Melawan Diskriminasi, Memberdayakan Transpuan dengan Salon Kecantikan
Diskriminasi terhadap kelompok jender yang kerap disebut waria bisa diminimalkan dengan menyadari bahwa setiap individu adalah anggota masyarakat. Melawan diskriminasi salah satunya dengan cara memberdayakan mereka.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·4 menit baca
Di kontainer yang telah disulap menjadi salon, ada beberapa orang yang tangannya tidak berhenti bekerja sejak pagi. Mereka memotong rambut, mengecatnya, dan memijat pelanggan yang ingin creambath. Semua dilakukan sambil merapal harapan akan masa depan yang lebih cerah.
Para pekerja salon itu adalah wanita pria (waria) terpilih yang telah menerima pelatihan keterampilan selama empat bulan. Kendati belum terdaftar di Kamus Besar Bahasa Indonesia, diksi ”waria” lebih umum disebut ”transpuan” di komunitas mereka.
Ada enam orang yang mengoperasikan salon ini. Mereka dipilih dari 215 orang untuk mengikuti program ”Yes I Can”. Program ini digagas Pusat Penelitian HIV/AIDS (PPH) Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya dengan tiga lembaga masyarakat. Ketiganya merupakan payung bagi anak jalanan, pekerja seks komersial, dan transpuan.
Secara total, ada 26 orang yang dipilih sebagai peserta program. Mereka diberi pelatihan di bidang berbeda-beda, antara lain kecantikan, otomotif, dan sekretariat.
”Program ini mulai berjalan pada 2018. Program disusun berdasarkan analisis yang dilakukan pada 2017,” kata pendamping program dari PPH Unika Atma Jaya, Nilla, di Jakarta, Jumat (14/2/2020).
Salon yang diberi nama ”Sang Ratu” ini mewadahi enam peserta program. Salon ini berada di dalam kawasan Unika Atma Jaya, Jakarta, dan beroperasi sejak 10 Februari 2020. Pelanggan yang datang bukan hanya mahasiswa, melainkan juga masyarakat umum yang mengenal salon ini dari media sosial.
Marwah diri
Salah satu pekerja salon, Mulan (27), memandang positif program yang ia ikuti. Selain punya bekal untuk berkarya di bidang kecantikan, ia juga jadi lebih paham akan marwah dirinya sebagai warga negara Indonesia.
Ia adalah warga Indramayu yang hijrah ke Jakarta pada 2009. Pada 2017, ia mengikuti kontes kecantikan transpuan dan berhasil meraih posisi 10 besar. Dari titik itulah, ia mulai mengenal komunitas transpuan dan mengikuti program Yes I Can.
Berkomunitas dengan rekan lesbian, gay, biseksual, dan transgender telah memberinya pencerahan terhadap haknya sebagai WNI. Sebelum bergabung dengan komunitas, Mulan selalu bingung dalam bersikap karena tidak mengerti hak yang ia miliki, apalagi membelanya.
”Sekarang aku tahu bahwa ada hak untuk menolak, misalnya menolak untuk dilecehkan. Aku juga jadi tahu soal kebebasan berekspresi dan hak hidup. Dulu, sebelum tahu hakku, aku lebih memilih diam,” kata Mulan.
Kendati haknya dijamin Undang-Undang Dasar 1945, Mulan bertekad menjaga sikapnya di hadapan publik. Ia juga teliti dalam memilih busana. Hal itu dilakukan agar tidak mencolok dan untuk menghindari diskriminasi.
Mulan cukup akrab dengan perundungan dan diskriminasi. Bukan hanya tetangga atau masyarakat yang merundungnya, melainkan juga keluarga. Hingga kini, ia belum mengaku (coming out) kepada keluarganya soal orientasi seksualnya.
”Aku belum mau come out karena belum ada sesuatu yang bisa dibanggakan. Tapi, tanpa perlu come out pun, aku yakin mereka sudah tahu soal ini,” kata Mulan.
Perundungan juga dialami Jio Wicaksono (28) sejak kecil. Karena tidak tahan dengan diskriminasi, Jio memilih keluar dari sekolah saat kelas 3 SD. Keputusan Jio ini sempat disayangkan keluarga besarnya.
Ketika dewasa, Jio mengikuti kontes kecantikan transpuan dan meraih posisi 10 besar. Sama seperti Mulan, ia akhirnya menjadi peserta program Yes I Can dan bekerja di salon Sang Ratu. ”Sebelumnya, saya pernah bekerja sebagai bartender dan pekerja seks online,” katanya.
Pekerja salon Iyet Artikasari (32) mengatakan, ia berprofesi sebagai model sebelum menjadi peserta Yes I Can. Ia berencana kembali ke kampung halamannya di Jambi dan membuka usaha sendiri. Ia ingin membuka salon dengan bekal keterampilan yang diperoleh dari program itu.
Penerimaan publik
Nasib Jio terbilang beruntung sebab ia diterima secara utuh oleh keluarga besarnya. Hal itu disyukuri benar oleh Jio.
Tidak semua LGBT mendapatkan penerimaan ini. Hal ini terbukti dari hasil riset Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Survei dilakukan pada Maret 2016, September 2017, dan Desember 2017. Ada 1.220 responden yang dilibatkan dalam survei in dengan margin of error 3,1 persen.
Pada September 2017, ada 85,4 persen responden yang merasa sangat dan cukup terancam oleh LGBT. Adapun 53,3 persen tidak menerima LGBT di keluarganya. Sementara itu, 79,2 persen keberatan apabila LGBT menjadi tetangga mereka.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Derajad Sulistyo Widhyharto, mengatakan, diskriminasi tidak akan hilang secara sosiologis. Sebab, diskriminasi adalah bagian dari proses bermasyarakat, termasuk di dalamnya adalah penolakan akan nilai dan norma tertentu.
”Hubungan antara individu LGBT dan individu lain tidak bermasalah karena kemampuan individu untuk membawa diri. Namun, diskriminasi LGBT terjadi karena hubungan itu naik level dari individu ke hubungan antarkelompok. Ada perbedaan nilai dan norma yang disepakati masing-masing kelompok,” kata Derajad.
Diskriminasi bisa diminimalkan dengan menyadari bahwa setiap individu adalah anggota masyarakat. Selain itu, setiap individu pun perlu beradaptasi dan menghargai satu sama lain.
Mahasiswa di Jakarta, Kamel (20), mengatakan, ia pernah merasa canggung berhadapan dengan LGBT karena pemahamannya masih minim. Setelah mencari tahu lebih banyak, ia jadi lebih memahami LGBT dan tidak lagi canggung.