Subsidi bagi rakyat yang tak mampu merupakan kewajiban negara. Namun, semua harus dilakukan dan diterapkan lewat kebijakan yang berlandaskan akal sehat, bukan berlatar belakang politik populis.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Judul di atas diambil dari pernyataan mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi Faisal Basri dan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) 2006-2009 Ari Soemarno. Dalam sebuah acara peluncuran buku di Jakarta pekan lalu, keduanya mengkritisi kebijakan pemerintah dalam menetapkan harga energi dan kebijakan pemberian subsidi. Apa yang salah?
Menurut Faisal, pemerintah dianggap bersandiwara dalam menetapkan harga energi ke masyarakat. Harga energi yang ia maksud adalah harga jual bahan bakar minyak jenis premium dan solar bersubsidi, serta penetapan tarif listrik untuk golongan pelanggan rumah tangga. Sejatinya, harga-harga tersebut bisa dievaluasi setiap tiga bulan dengan mempertimbangkan faktor nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, harga minyak dunia, dan inflasi.
Kepentingan politik adalah segalanya, begitu kata Faisal. Demi popularitas, harga ditetapkan murah. Dampaknya, keuangan badan usaha penyedia energi, dalam hal ini adalah Pertamina dan PLN, menjadi tertekan. Perusahaan tak leluasa dalam menjalankan bisnisnya sebagai sebuah perseroan. Buruknya lagi, kata Faisal, kedua perusahaan itu menanggung utang sekitar setengah dari total utang BUMN di Indonesia.
Sejarahnya, harga premium dan solar bersubsidi tak berubah sejak April 2016, yaitu masing-masing Rp 6.450 per liter dan Rp 5.150 per liter. Sebagai catatan, harga dua jenis bahan bakar tersebut ditetapkan saat harga minyak dunia ada di kisaran 40 dollar AS per barel. Dalam berbagai kesempatan, Pertamina mengaku harga jual tersebut di bawah harga keekonomian dengan selisih Rp 1.000 sampai Rp 2.000 per liternya. Adapun tarif listrik tak berubah sejak 2015.
Apa karena Indonesia negara kaya? Tidak juga. Cadangan minyak mentah Indonesia sekitar 3 miliar barel atau hanya 0,2 persen dari total cadangan minyak mentah seluruh dunia. Indonesia bukanlah negara-negara di Timur Tengah atau Venezuela yang memiliki simpanan 300 miliar barel minyak mentah. Bukan pula seperti Arab Saudi atau Amerika Serikat yang mampu memproduksi 10 juta barel minyak setiap harinya.
Berapa produksi minyak Indonesia? Setiap hari kurang dari 800.000 barel, sedangkan konsumsi BBM mencapai 1,5 juta barel per hari. Kekurangan itu harus diimpor dan sudah berstatus sebagai negara pengimpor bersih (net importir) minyak sejak 2004. Impor minyak mentah dan BBM menyebabkan neraca perdagangan kita defisit dalam beberapa tahun terakhir. Itu bukti bahwa Indonesia bukan negara yang kaya energi.
Impor minyak mentah dan BBM menyebabkan neraca perdagangan kita defisit dalam beberapa tahun terakhir.
Begitu pula dengan gas bumi. Cadangan 102 triliun kaki kubik milik Indonesia bukanlah lah angka yang besar kendati nominalnya triliunan. Itu hanya 1,5 persen dari total cadangan gas bumi di seluruh dunia saat ini. Lagi pula, konsumsi elpiji nasional sebesar 7 juta metrik ton dalam setahun, sebanyak 5 juta metrik ton adalah hasil dari impor.
Bagaimana dengan racun subsidi? Menurut Ari, masalah subsidi energi di Indonesia terletak pada mekanisme pemberian subsidi. Subsidi diberikan pada barang atau komoditas, bukan diberikan langsung kepada masyarakat yang berhak disubsidi. Akibatnya, siapa pun bisa membeli barang bersubsidi tersebut tanpa terkecuali, baik si kaya atau si miskin. Jelas dengan demikian penyaluran subsidi menjadi tak tepat sasaran.
Menurut Ari, energi tak sepatutnya dijual murah. Apalagi, minyak dan elpiji adalah sumber energi fosil yang suatu saat nanti pasti habis dan tak bisa diperbarui. Harga yang murah akan mengubur sikap untuk menghemat energi.
Pernyataan keduanya bukan tak mendukung subsidi atau menjual energi dengan harga yang terjangkau. Subsidi bagi rakyat yang tak mampu adalah kewajiban negara. Hanya saja, semua harus dilakukan dan diterapkan lewat kebijakan yang berlandaskan akal sehat, bukan berlatar belakang politik populis.
Sekali lagi, harga energi tak murah. Publik berhak tahu berapa harga energi sesungguhnya. Oleh karena itu, subsidi sudah selayaknya diberikan pada masyarakat yang memang berhak disubsidi, bukan subsidi diberikan pada barang. Selain mewujudkan realisasi subsidi tepat sasaran, masyarakat yang tak disubsidi (karena kaya dan mampu) akan sadar bahwa sesungguhnya harga sebuah energi tidaklah murah.
Seperti yang dikatakan Faisal, berhentilah bersandiwara.