Kerja Parlemen di Tengah Virus Korona…
Akibat pandemi Covid-19, DPR tetap bekerja meskipun memperpanjang resesnya. Rapat di antaranya digelar dengan virtual antara Komisi IX DPR dan jajaran pemerintah. Bagaimana rapat DPR selanjutnya bahas legislasi?
Dewan Perwakilan Rakyat tetap bekerja di tengah masa perpanjangan reses. Sejumlah komisi di DPR bertemu dan melakukan rapat kerja dengan pemangku kepentingan dalam penanggulangan bencana akibat virus korona baru yang menyebabkan penyakit Covid-19. Bedanya, kini, anggota DPR bekerja virtual dan tidak lagi berkumpul di dalam satu ruangan komisi, tetapi di tempat masing-masing.
Salah satu rapat virtual itu antara lain dilakukan Komisi IX DPR dengan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan jajarannya, serta Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo, Selasa (24/3/2020) di Jakarta. Dari 51 anggota Komisi IX DPR, sebanyak 36 anggota hadir mengikuti rapat virtual itu, dan memenuhi kuorum. Rapat menghasilkan sejumlah rekomendasi dan masukan dari Komisi IX yang membidangi kesehatan dan ketenagakerjaan tersebut. Rapat virtual itu dilakukan dengan menggunakan aplikasi Zoom.
Baca juga: Perkuat Penanggulangan Covid-19
Sebelumnya, rapat konsultasi pengganti badan musyawarah (bamus) yang dihadiri pimpinan DPR, pimpinan fraksi dan komisi, Jumat pekan lalu, juga menggunakan sarana yang sama. Rapat konsultasi pengganti Bamus tersebut memutuskan memperpanjang masa reses anggota DPR dari 20 Maret hingga 29 Maret 2020 dengan melihat perkembangan penyebaran penyakit Covid-19 di Tanah Air.
Tiga pertemuan yang digelar DPR itu menunjukkan rapat virtual sebagai sesuatu hal yang niscaya dilakukan anggota DPR dalam kondisi tertentu. Sekalipun beberapa hambatan teknis muncul, rapat virtual secara umum bisa dilakukan.
Pada Senin, pimpinan Badan Anggaran DPR juga mengadakan audiensi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Dari audiensi itu, Banggar DPR merekomendasikan agar pemerintah segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk mendukung realokasi anggaran bagi penanganan penyakit Covid-19.
Tiga pertemuan yang digelar DPR itu menunjukkan rapat virtual sebagai sesuatu hal yang niscaya dilakukan anggota DPR dalam kondisi tertentu. Sekalipun beberapa hambatan teknis muncul, rapat virtual secara umum bisa dilakukan dalam kondisi tertentu pula.
”Rapat kemarin berlangsung seru karena anggota DPR tetap bisa bekerja dengan kondisi menjaga jarak seperti sekarang. Kami juga lebih bebas karena berada di tempat masing-masing. Kekurangannya adalah kami tidak bisa bersilaturahmi secara langsung,” kata anggota Komisi IX dari Partai Demokrasi Indonesia Indonesia Perjuangan (PDI-P), M Nabil Haroen, Rabu (25/3/2020) di Jakarta.
Sejumlah kendala kecil dalam hal teknis pun dirasakan tidak menjadi persoalan. ”Hanya saja memang harus dipastikan jaringan internetnya lancar. Rapat kemarin, saya menghidupkan laptop dan ponsel dua-duanya untuk berjaga-jaga kalau ada gangguan internet,” kata Nabil.
Rapat Komisi IX itu dipimpin Wakil Ketua Komisi IX dari Fraksi Partai Golkar Melki Laka Lena. Dalam rapat virtual, semua anggota dapat berada di tempat masing-masing, kecuali Melki. Saat itu, Melki memimpin rapat dari ruang sidang karena ia harus menandatangani sejumlah hasil rekomendasi rapat yang diputuskan dalam pertemuan virtual itu.
