Gelandangan termasuk dalam kelompok yang tidak tercacah pada Sensus Penduduk 2010 dan berpotensi terulang pada sensus periode 2020. Program pemerintah bisa tak tepat sasaran jika data sensus penduduk kurang sempurna.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu/Satrio Pangarso Wisanggeni
·5 menit baca
Bising suara kendaraan serta debu yang terbang bersama angin di kolong flyover Kampung Melayu, Jakarta Timur, Jumat (14/2/2020), jelang dini hari tak mengurangi kemesraan Ituh Sitorus (51) dan Ani (27). Di bawah sinar lampu jalan yang temaram, sepasang suami istri yang tinggal menggelandang itu nikmat menyantap sebungkus nasi goreng dan semangkuk mi ayam yang dimakan bergantian.
Sekalipun harus tinggal beratap jalan layang dan beralas kardus, Ituh dan Ani bersyukur bisa hidup bersama sejak tiga tahun lalu. Kebersamaan dalam kebersahajaan itu mungkin tidak akan terjadi jika pada 2017 mereka tak jadi menikah di salah satu Gereja Bethel Indonesia, Kalimalang, Bekasi, Jawa Barat.
”Waktu itu sulit daftar pernikahan karena kami enggak punya KTP (kartu tanda penduduk), jadi semuanya diurus Gereja,” ujar Ituh.
Sampai saat ini, perantau asal Medan, Sumatera Utara, itu tak tahu bagaimana pernikahan tersebut akhirnya terselenggara. Apalagi, pernikahannya yang berlangsung tanpa kartu identitas bisa mendapat pengakuan negara. ”Kami punya buku nikah,” ucapnya.
Kesulitan saat hendak mendaftarkan pernikahan bukan satu-satunya kesulitan yang dihadapi Ituh dan Ani dalam menjalani hidup di Ibu Kota. Tanpa identitas resmi sebagai warga negara, mereka juga tidak bisa mendapatkan fasilitas kesehatan gratis yang disediakan pemerintah untuk masyarakat miskin.
Padahal, aktivitas sehari-hari sebagai pemulung bergerobak membuat keduanya rentan terkena penyakit. Selama ini mereka mengatasi ragam masalah kesehatan dengan obat warung. Untungnya, belum ada satu di antara mereka yang pernah jatuh sakit dan membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit.
Tantangan serupa dialami Ucok (44). Pria asal Medan, Sumatera Utara, itu sudah menggelandang di sekitar Kampung Melayu dan Tebet, Jakarta Selatan, hampir 27 tahun. Selama itu pula, ia tidak pernah bisa mengakses bahkan sekadar mengenal layanan publik.
”Saya merantau ke Jakarta sebelum punya KTP, sampai sekarang pun tidak pernah punya,” katanya.
Tanpa identitas resmi sebagai warga negara, mereka juga tidak bisa mendapatkan fasilitas kesehatan gratis yang disediakan pemerintah untuk masyarakat miskin.
Sulitnya mengakses layanan kesehatan dari pemerintah merupakan hal yang paling sering dirasakan Ucok. Sebagaimana pemulung lain, setiap hari Ucok berkeliling mulai dari Kampung Melayu, Klender, hingga Tebet dan Manggarai sambil mengangkut karung berisi sampah untuk dijual kepada pengepul dari pagi hingga sore.
Memasuki malam, ia pun harus menahan terpaan angin di kolong jembatan tanpa alas tidur dan selimut yang layak. Berbagai penyakit pernah diderita. Namun, hanya ada satu lokasi pengobatan yang bisa ia andalkan.
”Ada klinik 24 jam di Jalan Otista, petugasnya tidak peduli dengan identitas pasien. Bilang saja warga kolong, mereka sudah ngerti. Yang penting, bayar Rp 20.000-Rp 50.000, sudah dikasih obat,” tutur Ucok.
Sejujurnya, lanjut Ucok, dirinya berharap bisa mendapatkan fasilitas kesehatan yang lebih layak. Namun, apa daya, ia tidak termasuk dalam kelompok warga yang bisa menikmatinya.
Hak politik
Sejumlah warga yang tak tercatat dalam data kependudukan juga menanggung risiko kehilangan hak politik. Bambang Pundiharto (60), misalnya, sudah dua kali tak bisa menggunakan hak suara dalam pemilihan umum (pemilu).
Selama 10 tahun terakhir, lelaki asal Surabaya, Jawa Timur, itu hidup di bawah rel layang Cikini, Menteng, Jakarta Pusat. KTP-nya hilang entah ke mana sejak ia tak lagi tinggal di rumah permanen karena keretakan rumah tangga.
