jumlah beras yang disuplai Bulog ke agen penyalur BPNT terus naik setahun terakhir, yakni dari 1.338 ton pada Januari 2019 menjadi 29.778 ton pada Desember 2019. Setiap bulan, kebutuhan beras untuk BPNT berkisar 120.000-150.000 ton. ”Ada peluang menyuplai kebutuhan agen hingga 1,5 juta ton per tahun,” kata Andi.
Pemerintah mulai mengubah model penyaluran bantuan pangan dari rastra ke BPNT untuk memastikan bantuan pemerintah lebih tepat sasaran, tepat jumlah, tepat waktu, tepat harga, tepat kualitas, dan tepat administrasi. Mekanisme itu diharapkan turut menggerakkan perekonomian rakyat serta mengangkat kesejahteraan keluarga penerima manfaat.
Kelembagaan
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia, Dwi Andreas Santosa, berpendapat, status Bulog sebaiknya berubah menjadi badan otoritas pangan. Badan tersebut langsung bertanggung jawab kepada Presiden.
Gagasan tentang pembentukan lembaga pemerintah di bidang pangan merupakan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Tujuannya mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional.
Secara terpisah, Komisioner Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih, berpendapat, perubahan status Bulog dari perusahaan umum menjadi perseroan terbatas diperlukan agar Bulog bisa berorientasi pada profit. Bulog berpotensi mengembangkan bisnisnya karena memiliki jaringan gudang dan logistik yang kuat.
Pemerintah dapat mempertahankan fungsi stabilisasi asalkan Bulog murni sebagai pelaksana. Artinya, pendanaannya berasal dari pemerintah. Alamsyah mengkritik mekanisme pembiayaan dalam penugasan Bulog selama ini dalam pengadaan dan penyaluran beras. Mekanismenya justru membuat Bulog mengalami tekanan keuangan karena mesti meminjam ke bank terlebih dahulu dengan bunga komersial.
Menurut peneliti Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), M Husein Sawit, perubahan status dan pendanaan Bulog mesti disertai perbaikan ekosistem perberasan dari hulu ke hilir. ”Pemerintah perlu meninjau ulang aturan terkait harga eceran tertinggi, satuan tugas pangan, dan program serapan gabah/beras petani,” katanya.
Evaluasi terhadap aturan-aturan itu dapat menyehatkan ekosistem bisnis perberasan dari tingkat petani, penggilingan, hingga konsumen. Ekosistem yang sehat akan menyokong kesejahteraan petani.
Evaluasi aturan-aturan itu, kata Husein, tetap membuat pemerintah dapat mengendalikan pasar beras melalui Bulog. Fungsi pengelolaan cadangan beras, yang menjadi hak istimewa Bulog, memampukan pemerintah mengendalikan harga di tingkat petani dan konsumen.
Wakil Ketua Umum Pengurus Pusat (Perhepi) Bustanul Arifin berpendapat, Bulog mesti berbenah agar segenap proses bisnisnya makin efisien. Dengan demikian, Bulog berpeluang mengembangkan usahanya secara komersial. (JUD/INA/MKN)