Tujuan RUU Cipta Kerja untuk membuka lapangan kerja. Namun, lapangan kerja itu untuk siapa jika akses masuk TKA lebih dibuka, sementara pekerja lokal semakin mudah di-PHK dan terancam tidak diangkat jadi karyawan tetap.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
Peningkatan investasi yang ditargetkan pemerintah melalui pembahasan dua rancangan legislasi sapu jagat perlu diantisipasi karena berpotensi membawa ekses negatif. Investasi yang membuka pintu masuk tenaga kerja asing, tetapi tidak diiringi dengan perlindungan daya saing tenaga kerja dalam negeri, dapat mempersulit pekerja lokal mendapatkan pekerjaan.
Pemerintah beralasan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja dibutuhkan untuk meningkatkan investasi, membuka lapangan kerja, dan menyerap angkatan kerja yang setiap tahun diestimasi bertambah 2 juta orang. Meski demikian, substansi RUU Cipta Kerja yang akan segera dibahas bersama DPR justru menunjukkan sebaliknya.
RUU Cipta Kerja mengubah sejumlah ketentuan di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mempermudah akses masuknya tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia. Ketentuan itu diadopsi dari Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan TKA, yang beberapa waktu lalu sempat mendapat penolakan dari kalangan pekerja.
Ini ibarat pemerintah menyediakan ”payung bolong” bagi buruh lokal dan ”payung teduh” bagi pekerja asing.
Dalam draf RUU, pemerintah mengubah bunyi Pasal 42 UU Ketenagakerjaan. Pasal itu sebelumnya mengatur, tiap perusahaan yang mempekerjakan TKA wajib punya izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Mengadopsi Perpres Penggunaan TKA, RUU Cipta Kerja menghapus kewajiban izin tertulis itu. Ke depan, perusahaan hanya wajib memiliki pengesahan rencana penggunaan TKA (RPTKA) dari pemerintah pusat.
RUU Cipta Kerja juga menghapus ketentuan Pasal 43 yang mengatur mengenai kewajiban pemberi kerja TKA memiliki RPTKA sebagai persyaratan izin kerja. RPTKA itu seharusnya memuat beberapa keterangan detail, seperti alasan penggunaan TKA, jabatan yang diemban TKA, jangka waktu kerjanya, serta penunjukan tenaga kerja dalam negeri untuk mendampingi TKA bersangkutan.
Aturan di Pasal 44 UU Ketenagakerjaan tentang kewajiban perusahaan menaati ketentuan standar jabatan dan kompetensi tertentu untuk mempekerjakan TKA juga dihapus. Implikasinya, TKA yang bekerja di Indonesia tidak perlu memiliki kualifikasi, seperti memiliki pengetahuan, keahlian, keterampilan di bidang tertentu, serta pemahaman budaya Indonesia.
TKA yang bekerja di Indonesia tidak perlu memiliki kualifikasi, seperti memiliki pengetahuan, keahlian, keterampilan di bidang tertentu, serta pemahaman budaya Indonesia.
Mengacu pada RUU Cipta Kerja, TKA diperbolehkan bekerja pada bidang kegiatan pemeliharaan mesin produksi untuk keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan (start up), kunjungan bisnis, dan penelitian dalam jangka waktu tertentu. TKA juga boleh menjabat sebagai anggota direksi atau dewan komisaris dengan kepemilikan saham sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) Aris Wahyudi saat dihubungi, Senin (17/2/2020), mengatakan, ”kemudahan” kerja bagi TKA itu sejalan dengan prioritas pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang dicanangkan Presiden Joko Widodo, yaitu mengundang talenta global ke dalam negeri.
Berdasarkan data Kemenaker, jumlah TKA di Indonesia meningkat signifikan dalam lima tahun terakhir ini. Pada 2015, jumlah TKA sebanyak 77.149 orang. Pada 2019, jumlah itu melonjak menjadi 109.546 orang.
Mayoritas TKA menduduki level jabatan profesional dan konsultan. Indonesia paling banyak mempekerjakan TKA dari China, yakni sebanyak 42.624 orang.
Menurut Aris, pekerja dalam negeri tidak perlu khawatir dengan ketentuan di RUU Cipta Kerja. Jika dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja Indonesia yang pada Agustus 2019 sebanyak 133.560.546 orang, jumlah TKA itu sebenarnya hanya 0,08 persen.
