Metode ”omnibus” bukan kali ini saja digunakan untuk menyederhanakan peraturan. Indonesia pernah mempraktikkannya pada aturan-aturan kolonial. Ada kelebihan dari metode ”omnibus” itu, tetapi banyak pula kelemahannya.
Oleh
Rini Kustiasih
·6 menit baca
Omnibus law sebagai sebuah metode pembentukan undang-undang menarik perhatian publik. Pertama, karena metode ini belum pernah secara terbuka disebutkan oleh pembentuk legislasi sebagai salah satu metode pembentukan UU. Kedua, metode ini dinilai mengambil jalan pintas dan cepat dalam melakukan harmonisasi berbagai UU dalam kurun waktu tertentu.
Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), 20 Oktober 2019, untuk pertama kali menyebutkan istilah omnibus law di hadapan publik. Ia mengusulkan dua UU besar pada periode kedua pemerintahannya, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM. Pembentukan UU besar itu dimaksudkan untuk menyederhanakan dan melakukan harmonisasi berbagai UU. ”Masing-masing UU tersebut akan menjadi omnibus law, yakni satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU,” katanya.
Komitmen untuk membuat UU metode omnibus law itu kembali diucapkan Presiden saat berpidato dalam laporan akhir tahun Mahkamah Konstitusi, 28 Januari 2020. Menurut Presiden, pemerintah dan DPR berupaya mengembangkan sistem hukum yang kondusif dengan menyinkronkan UU lewat omnibus law. Dengan UU sapu jagat itu, berbagai UU akan dipangkas, disederhanakan, dan diselaraskan (Kompas, 29/1/2020).
Selanjutnya, setidaknya ada empat RUU dengan metode omnibus yang digarap pemerintah. Keempatnya, RUU Cipta Kerja, RUU Perpajakan, RUU Ibu Kota Negara, dan RUU di sektor keuangan. Dua RUU yang disebutkan di awal telah diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Penolakan dan aksi unjuk rasa dilakukan oleh kelompok buruh pada hari yang sama saat draf, naskah akademik, dan surat presiden (surpres) RUU Cipta Kerja diserahkan kepada DPR. Buruh merasa dirugikan dengan substansi RUU Cipta Kerja. Jaminan kesejahteraan buruh dinilai akan dikurangi dengan berbagai ketentuan di dalam RUU Cipta Kerja.
Namun, terlepas dari polemik menyangkut substansinya, metode omnibus law sendiri dipandang dengan pendekatan yang berbeda oleh para ahli. Sejumlah ahli mengatakan, metode ini tidak masalah diterapkan di Indonesia sekalipun pada dasarnya UU ini cenderung lebih sering digunakan di negara-negara dengan tradisi common law, seperti Amerika Serikat dan Kanada, yang terbiasa menggunakan putusan hakim sebagai rujukan peraturan.
Adapun Indonesia yang menganut civil law cenderung menggunakan metode pembahasan RUU antara pembuat UU, yakni pemerintah dan DPR dalam membahas satu regulasi. Sementara itu, omnibus law pada praktiknya mengambil norma-norma tertentu dari berbagai UU untuk diatur kembali, diubah, atau bahkan dihapuskan guna menyelaraskan satu tema tertentu.
UU lama yang normanya diambil atau diubah melalui omnibus law masih bisa berlaku sepanjang tidak dinyatakan untuk dicabut atau dihapuskan keseluruhan di dalam UU. Misalnya, UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan tetap berlaku sekalipun beberapa pasal di dalamnya diatur kembali, diubah, atau dihapuskan di dalam RUU Cipta Kerja. Artinya, pasal-pasal di luar norma yang diatur di dalam omnibus law itu masih berlaku dan mengikat.
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan, embel-embel omnibus law memang membuat orang kerap salah paham dengan metode penyederhanaan UU ini. Menurut dia, metode ini bisa saja digunakan di Indonesia yang menerapkan civil law. Metode ini lebih cepat dibandingkan dengan revisi UU yang dilakukan satu per satu karena satu kali pembuatan UU omnibus law bisa merevisi banyak UU dengan tujuan harmonisasi.
Lain halnya dengan metode yang biasa digunakan karena setiap kali mengubah satu UU harus membahas secara khusus dengan DPR. Dengan demikian, apabila ada 79 UU yang dicakup oleh omnibus law, jika pembahasannya dilakukan dengan mekanisme biasa, itu akan memakan waktu lebih lama karena harus mengubah satu per satu 79 UU tersebut.