”Kami anggota relatif tidak mengalami kesulitan. Ada yang bahkan mengikuti rapat dengan diam di dalam mobil. Yang lainnya sambil duduk di tempat masing-masing,” kata Nabil mengisahkan.
Anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Saleh Partaonan Daulay, mengatakan, teknologi yang dipakai dalam persidangan itu cukup efektif. ”Apalagi, di dalam aplikasi, pimpinan sidangnya bisa langsung meng-off-kan (mute) speaker dari peserta. Bahkan, sesi tanya jawab berjalan baik. Interupsi bisa dilakukan. Penyusunan kesimpulan juga berjalan baik,” ungkapnya.
Rapat virtual, menurut Saleh, merupakan salah satu solusi untuk bisa bekerja dan melakukan pengawasan serta pengawalan kepada kinerja pemerintah. Kalau dilakukan secara sungguh-sungguh, tidak ada bedanya dengan rapat biasa.
Kendala yang terjadi dalam rapat, misalnya kekurangfasihan operator, sambungan internet, dan kadang pembicaraan terlalu padat karena semua ingin berbicara. Selain itu, kendala juga dimungkinkan terjadi di perangkat elektronik masing-masing peserta rapat. Namun, menurut Saleh, peserta dapat mengikuti paparan pemerintah dengan baik. Bahkan, paparan itu bisa ditampilkan di screen (layar) masing-masing peserta rapat.
Nasib legislasi
Namun, apakah rapat virtual itu dapat diterapkan untuk rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang melibatkan banyak pihak, tidak hanya DPR dan pemerintah, tetapi juga publik? Di sisi lain, bagaimana mekanisme rapat untuk rapat paripurna yang melibatkan 575 anggota, apakah hal itu dimungkinkan? Demikian pula untuk pembahasan suatu UU, yang memerlukan kejelian dan pemeriksaan detail bunyi norma per norma, apakah rapat virtual itu memungkinkan pula?
Saat ini, sejumlah Program Legislasi Nasional sedikit tertunda pembahasannya karena DPR belum memulai masa sidang ketiga. Salah satu pembahasan legislasi yang memerlukan perhatian dan kejelian adalah RUU Cipta Kerja yang dibentuk dengan mekanisme omnibus law atau sapu jagat (menyatukan seluruh peraturan perundangan dalam satu undang-undang pamungkas). Pembahasan lintas komisi dengan 11 kluster tema di dalam RUU itu sudah pasti memerlukan perhatian detail dari anggota DPR.
Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengatakan, pembahasan legislasi belum mengarah kepada pembahasan virtual. Sebab, pembahasan legislasi ini merujuk pada UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diubah dengan UU No 15/2019.
Tentunya publik kami harapkan bisa memahami situasi darurat ini jika pembahasan RUU mengalami penundaan. Toh, UU yang masih ada bisa menjadi rujukan, dan sebaiknya itu dilaksanakan dulu.
”Tentunya publik kami harapkan bisa memahami situasi darurat ini jika pembahasan RUU mengalami penundaan. Toh, UU yang masih ada bisa menjadi rujukan, dan sebaiknya itu dilaksanakan dulu,” katanya menguraikan.
Mengenai kemungkinan pembahasan RUU dilakukan secara virtual atau telekonferensi, menurut Baidowi, DPR belum sampai memikirkan ke arah sana karena pembahasan RUU bukan rapat biasa yang bisa dilakukan melalui telekonferensi. ”Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui secara ketat dalam pembahasan suatu legislasi,” katanya.
Perlu dasar hukum
Selain persoalan teknis, ada hal mendasar yang harus dibuat terlebih dulu sebelum mekanisme rapat virtual dalam pembahasan suatu UU dilakukan DPR, yakni pembuatan dasar hukum pelaksanaan kegiatan itu. Mekanisme yang diatur di dalam UU No 12/2011 belum mengatur pembahasan legislasi jarak jauh. UU hanya menyebutkan pembahasan dilakukan bersama-sama antara pemerintah dan DPR, serta ada aturan-aturan teknis meliputi daftar hadir anggota DPR untuk dapat dikatakan kuorum sehingga rapat bisa dimulai.
