Promo: Beli Satu, Gratis Satu
Tujuh hari sudah widuri ditanam dalam tanah, tapi aromanya masih beterbangan sepenjuru rumah. Di kaca jendela, bersama aroma pembersih kaca, di depan kulkas bercampur sisa-sisa ikan peda, di sobekan catatan belanja,
Tujuh hari sudah widuri ditanam dalam tanah, tapi aromanya masih beterbangan sepenjuru rumah. Di kaca jendela, bersama aroma pembersih kaca, di depan kulkas bercampur sisa-sisa ikan peda, di sobekan catatan belanja, juga di tubuhku. Seolah ia tak mau melepasku, ibarat sepasang tangan yang mengunci semua kemungkinan.
Oleh sebab itu pula, aku ingin menjauh dari pusara kenangan ini. Berharap hidupku kembali normal; bebas hinggap di dada perempuan mana saja.
Kukemas semua barang, kecuali sebuah sofa amerald, tempatmu duduk memangku buku. Saat dokter memintamu istirahat total demi janin dalam perutmu bisa kuat bergelantungan di tali pusar, kamu hampir tidak bisa lepas dari sofa itu. Tiap kali kupandangi leher sofa yang sepusarku, lipatan renda yang sedikit terurai menguntai suara tawamu. Calon anak kita senang kalau kubacakan cerita, katamu.
Barang-barang kita sudah lebih dahulu diangkut oleh penyedia jasa pindahan rumah yang dahulu juga kita sewa saat pertama kali pindah ke rumah ini. Tentu truk dan sopir berbeda. Kusaksikan sekali lagi rumah dan plang di pagar yang terayun-ayun bertuliskan, “DIJUAL: RUMAH BESERTA SELURUH KENANGAN DI DALAMNYA .”
Johan membantuku menemukan apartemen kecil ukuran studio di daerah Kalibata. Tidak terlalu besar, sekadar nyaman untuk seorang duda. Hanya sementara, sebelum menemukan rumah baru. Katamu, kemarin telah selesai tak perlu diungkit-ungkit terlalu lama.
Hanya ada kamar tidur, dapur dan meja makan yang tersambung, dan sedikit ruang untuk satu set sofa kecil biru tua kontras dengan putih dinding. Kata Johan, setelah kamu mati aku harus mulai mengecat dinding dengan yang selain putih, favoritmu. Tapi dinding gelap di ruangan sempit bisa bikin sesak napas. Mengecat putih sama saja mematrimu untuk terus mengelilingiku. Padahal aku ingin terlepas darimu.
Kardus-kardus menumpuk di dekat sofa. Aku berpikir harus dimulai dari kardus mana. Kubuka kardus yang paling dekat dengan kakiku, berisi koleksi buku. Kuhentikan, aku belum punya rak buku untuk rumah mereka. Kupilih kardus lain, cushion bersarung merah muda menyembul keluar. Kutarik dan keempaskan debu-debu. Sofa dan bantalnya cocok, batinku.
Bel berbunyi. Kemudian suara Johan memekak telingaku.
“Jangan sampai kudobrak, ya,” Johan mulai menampilkan tabiatnya.
Aku menyeret kaki, malas. Mengapa juga Johan datang di saat seperti ini? Dia kawan yang kerap mengusulkan saran tapi tidak mau turun tangan. Saat pintu terbuka, Johan menyerbu masuk. Dua gelas es americano dan dua kotak styrofoam. Meski bossy, Johan tetap peduli.
“Makan dulu. Aku tahu, kamu pasti kelaparan dari pagi,” Johan membuka bungkusan makanan. Aroma lemak seketika menyesaki bau debu dan kenangan dari dalam kotak-kotak kardus.
“Lebih baik kamu bawa air putih dari pada kopi,” jawabku. Dapurku masih kosong dan mengapa pula Johan berpikir akan cocok makan nasi goreng cumi dengan es americano.
Aku mengunyah dalam diam. Sedangkan Johan tak berhenti menumpahkan segala saran tentang penataan apartemen. Kuiya-iyakan saja. Johan teman asyik, tapi tak suka menerima kritik.