Jimly mencontohkan praktik ekstrem omnibus law di Kanada tahun 1930-an. Ketika itu, Kanada mengatur UU Perkapalan atau perikanan yang dibentuk melalui metode omnibus law. Di dalam salah satu pasalnya, UU Perkapalan itu mengatur dan mengubah norma perkawinan dan waris yang ada di dalam UU Perkawinan. Lalu, apa hubungannya antara perkapalan dan perkawinan?
Rupanya, ketika itu ada persoalan di Kanada. Banyak nelayan atau pelaut yang memiliki beberapa istri ketika mereka berpindah. ”Saat bertugas di satu daerah, mereka menikah dan memiliki anak. Setelah mereka dipindahkan lagi, mereka menikah lagi, sementara istri terdahulu belum diceraikan. Problem itu diatasi dengan mengubah norma perkawinan di UU Perkapalan. Jadi, terbatas pada pengaturan waris dan perkawinan merujuk pada UU Perkapalan karena ada kasus itu tadi, sementara aturan lainnya di UU perkawinan yang lama tetap berlaku,” katanya.
Apakah Indonesia mengenal omnibus law? Secara definisi barang kali metode ini jarang disebutkan, tetapi pada praktiknya, menurut sejumlah ahli, Indonesia memiliki sejarah menggunakan metode ini. Hanya saja, ketika itu tidak ada embel-embel omnibus law.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Satya Arinanto mengatakan, Indonesia mewarisi sekitar 7.000 UU atau peraturan kolonial Belanda. Setelah merdeka, Indonesia mengatur ulang regulasi itu, antara lain dengan menggunakan metode omnibus law, bahkan hingga Orde Baru. Penyederhanaan dan penyelarasan aturan peninggalan kolonial dilakukan oleh pemerintah melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).
”Saat itu memang tidak disebut sebagai omnibus law, atau memakai kata-kata omnibus law dalam UU bentukannya. Sekalipun pada praktiknya, metode itu tidak aneh, dan secara historis bukan hal baru bagi Indonesia,” kata Satya.
Kekurangan ”omnibus”
Sejumlah ahli hukum sependapat ada kekurangan dalam metode omnibus law. Bahkan, metode ini pun tidak selalu dipakai di negara asalnya, seperti Inggris, Kanada, dan Amerika Serikat.
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Negeri Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, metode ini tidak selalu digunakan karena dinilai kurang demokratis dan kurang partisipatif.
Dengan metode ini, beberapa UU yang memiliki inisiatif politik atau filosofi pembentukan yang berbeda bisa direvisi secara serentak. Akibatnya, dengan membuat omnibus law, pembentuk UU menjadi tidak peka terhadap kompleksitas kepentingan dan aspirasi fraksi-fraksi yang telah menyusun dan mengompromikan kepentingan-kepentingan dalam UU terdahulu yang pasal-pasalnya telah dihapus atau diubah oleh omnibus law.
Misalnya, UU Ketenagakerjaan filosofinya ialah menjamin kesejahteraan buruh. Demikian pula filosofi UU Lingkungan hidup antara lain untuk melestarikan lingkungan hidup. Namun, dengan mencabut, mengubah, bahkan menghapuskan sejumlah pasal dalam UU itu untuk dimasukkan ke dalam RUU Cipta Kerja, ada potensi pengabaian terhadap filosofi UU asal. Pasalnya, kini orientasinya berubah, yakni pasal-pasal itu diarahkan atau diatur kembali demi membuka investasi.
’Metode omnibus law juga mengubah pembahasan yang semula deliberatif, kini menjadi dipercepat, karena biasanya omnibus law memenuhi target tertentu,” katanya.
Senada dengan Bayu, pengajar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, RUU Cipta Kerja merupakan omnibus yang sangat besar. RUU itu terlampau besar sehingga penyusunannya pun membingungkan. RUU hanya terdiri atas 174 pasal, tetapi penyusunannya sangat rumit sehingga membutuhkan 1.028 halaman.
’Dengan metode penyusunan semacam itu, kemungkinan ada aturan yang tidak terpantau secara detail oleh DPR karena sangat rumit. Akibatnya, metode ini berpotensi menyembunyikan aturan-aturan yang krusial. DPR harus secara kritis melihat RUU Cipta Kerja ini,” kata Bivitri.
Di sisi lain, pembentukan UU dengan omnibus law tidak diatur di dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Secara formal, menurut Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura, pembentukan UU dengan metode omnibus law tidak sesuai dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur di UU No 12/2011. Pengujian formal ataupun materiil atas omnibus law mungkin saja terjadi.
Namun, apakah ini artinya RUU Cipta Kerja akan terhenti dalam pembahasannya? Proses politik di Senayan dan lobi-lobi politik antarparpol dan fraksi jadi penentu.