Pasar di dalam negeri selama ini hanya dilirik saat pasar luar negeri kurang menjanjikan. Harapannya, pasar dalam negeri tak lagi ditinggalkan industri perikanan saat kondisi perekonomian global membaik.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Selalu ada peluang di setiap persoalan. Di tengah pandemi global Covid-19, optimisme dunia usaha mesti tetap terjaga. Keyakinan untuk tetap tumbuh setidaknya muncul di kalangan usaha rintisan perikanan berbasis digital. Jika pasar ekspor utama cenderung lesu akibat pertumbuhan ekonomi yang melambat, sejumlah usaha rintisan atau start up di bidang pemasaran perikanan justru membidik pasar dalam negeri.
Jumlah penduduk yang sekitar 260 juta jiwa didominasi usia produktif, terutama generasi milenial yang berusia 22-39 tahun, dengan kesadaran pola hidup sehat yang semakin baik. Tren gaya hidup sehat turut mendorong konsumsi ikan yang tergolong makanan sehat.
Jika pasar lokal tumbuh, rantai pasok diyakini terjaga dan turut menyelamatkan sektor hulu perikanan. Namun, seberapa kuat konsumsi ikan lokal?
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, konsumsi ikan pada 2018 sebanyak 50,69 kilogram (kg) per kapita. Angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2017 yang sebanyak 47,34 kg per kapita. Tahun ini, pemerintah menargetkan konsumsi ikan sebanyak 56,39 kg per kapita.
Dengan jenis ikan Indonesia yang sangat beragam, baik ikan air tawar maupun ikan air laut, pasokan ikan berkualitas tinggi di dalam negeri masih terbatas. Selain harganya yang lebih tinggi, tuntutan mutu juga tinggi, mengikuti standar internasional. Harga sejumlah komoditas unggulan, seperti udang, tuna, dan lobster, lebih tinggi daripada harga daging ayam. Namun, segmen ikan kualitas premium terus menggeliat, antara lain terlihat dari menu masakan ikan di hotel-hotel papan atas.
Kesenjangan harga dan kualitas ikan yang diekspor dengan yang dikonsumsi pasar lokal turut memperbesar kesenjangan. Bahkan, muncul seloroh, kalau produk ikan laku diekspor, buat apa dipasarkan di negeri sendiri.
Data Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) menunjukkan, sekitar 99 persen produk udang dari unit pengolahan ditujukan ke pasar ekspor. Adapun pasokan untuk pasar domestik umumnya berupa produk yang ”tidak laku” ekspor.
Namun, sejak akhir 2019, pasar dalam negeri mulai serius dibidik. Produk udang kualitas ekspor dilepas ke pasar lokal, berupa udang kupas beku dengan ukuran 60-70 ekor per kg. Ada juga produk siap saji yang sudah berbumbu.
Aruna, usaha rintisan pemasaran perikanan berbasis daring, juga menangkap potensi pasar lokal. Selama ini, sebanyak 90 persen produk ikan segar dan ikan hidup dipasok ke luar negeri karena nilai jualnya yang tinggi. Seiring kondisi perekonomian global yang tak menentu, usaha rintisan itu memperluas pasar domestik. Produk ekspor, seperti ikan kembung, tengiri, dan lobster, dilepas ke pasar lokal.
Jumlah penduduk yang banyak merupakan kekuatan pasar. Namun, masih ada persoalan mendasar yang perlu segera dibenahi, di antaranya distribusi dan logistik, untuk bisa mengoptimalkan pasar dalam negeri.
Jumlah penduduk yang banyak merupakan kekuatan pasar.
Logistik dalam negeri yang mahal dan tidak efisien serta kendala penanganan mutu membuat kualitas produk ikan berkurang sehingga sulit bersaing. Strategi menjembatani kesenjangan produksi yang terpusat di wilayah timur dengan sentra pengolahan di wilayah barat Indonesia perlu segera diwujudkan dengan optimalisasi tol laut dan tol langit.
Penetrasi ke pasar dalam negeri hendaknya tidak hanya menjadi ”pengalihan” di tengah kelesuan ekspor. Jangan pula, setelah kondisi membaik, pasar dalam negeri kembali ditinggalkan. Hal ini mensyaratkan kebijakan pemerintah untuk menjaga daya beli dan pertumbuhan ekonomi.
Hal yang tak kalah penting, momentum penguatan pasar dalam negeri diharapkan berujung pada pendapatan produsen, yakni nelayan dan pembudidaya, agar makin sejahtera. Dengan demikian, tidak ada pihak yang ditinggalkan.