Di sisi lain, rangkaian pembahasan UU tidak cukup dengan raker bersama pemerintah, tetapi juga membuka RDPU yang melibatkan banyak pemangku kepentingan, serta menyerap berbagai aspirasi publik.
Pengajar hukum tata negara (HTN) Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan, mekanisme pembentukan UU di Indonesia belum mengenal e-legislasi, berbeda dengan pengadilan yang telah menerapkan e-court, seperti Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Belajar dari persidangan di MK dan MA, serta rapat-rapat virtual yang sebelumnya digelar DPR, mekanisme e-legislasi itu sebenarnya bisa dilakukan asal ada dasar hukumnya.
”Cuma regulasi itu saat ini belum ada. Oleh karena itu, untuk memungkinkan pembahasan UU secara virtual atau e-legislasi dalam kondisi darurat, ada dua UU yang diubah, yakni UU No 12/2011 dan UU MD3, sebab di dalam dua UU itu secara jelas diatur mekanisme pembahasan UU, bahkan mensyaratkan kehadiran anggota DPR. Selama ini tafsir kehadiran anggota adalah hadir secara fisik di ruang sidang,” kata Charles.
Dalam kondisi darurat yang serba tidak tentu, karena perkembangan Covid-19 yang tidak dapat diperkirakan kapan bisa diatasi, menurut Charles, perlu ada prioritas dalam pembahasan legislasi tertentu oleh DPR. Jika memang suatu UU itu sangat mendesak dan darurat segera disahkan, presiden sebaiknya mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) terhadap UU No 12/2011 dan UU MD3.
”Jika tidak ada landasan hukumnya, pembahasan UU melalui e-legislasi bisa dianggap tidak memenuhi syarat formal. Dasar hukum harus ada di kedua belah pihak, baik aturan yang ada di DPR maupun pemerintah, karena baik DPR maupun pemerintah memiliki tatib sendiri dalam menyusun suatu UU,” kata Charles.
Baca juga: Dua Orang Positif Korona, Pemerintah dan DPR Minta Masyarakat Tidak Panik
Problem ketidakpastian yang dialami parlemen Indonesia pada dasarnya dialami negara-negara lain. Parlemen Swedia, misalnya, mengubah ketentuan dalam pengambilan putusan. Putusan biasanya diambil melalui voting 349 anggota Riksdag (Parlemen Swedia).
Jika tidak ada landasan hukumnya, pembahasan UU melalui e-legislasi bisa dianggap tidak memenuhi syarat formal. Dasar hukum harus ada di kedua belah pihak, baik aturan yang ada di DPR maupun pemerintah.
Namun, karena menghindari kumpulan orang dalam jumlah besar, pada 18 Maret 2020, pimpinan kelompok partai (fraksi) di Swedia menyepakati perubahan prosedur sehingga cukup 55 anggota perwakilan partai saja yang mengikuti voting. Tidak hanya itu, parlemen Swedia melalui laman resminya juga mengumumkan penutupan gedung parlemen dan perpustakaan dari kunjungan publik, acara, dan berbagai bentuk pertemuan lainnya. Penutupan dilakukan sampai batas waktu yang tidak dapat ditentukan.
Demikian halnya, Belanda, yang menutup sementara gedungnya dari jangkauan publik. Laman resmi Tweede Kamer (DPR Belanda) menyebutkan, Ketua DPR Belanda Khadija Arib, 15 Maret 2020, mengumumkan langkah baru di parlemen untuk mencegah penyebaran virus korona. Proses kerja di parlemen terus dilanjutkan, tetapi kehadiran fisik dikurangi. Semua personel parlemen bekerja di rumah, kecuali kehadiran mereka sangat diperlukan di Gedung DPR. Parlemen Belanda juga memiliki aplikasi khusus untuk mengikuti pembahasan atau debat dan rapat virtual, yang dapat diakses melalui laman resmi mereka debatdirect.tweedekamer.nl.
Lalu, bagaimana terobosan baru parlemen Indonesia di tengah wabah korona? Publik tentunya menanti perkembangan selanjutnya.