Belum lagi pulih dari dampak perang dagang Amerika Serikat dan China, ekonomi Indonesia mulai terpapar dampak wabah virus korona baru atau Covid-19.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
Belum lagi pulih dari dampak perang dagang Amerika Serikat dan China, ekonomi Indonesia mulai terpapar dampak wabah virus korona baru atau Covid-19. Virus asal Wuhan, China, itu mulai ”menginfeksi” sejumlah lini ekonomi negeri, seperti pariwisata, industri manufaktur, logistik, perbankan, dan pasar modal.
Indonesia yang tengah berupaya menumbuhkan ekonomi melalui pariwisata terpukul. Penurunan wisatawan mancanegara, terutama dari China, mengikis penghasilan pelaku wisata antara lain perhotelan, restoran, agen perjalanan, pendapatan daerah, dan maskapai penerbangan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia mencapai 16,11 juta pada 2019 atau meningkat 1,88 persen dibandingkan 2018. Wisatawan asal China berjumlah 2,07 juta orang atau terbesar kedua setelah wisatawan dari negara-negara ASEAN.
Di sektor industri manufaktur atau pengolahan, produksi bakal melambat. Laju impor bahan baku dan penolong, terutama dari China, terhambat. Padahal, sebagian besar kalangan industri membutuhkan bahan baku dan penolong untuk mengisi pasar domestik periode Ramadhan-Lebaran pada Mei nanti.
Kondisi ini juga dapat menyebabkan ekspor turun sehingga berpengaruh terhadap kinerja neraca perdagangan. BPS mencatat, pada 2019 neraca perdagangan Indonesia defisit sebesar 3,2 miliar dollar AS. Pada Januari 2020, neraca perdagangan itu juga masih defisit sebesar 864 juta dollar AS.
Sektor industri dan perdagangan ini tak hanya terpapar dampak Covid-19. Penyematan status baru Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju oleh AS, sebagaimana disebutkan laman Perwakilan Perdagangan AS (USTR) pada 10 Februari 2020, juga berpotensi menyulitkan kalangan industri.
Sektor industri dan perdagangan ini tak hanya terpapar dampak Covid-19. Penyematan status baru Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju oleh AS yang berlaku pada 10 Februari 2020, juga berpotensi menyulitkan kalangan industri.
Produk Indonesia yang masuk ke pasar AS berpotensi terkena tuduhan dumping. Para eksportir Indonesia ke AS bakal semakin kesulitan jika status baru versi AS itu merambat ke fasilitas bea masuk dalam Sistem Tarif Preferensial Umum (GSP) AS. Belum lagi harus berhadapan dengan negara atau kawasan yang berupaya memproteksi perdagangan dengan Indonesia.
Jika sektor industri dan perdagangan semakin dalam terpapar, dampaknya akan berimbas ke perbankan. Risiko kredit akan meningkat sehingga perbankan menambah atau bersiap menggunakan cadangan kerugian penurunan nilai. Tim ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk memperkirakan, rasio kredit bermasalah (NPL) perbankan pada tahun ini akan meningkat 0,2-0,3 persen. Pada Desember 2019, NPL industri perbankan nasional sebesar 2,53 persen.
Sementara di sektor pasar modal, Covid-19 menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) rontok. IHSG turun 7,3 persen sepekan terakhir. Pada penutupan perdagangan Jumat (28/2/2020), IHSG turun 1,5 persen dibandingkan dengan perdagangan hari sebelumnya ke level 5.452,7. Hal ini sekaligus jadi level terendah IHSG sejak Maret 2017.
Bank Indonesia memperkirakan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2020 hanya tumbuh 4,9 persen. Dalam jangka pendek, Februari-Maret 2020, Covid-19 akan memengaruhi kinerja dan mengurangi penerimaan Indonesia dari devisa pariwisata, perdagangan, dan investasi.
Adapun Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyebutkan, wabah Covid-19 akan membuat pertumbuhan ekonomi China terkontraksi 1-2 persen. Hal itu akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan turun 0,1-0,29 persen. Pada 2019, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,02 persen.
Di luar kendali
Dana Moneter Internasional (IMF) pada 22 Februari 2020 telah mengoreksi pertumbuhan ekonomi China dan dunia. Tahun ini, pertumbuhan ekonomi China diperkirakan turun 0,4 persen dari proyeksi awal tahun menjadi 5,6 persen. Sementara, pertumbuhan ekonomi global terkoreksi sekitar 0,1 poin persen menjadi 3,2 persen.
Untuk mencegah sentimen dari dampak virus korona dan perlambatan ekonomi dunia terhadap ekonomi Indonesia, Presiden Joko Widodo menerbitkan Paket Kebijakan Fiskal senilai Rp 10,3 triliun. Anggaran itu diambil dari dana cadangan di APBN 2020. Dengan paket ini, berbagai insentif disiapkan.
Pemerintah menyiapkan tambahan manfaat Kartu Sembako dari sebelumnya Rp 150.000 menjadi Rp 200.000, diskon liburan, serta insentif bagi maskapai dan agen perjalanan yang bisa mendatangkan wisatawan mancanegara dan lokal.
Ada pula insentif bebas pajak hotel dan restoran serta kompensasinya ke pemerintah daerah ke sepuluh daerah tujuan pariwisata, serta tambahan subsidi bunga dan uang muka rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Kebijakan kontra siklus itu akan memperlebar defisit APBN. Lembaga pemeringkat Fitch Ratings dalam laporan terbarunya menyebutkan, defisit APBN 2020 berpotensi melebar dari target 1,74 persen produk domestik bruto (PDB) menjadi 2,5 persen PDB.
Ketidakpastian ini, terutama karena wabah penyakit, berada di luar kendali kita. Dunia saat ini membutuhkan pijakan yang kuat.
Pada pertengahan Februari 2020, BI telah menurunkan suku bunga acuan,
BI 7-day Reverse Repo Rate menjadi 4,75 persen. BI juga akan menempuh tiga langkah intervensi untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dan menambah likuiditas pasar keuangan. Ketiga langkah itu adalah mengintervensi pasar spot dengan menjual valuta asing, menerapkan kebijakan domestic non-deliverable forward sebagai instrumen lindung nilai dalam transaksi berjangka, serta bersama bank-bank dalam negeri membeli SBN yang dilepas investor asing.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pemerintah juga menempuh sejumlah langkah mitigasi. OJK menyiapkan stimulus berupa relaksasi pengaturan penilaian kualitas aset kredit dengan plafon hingga Rp 10 miliar, yakni hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk debitor di sektor yang terdampak epidemi Covid-19. Nasabah dimungkinkan mendapat kelonggaran pengaturan restrukturisasi kredit.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan, ekonomi global masih jauh dari solid. Sementara beberapa ketidakpastian telah surut, sumber ketidakpastian baru telah muncul. ”Ketidakpastian ini, terutama karena wabah penyakit, berada di luar kendali kita. Dunia saat ini membutuhkan pijakan yang kuat. Kita seharusnya tidak menciptakan ketidakpastian baru di mana kita seharusnya dapat menghindarinya,” ujarnya.
Saat ini, ketahanan ekonomi dunia, termasuk Indonesia, tengah diuji.