Pemerintah menjamin lapangan kerja yang terbuka seiring dengan masuknya investasi tidak sampai mempersempit lapangan kerja untuk pekerja lokal.
”Jadi, perbandingannya masih sedikit. Lagi pula, tidak ada maksud pemerintah untuk membebaskan penggunaan TKA di Indonesia. TKA hanya diizinkan untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu,” ujarnya.
Jika dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja Indonesia yang pada Agustus 2019 sebanyak 133.560.546 orang, jumlah TKA itu sebenarnya hanya 0,08 persen.
Aris mengatakan, batasan jabatan yang bisa dipegang oleh TKA akan tetap mengacu pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 228 Tahun 2019 tentang Jabatan Tertentu yang Dapat Diduduki oleh TKA. Dalam regulasi itu, pos pekerjaan yang bisa diduduki TKA menjadi semakin luas dari keputusan menteri sebelumnya.
Dalam lampiran keputusan menteri, pemerintah membagi pekerjaan yang bisa ditempati pekerja asing menjadi 18 kategori besar, mulai dari kategori konstruksi, aktivitas profesional, ilmiah, hingga teknis. Pos pekerjaan yang bisa diampu TKA di sejumlah bidang, seperti konstruksi dan pendidikan, semakin banyak ketimbang sebelumnya.
Dipertanyakan
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mempertanyakan tujuan sebenarnya pemerintah mengeluarkan RUU Cipta Kerja. Tujuan awal RUU untuk menyerap angkatan kerja justru bisa sulit tercapai ketika pintu masuk TKA diperluas.
Apalagi, pada saat bersamaan, daya saing pekerja dalam negeri berkurang dan pemutusan hubungan kerja (PHK) dipermudah.
”Tujuan dibentuknya RUU Cipta Kerja ini untuk membuka lapangan kerja. Tetapi, lapangan kerja itu untuk siapa jika akses masuknya TKA lebih dibuka, sementara pekerja lokal semakin mudah di-PHK dan terancam tidak diangkat sebagai pekerja tetap?” kata Timboel.
Lapangan kerja itu untuk siapa jika akses masuknya TKA lebih dibuka, sementara pekerja lokal semakin mudah di-PHK dan terancam tidak diangkat sebagai pekerja tetap?
Timboel mengacu pada ketentuan lain di RUU Cipta Kerja yang mempersulit pekerja untuk diangkat sebagai karyawan tetap. Pasal 59 UU Ketenagakerjaan yang sebelumnya mengatur tentang syarat kondisi tertentu untuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak dihapus dalam RUU Cipta Kerja. Artinya, ke depan tidak ada lagi syarat khusus untuk mempekerjakan buruh kontrak.
Seiring dengan itu, PHK juga semakin dimudahkan. Sebagai contoh, Pasal 161 UU Ketenagakerjaan dihapus. Pasal itu sebelumnya mengatur, pekerja baru bisa dipecat setelah mendapat surat peringatan sebanyak tiga kali dalam rentang waktu enam bulan. Ketentuan itu sebelumnya diatur untuk mendidik buruh dan memberi kesempatan bagi buruh memperbaiki kesaalahannya.
”Bisa jadi pada akhirnya yang lebih banyak terserap justru angkatan kerja dari negara lain, sementara angka pengangguran dan kemiskinan bertambah,” katanya.
Terkait ketentuan pekerja kontrak, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah mengatakan, pertimbangan perubahan ketentuan terkait kontrak kerja itu untuk memberi perlindungan yang sama bagi pekerja kontrak. Pasal 59 yang dihapus itu sebelumnya juga mengatur ketentuan tentang jangka waktu pekerja kontrak, yakni dibatasi hanya untuk dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali selama satu tahun.
Dengan dihapusnya ketentuan itu, lanjut Ida, pekerja kontrak ke depan dapat menentukan masa kontrak sampai batas waktu kapan pun, sesuai dengan kesepakatan dengan pengusaha, tanpa harus khawatir hubungan kerjanya akan berakhir.
”Jadi, ketentuan yang diubah itu justru untuk memberi perlindungan bagi pekerja yang jenis atau sifat pekerjaannya hanya sementara atau pekerja tidak tetap,” kata Ida.