“Aku kembali ke kantor. Kamu jadi cuti kan sampai lusa? Kalau jadi, lusa aku ke sini. Ruangan ini harus sudah rapi,” kata Johan. “Nania juga akan ikut. Dia mau masak di dapur barumu, sejenis housewarming party.” Johan menutup kalimatnya. Suara pintu ditutup menjadi yang terakhir kudengar. Sisanya, aroma lemak, plastik sampah, dan dua jejak lingkaran bekas es americano yang melekat di meja kaca.
Aku mengelus perut. Seolah kamu berdiri di depanku dan berkata, tidak baik rebahan habis makan, bisa tertimbun di perut. Seketika aku berdiri dan kembali mengatur kardus-kardus.
Ruangan di apartemen kala petang seperti ini seperti lorong rumah sakit. Dingin, sepi. Kuingat saat dokter mengabarkan kamu baru saja pergi, lorong rumah sakit begitu mencekam. Dinding-dindingnya mengimpit, tak menyisakan ruang. Warna putihnya pasi, mirip kafan.
“Aku harus mengisi dapur dan kamar mandi,” bisikku.
Kutengok angka di layar ponsel, menjelang jam 5. Ke mal di kala jam pulang kantor adalah bencana ibukota. Aku ingat toserba kecil di basement apartemen. Kukira aku bisa menemukan peralatan mandi dan sekadar roti sobek dan selai, mi instan, telur, dan sosis siap makan.
Setelah selesai berganti kaus dan celana pendek, aku keluar menuju lift. Apartemen ini punya lantai 14, tidaklah besar untuk ukuran ibukota. Untuk turun aku harus menunggu pergantian lift cukup lama. Pertama lift itu harus terlebih dahulu naik membawa penghuni dari lantai lebih bawah ke lantai lebih atas. Baru kemudian turun, berhenti di lantaiku, dan membawaku ke lantai dasar. Meskipun ada dua lift, tetap saja tak mengurangi kejenuhan menunggu.
Harusnya kamu membawa buku, kudengar kamu berbisik. Kebiasaan membawa dua buku dalam tas, lenyap setelah kamu ditanam. Juga kebiasaan membawa tas kain ketika belanja. Kamu, yang selalu menggenapi kealpaanku tak lagi ada. Belum ada rumus yang mengubah angka satu menjadi bilangan genap.
Sampai basement, lift terbuka, sekonyong-koyong seorang bocah dengan seragam sekolah tergesa masuk, hampir menubrukku. Disusul seorang perempuan hingga membuatku kurang fokus. Mata kami bersirobok sebentar. Dia seperti ingin menyampaikan, bila miliknya bebas kupandangi.
“Pelan-pelan, Evan,” kata perempuan itu sambil menarik lengan bocah. “Maaf ya, dia buru-buru katanya ingin menonton serial kartun,” dia mengimbuhi. Wajahnya sayu tapi cukup cantik, cara dia meminta maaf bukan sekadar basa-basi. Tidak kutemukan cahaya culas di bola mata dan garis mimiknya.
“Tak apa,” kujawab singkat sambil aku menyingkir dan menyilakan perempuan dan anak bernama Chris itu masuk lift.
Kutengok kembali. Dan perempuan itu memberiku sesimpul senyum. Entah mengapa hatiku yang tandus, seperti disiram segalon air. Sejuk dan mendamaikan. Apakah yang menyejukkan itu senyum perempuan itu atau tubuh yang tercetak di balik kaos ketat? Apa keduanya bisa dipisahkan atau harus selalu beli satu gratis satu?
Aku berjalan di sepanjang lorong minimarket yang memajang peralatan kamar mandi. Sabun, sampo, odol dan sikat gigi, tisu toilet, dan kamper masuk ke keranjang. Aku berhenti sejenak di bagian pengharum ruangan. Aku lupa, merek dan wangi jenis apa yang sering Widuri usulkan untuk kamar mandi. Kata Widuri, meski kamar mandi bukan berarti harus selalu berbau kapur barus. Aku menimbang kamper berbentuk balok, antara warna ungu dan kuning. Aku tidak ingat dan kali ini kamu tidak memberiku bisikan, aku memasukkan warna kuning.
Aku butuh isian kulkas. Sesuai rencana aku meraih selai cokelat, roti tawar, roti sobek, mi instan, dan sosis siap makan. Ketika kusaksikan tumpukan telur dalam kemasan, kembali kuingat katamu untuk membuang kuning telur sumber kolesterol itu. Kutimbang-timbang satu pak telur mentah. Apa aku butuh telur sekarang ini?
