Risiko yang dihadapi perekonomian global terus bertambah. Setelah wabah Covid-19, kini perang harga minyak bumi juga menyulut risiko baru. Indonesia mesti bersiap sekaligus menambah daya tarik.
Oleh
DEWI INDRIASTUTI
·3 menit baca
Pekan ini diawali dengan data yang memengaruhi kondisi perekonomian. Harga minyak dunia anjlok. Rusia menolak usulan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak atau OPEC untuk mengurangi pasokan. Arab Saudi menyambut penolakan Rusia itu dengan menambah produksi minyak, kemudian menjualnya dengan harga lebih rendah.
Senin (9/3/2020) pagi waktu Indonesia, harga minyak mentah jenis Brent turun ke posisi 30-an dollar AS per barel, sedangkan jenis WTI turun ke 35-an dollar AS per barel. Namun, Senin siang harga minyak terus merosot. Pada Senin petang, harga minyak mentah jenis Brent, mengutip laman Bloomberg, sebesar 35,44 dollar AS per barel atau turun 9,83 dollar AS dalam sehari. Sementara, WTI seharga 32,1 dollar AS per barel atau turun 9,18 dollar AS dalam sehari, di pasar tunai.
Bagi Indonesia, ada berbagai konsekuensi yang mesti dihadapi seiring penurunan harga minyak. Salah satunya, realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang akan berkurang. Padahal, dalam APBN 2020, asumsi makro untuk harga minyak siap jual Indonesia 63 dollar AS per barel. Meskipun, di sisi lain, biaya yang dikeluarkan Indonesia untuk mengimpor minyak juga akan berkurang.
Gejolak harga minyak ini menambah risiko eksternal yang mesti dihadapi banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Siap atau tidak siap harus ada langkah-langkah yang konstruktif untuk menghadapi kondisi ini. Sebab, kondisi tak terduga bisa muncul kapan pun dan mengganggu rencana sebuah negara menggerakkan roda perekonomian.
Berkaca dari pengalaman selama ini, setidaknya sejak krisis keuangan global 2008, gejolak ekonomi 2015, dan perang dagang Amerika Serikat-China, perekonomian dunia diliputi ketidakpastian. Berbagai sektor terpengaruh.
Setiap kali perekonomian bergejolak selalu ada rencana memperkuat daya tahan dan meningkatkan daya tarik. Saat krisis keuangan 2008, misalnya, Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan menjadi 9,25 persen.
Adapun saat gejolak ekonomi 2015, kondisi perekonomian dunia yang memburuk berdampak pada dunia dan Indonesia. Saat itu, Indeks Harga Saham Gabungan melorot dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melemah.
Adapun akibat perang dagang AS-China yang berkepanjangan, pertumbuhan perdagangan dunia merosot. Kondisi ini menyebabkan perekonomian dunia juga melorot. Meskipun, negara-negara selain AS dan China memiliki peluang, yakni menarik investasi dari China. Namun, Indonesia tidak bisa memanfaatkan peluang tersebut karena kalah dari Vietnam. Banyak investor memilih memindahkan usaha ke Vietnam, yang secara geografis lebih nyaman bagi investor China. Meskipun, tidak dapat ditampik, salah satu alasan investor memilih Vietnam adalah kemudahan mengurus perizinan investasi.
Laporan Kemudahan Berusaha 2020 yang dirilis Bank Dunia pada Oktober 2019 menyebutkan, Indonesia ada di peringkat ke-73 dari 190 negara, kalah dari Vietnam yang ada di posisi ke-70. Indeks Daya Saing 2019 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (WEF) menempatkan Indonesia pada posisi 50, turun lima peringkat dari tahun sebelumnya. Sementara, Vietnam membaik signifikan, 10 tingkat, ke posisi 67.
Tahun ini, Indonesia menargetkan realisasi investasi Rp 866 triliun. Tak ada waktu untuk meratapi kekalahan daya saing dan daya tarik dibandingkan dengan negara lain. Waktu yang ada sebaiknya dimanfaatkan untuk menyiapkan diri menjadi negara yang dilirik banyak negara untuk berinvestasi. Selain itu, yang tak kalah penting, bersiap menghadapi berbagai gejolak.