Pembukaan keran ekspor, meskipun terbatas dan terkendali, berpotensi mendorong eksploitasi benih lobster. Padahal, selama ini mekanisme pengawasan oleh pemerintah dinilai belum optimal.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pembudidaya menyambut dingin rencana pemerintah menerbitkan kebijakan ekspor benih lobster seiring pengembangan budidaya di Tanah Air. Mereka pesimistis budidaya lobster dalam negeri berkembang jika keran ekspor benih dibuka.
Pembudidaya lobster di Desa Ketapang Raya, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Dedy Sopian, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (23/2/2020), berpendapat, kebijakan membuka ekspor benih kontradiktif dengan pengembangan budidaya lobster. Pembukaan ekspor dinilai akan mendorong eksploitasi benih lobster. Pembudidaya terancam kesulitan benih.
Ketika regulasi pelarangan penangkapan benih lobster berlaku, penyelundupan benih lobster tetap marak. Pembukaan keran ekspor dikhawatirkan semakin menggencarkan pengiriman benih ke luar negeri.
Apalagi, pemerintah hingga kini belum mampu membuktikan mekanisme pengawasan yang optimal. Pembukaan keran ekspor benih juga membuat harga benih menjadi lebih tinggi. Akibatnya, daya saing usaha budidaya lobster dalam negeri terpukul.
Pembudidaya dikhawatirkan beralih menjadi penjual benih untuk memperoleh pendapatan instan. ”Padahal, untuk bisa jadi ikon lobster dunia, Indonesia seharusnya mengarah ke (produksi) lobster ukuran besar yang nilai jualnya jauh lebih tinggi,” kata Dedy. Pemerintah memberi sinyal segera menerbitkan aturan terkait ekspor benih lobster.
Rencana ekspor benih lobster secara terbatas dan terkendali merupakan bagian dari revisi 29 aturan di lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dinilai menghambat usaha perikanan (Kompas, 21/2/2020).
Revisi kebijakan lobster mengakomodasi empat kepentingan, yakni pembenihan, budidaya pembesaran, ekspor secara terbatas, dan menambah stok benih di alam. Sebelumnya, lewat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016, pemerintah melarang penangkapan benih lobster. Aturan ini juga mengatur lobster yang bisa dijual berukuran minimal 200 gram atau panjang karapas 8 sentimeter.
Penyelundupan benih lobster dilaporkan marak saat larangan ekspor benih lobster berlaku. Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) merilis, aliran dana penyelundupan benih lobster ke luar negeri berkisar Rp 300 miliar-Rp 900 miliar per tahun.
Setengah hati
Pembudidaya lobster di Sibolga, Sumatera Utara, Effendy Wong, menilai, pemerintah setengah hati memajukan budidaya lobster di Tanah Air. Arah kebijakan membuka ekspor benih lobster akan membenturkan pembudidaya lobster dengan pengepul benih untuk ekspor.
”Bagaimana mungkin budidaya lobster Indonesia bisa berkembang jika benih lobster terus diekspor. Pembudidaya lobster hanya akan dibenturkan dengan pasar. Kalau (budidaya) tidak lagi menguntungkan, Indonesia hanya berakhir jadi penjual benih,” katanya.
Ia menambahkan, Indonesia jauh tertinggal dari Vietnam dalam budidaya pembesaran lobster dan jaringan pasar. Saat ini, Vietnam menguasai ekspor lobster ke China. Akan tetapi, Vietnam mengandalkan 80 persen suplai benih lobster dari Indonesia.
Pemerintah seharusnya membuat kebijakan strategis jangka panjang untuk pengembangan budidaya lobster dengan menghentikan ekspor benih. Dengan demikian, permintaan pasar lobster akan beralih ke Indonesia sehingga menggerakkan budidaya lobster dalam negeri.
Dia mencontohkan, nilai ekspor benih mencapai Rp 1 triliun-Rp 1,5 triliun per tahun. Adapun budidaya pembenihan dan pembesaran lobster memiliki potensi pendapatan Rp 20 triliun-Rp 30 triliun. Selain itu, penyerapan tenaga kerja akan jauh lebih besar.
”Apabila pemerintah serius memajukan budidaya lobster, kebijakan yang ditempuh seharusnya memutus rantai pasokan benih lobster ke luar negeri. Hanya dengan cara ini, budidaya lobster di dalam negeri bisa berkembang,” ujarnya.
Rencana kebijakan membuka penangkapan benih lobster untuk budidaya dan ekspor secara terbatas dipaparkan dalam forum konsultasi publik: ”Arah Baru Kebijakan: Bergerak Cepat untuk Kesejahteraan, Keadilan, dan Keberlanjutan”, yang diselenggarakan Komisi Pemangku-Kepentingan dan Konsultasi Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KP2-KKP) pada Rabu (5/2/2020).
Sebelumnya, Ketua KP2-KKP Effendi Gazali berpendapat, lobster tidak akan punah dalam waktu dekat karena tidak termasuk daftar Appendix CITES dan daftar merah Organisasi Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN). Dari hasil kajian Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kementerian Kelautan dan Perikanan, jumlah telur lobster sebanyak 26,9 miliar per tahun, sedangkan potensi benih lobster 12,3 miliar per tahun.
Secara terpisah, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate Janib Achmad mengemukakan, konteks budidaya lobster yang berjalan saat ini baru sebatas pembesaran yang mengandalkan benih hasil tangkapan dari alam.
Konsep budidaya pembesaran bukan merupakan solusi untuk menjaga kelangsungan sumber daya alam. Di saat yang bersamaan, pembudidaya pembesaran harus berkompetisi dengan pembeli atau investor asing yang menawarkan harga tinggi.
”Kalau prinsip (ekspor dan pembesaran) ini diberlakukan, eksploitasi benih, apalagi dengan teknologi yang tidak ramah lingkungan atau cara-cara destruktif, berpotensi mengancam keberlangsungan benih lobster di perairan kita,” katanya.
Ia menambahkan, kebijakan pembangunan ekonomi harus tetap menjaga keberlanjutan. Untuk itu, solusi yang perlu diterapkan untuk menghindari kepunahan benih lobster yaitu mendorong pengembangan budidaya lobster, dan pembesaran lobster untuk stok benih di alam.