“Eh, kita ketemu lagi,” suara dari perempuan yang tadi berjumpa di depan lift. “Aku Jiyah. Tinggal di lantai 9,” dia menyodorkan tangan. Karena tanganku sedang membawa keranjang belanjaan, aku tidak sigap membalasnya. Kuletakkan kembali telur dalam pak ke tempatnya dan keranjang belanjaan kuturunkan ke lantai.
“Edam,” jawabku setelah telapak tangan kami bersatu. “Aku tinggal satu lantai di atasmu.”
“Baru pindahan?” tanya Jiyah, setelah menyaksikan barang yang kumasukkan keranjang belanja.
Aku mengangguk. Meski tubuh dan kelembutan tangannya menarik, aku tak banyak menimpali. Tangan-tangan Widuri seperti mencegah semua keinginanku.
“Mau beli telur?”
Aku terbelalak mendengar pertanyaan Jiyah. Pasti karena aku berdiri di area telur dan dia sempat melihatku menimbang-nimbang telur satu pak. Aku belum sempat menjawab, Jiyah kembali menambahkan.
“Dari kemarin ada promo, beli satu pak, gratis satu paks.”
Aku luput menyaksikan tanda promo di tumpukan telur.
“Bagaimana kalau kamu yang beli satu paks, gratis satu paks untukku. Evan selalu minta telur ceplok setengah matang kalau makan,” Jiyah menjelaskan.
“Tidak masalah kan? Lagi pula telur dua lusin mau habis kapan kalau dimakan sendiri?”
Aku membeli telur? Belum kuputuskan. Dan kalau pun membeli, aku tidak harus juga memberikan bonusnya itu ke Jiyah, yang dari pelafalan kalimatnya tampak sangat udik. Pasti perempuan metropolitan takkan mau meminta hadiah promo kepada orang yang baru ditemuinya.
Aku masih di ambang kebingungan. Jiyah seolah mendikteku untuk membawa dua paks telur sekaligus. Meski setelah kupikir-pikir tidak masalah membeli satu paks telur yang tidak tahu akan kumasak bagaimana karena dapurku belum siap sempurna. Dan gratis satu paks lagi bisa kuberikan untuk Jiyah. Beli satu gratis satu, beli satu paks telur dapat lagi satu paks telur gratis. Siapa tahu dengan satu paks telur yang kuberikan kepada Jiyah, aku dapat hal lebih sebagai gratisannya.
Selesai membayar, Jiyah menawariku bantuan. Kuiyakan. Mungkin ini cara dia membalas kebaikanku. Tidak ada makan siang gratis memang. Dia membawa plastik berisi peralatan mandi. Sedangkan aku, seplastik berisi peralatan mandi.
Kami naik dengan lift. Jiyah terus bicara. Menjelaskan hal-hal tentang apartemen yang sebenarnya sudah pernah kuterima dari realtor.
“Terima kasih, Edam. Bantuanmu ini sangat berarti,” Jiyah menyerahkan plastik belanjaanku. Kami berdiri di depan lift.
“Aku seorang diri, tidak akan habis kalau semuanya kubawa,” kataku. Namun sejujurnya ini adalah umpan bagi Jiyah.
“Terima kasih. Baru kali ini dapat pertolongan dari orang asing. Tak banyak yang memberi perhatian, apalagi terhadap pengasuh anak macam diriku,” Jiyah menepuk bahuku. Aku gemetar.
Jiyah masuk kembali ke dalam lift untuk turun kembali di lantai 9, barulah aku sadar. Sejatinya aku yang terkena umpan Jiyah. Kuingat katamu dulu saat aku bergurau soal poligami, kuiyakan asal kamu bisa menemukan istri kedua yang lebih cantik, lebih pintar, lebih kaya, dan lebih semua-muanya. Menemukan yang sama atau jauh di bawahku, itu namanya rugi. R.U.G.I”
___________________________________
Teguh Affandi, pernah memenangkan sayembara cerpen Femina, Green Pen Award Perhutani, dan Pena Emas PPSDMS Nurul Fikri. Menulis cerpen, esai, dan timbangan buku di berbagai media massa baik daring maupun luring. Sekarang bermukim di Jakarta sebagai editor buku sekaligus pegiat @KlubBaca.