Selama itu pula, ia mempertanyakan, mengapa tak ada petugas pemerintah yang mendata penduduk yang tinggal menggelandang. Petugas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, contohnya, hanya datang untuk merazia dan membawa mereka ke salah satu panti. Mereka selalu menanyai ihwal kepemilikan KTP, tetapi tak pernah memberikan informasi pembuatan KTP bagi gelandangan.
”Kalau saja bisa punya KTP dan tercatat sebagai pemilih, saya ingin sekali mencoblos saat pemilu,” kata Bambang.
Menurut pengumpul sampah dari sejumlah perumahan di Cikini itu, suaranya bisa menyumbang keterpilihan pemimpin yang menentukan nasib negara ke depan. Khususnya, ia berharap pada perbaikan hidupnya dan para gelandangan lainnya.
Upaya mendaftarkan diri dalam data kependudukan bukannya tak pernah dilakukan. Paringgotan Gultom (51), gelandangan yang tinggal di kolong flyover Kampung Melayu, mengatakan sudah berkali-kali berusaha membuat KTP elektronik (KTP-el).
Terakhir, pada 2019, ia datang ke Kelurahan Klender, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, untuk merekam data. Namun, proses yang berbelit dan ketidakjelasan waktu pencetakan KTP-el membuatnya bosan dan tak mau lagi mengurusnya.
Tidak tercacah
Selain tak terekam dalam data kependudukan, besar kemungkinan para gelandangan itu juga tidak tercacah dalam sensus penduduk. Ituh, Ani, Ucok, dan Paringgotan mengaku belum pernah berpartisipasi dalam ajang pencatatan penduduk 10 tahunan itu.
Kepala Subdirektorat Statistik Demografi Badan Pusat Statistik (BPS) Nashrul Wajdi mengakui, ada sebagian penduduk yang masih tertinggal dalam pencatatan sensus. Pada 2010, berdasarkan Post Enumeration Survei (PES) Sensus Penduduk 2010, ada kurang dari 1 persen dari total jumlah penduduk yang tidak tercatat. Mereka di antaranya anggota komunitas adat, penghayat kepercayaan, dan gelandangan.
Namun, ia mengklaim, jumlah tersebut masuk dalam kategori aman. Mengacu pada standar internasional, jumlah penduduk yang tidak tercatat sebaiknya di bawah 5 persen dari total jumlah penduduk.
Meski demikian, berbagai upaya dilakukan untuk terus memaksimalkan pencacahan. Sensus Penduduk 2020, misalnya, dilaksanakan dengan kombinasi metode registrasi daring dan tradisional atau dari rumah ke rumah.
Ketika ada penduduk yang tidak tercacah, tentu akan berpengaruh terhadap data yang dihasilkan sehingga dikhawatirkan kebijakan atau program yang dibuat pemerintah tidak tepat sasaran atau tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya.
BPS pun bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk menganalisis tema khusus terkait masyarakat adat dan penghayat kepercayaan dan menjangkau mereka dalam pencacahan. Menurut rencana, BPS juga akan mengadakan ”Sensus Night”, yaitu sensus secara serempak terhadap semua gelandangan yang ada di seluruh penjuru Indonesia.
”Kami sudah memetakan wilayah yang biasa ditinggali kelompok gelandangan. Sebanyak 340.000 petugas akan dikerahkan untuk mendata mereka dalam satu malam,” ujarnya.
Nashrul menjelaskan, tujuan sensus adalah menyempurnakan data kependudukan yang saat ini berbasis pada KTP-el. ”Kalau ada penduduk yang tidak tercatat dalam sensus, artinya data kependudukan mereka tidak diperbarui. Apalagi kalau yang bersangkutan tidak merekam data KTP-el, hak-haknya sebagai warga negara menjadi tidak terpenuhi,” ucapnya.
Peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Sari Seftiani, menyebutkan, sebisa mungkin pencacahan memang harus menjangkau seluruh masyarakat agar data penduduk semakin akurat. Sebab, pada tingkatan selanjutnya, data yang akurat dan berkualitas penting untuk merumuskan kebijakan, merencanakan, dan melaksanakan pembangunan.
”Ketika ada penduduk yang tidak tercacah, tentu akan berpengaruh terhadap data yang dihasilkan sehingga dikhawatirkan kebijakan atau program yang dibuat pemerintah tidak tepat sasaran atau tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya,” kata Sari.
Baik Ituh maupun Ani berharap, pencatatan penduduk tahun ini pun bisa menjangkau mereka. Apalagi, pasangan ini berniat untuk memiliki anak dalam beberapa waktu ke depan. Pasangan ini tidak ingin hambatan administrasi saat pernikahan mereka berulang pada kepentingan anak-anak mereka kelak.