Jikalau suatu saat saya positif Covid, percayalah, semangat saya enggak akan padam. Bahkan, jika saya sekarat sekalipun, perlawanan tetap akan jalan.
Oleh
Ester Lince Napitupulu
·4 menit baca
Aksi solidaritas untuk mencegah penyebaran penyakit Covid-19 muncul di mana-mana. Salah satu yang terlibat dalam aksi seperti ini adalah Tirta Mandira Hudhi. Meski ada pro-kontra terkait aktivitasnya, ia cukup berhasil menggalang dana untuk penyediaan alat pelindung diri bagi para tenaga medis.
Sejak Sabtu (28/3/2020), laki-laki berpenampilan nyentrik yang biasa disapa Tirta itu masuk rumah sakit. Ia awalnya sempat dicurigai terinfeksi Covid-19, tetapi ternyata hasil diagnosis dokter menyatakan ia menderita bronkitis kronis. Ia tumbang setelah sekitar dua pekan mondar-mandir ke beberapa rumah sakit untuk membagikan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan yang menangani pasien positif Covid-19 dan orang dalam pemantauan (ODP). Ia demam dan batuk sehingga akhirnya harus masuk rumah sakit.
”Aku enggak panik, sih, pas harus masuk rumah sakit. Lebih untuk jaga diri saja. Hasil tes enggak Covid-19, tapi aku kena bronkitis kronis. Kebanyakan merokok,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Senin (30/3/2020). Ia mengakui, merokok merupakan kebiasaan buruk yang membuat dirinya lebih rentan terserang penyakit.
Meski berada di rumah sakit, ia tetap sibuk mengoordinasi aneka bantuan yang diperlukan bagi mereka yang membutuhkan. Kesibukan lain juga telah menunggunya, yakni merancang konten untuk edukasi pencegahan Covid-19 dan kampanye berhenti merokok yang digalang oleh Kementerian Kesehatan.
Tirta sebenarnya hanya satu dari banyak orang yang terlibat dalam aksi solidaritas untuk membantu pencegahan Covid-19. Ia tampak menonjol karena rajin membagikan tips untuk menjaga kesehatan yang mudah dipahami masyarakat awam dan rajin menyerukan agar masyarakat tetap tinggal di rumah. Ia juga rajin membagikan kisah hidupnya dan mengungkapkan kegeramannya melihat para tenaga medis kekurangan APD.
Kadang ia emosional ketika mengungkapkan unek-uneknya itu sehingga mengundang pro dan kontra di kalangan warganet. Ia didukung banyak warganet, pada saat bersamaan ia dituduh warganet lain sebagai orang yang sedang mencari sensasi dan lebay. Ia juga dituduh menjadi influencer bagi pihak tertentu.
Tirta menyatakan, ia melakukan aksi sosial dan tampil di media sosial hanya karena tidak tega melihat tenaga medis berjibaku di tengah wabah tanpa perlindungan memadai. Sebagai orang dengan pendidikan kedokteran, dia merasa punya panggilan untuk ikut melindungi tenaga medis.
Awalnya, dia merogoh kocek pribadi untuk membelikan masker dan pencuci tangan untuk tenaga media. Dia mendistribusikannya ke rumah sakit yang membutuhkan. Agar kegiatan itu berjalan lancar, ia meminta bantuan Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Kegigihannya untuk menggerakkan orang agar membantu rumah sakit mendapat sambutan dari para dermawan dengan mengirimkan donasi. ”Banyak yang kemudian ikut membantu. Aku pun menggalang (donasi) melalui kitabisa.com. Per hari Senin (30/3/2020) ini sudah terkumpul sekitar Rp 2,2 miliar dan baru setengahnya yang terpakai,” kata Tirta yang akun Instagram-nya diikuti 1,2 juta pengikut.
Kamis pekan lalu, Tirta keliling ke delapan rumah sakit untuk menyalurkan APD hingga pukul 03.00 dini hari. Sehari kemudian, dengan kondisi tubuh yang kurang tidur, Tirta tetap datang ke Wisma Atlet Kemayoran untuk memberikan bantuan. Sampai akhirnya, ia ditumbangkan bronkitis.
Ia kini berusaha keras untuk bisa menyediakan hazmat. Saat mendekam di rumah sakit, Tirta sibuk memastikan ia bisa mendapat ribuan hazmat yang penting untuk melindungi pekerja medis.
Banting setir
Tirta memiliki latar belakang sebagai dokter. Ia terakhir menjalani profesi sebagai dokter pada 2018 di RS UGM Yogyakarta. Dia tadinya ingin terus berkarier sebagai dokter dan berencana melanjutkan kuliah untuk menjadi dokter spesialis. ”Tapi, kesehatan saya enggak memungkinkan,” ujarnya.
Ia kemudian banting setir dengan fokus mengurus usaha jasa perawatan dan pembersihan sepatu, Shoes and Care, yang ia rintis di Yogyakarta saat masih berstatus mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada angkatan 2009. Karena itu, ia belakangan mendapat julukan ”dokter sepatu”.
Sejak awal usaha itu didirikan, Tirta merekrut lulusan SMP atau SMA sebagai anggota tim. Sebagian anggota tim lainnya adalah mantan anak jalanan. Ia menolak menyebut orang-orang yang membantunya itu sebagai pegawai atau karyawan.
”Dari 82 orang yang terlibat di Shoes and Care, beberapa dulunya anak jalanan. Saya hanya ingin membantu orang-orang yang belum mendapat pekerjaan,” ujarnya.
Beberapa bulan sekali, Shoes and Care juga mengadakan acara berbagi ke panti asuhan di sejumlah kota. Niat berbagi itu pula yang membuat Tirta tak mau menerima permintaan memperbaiki sepatu dengan cara menjahit. ”Kami hanya mau memperbaiki dengan mengelem karena tak ingin mengurangi rezeki tukang sol sepatu,” ungkapnya.
Shoes and Care pada akhirnya menjadi bagian dari jejak perjalanan hidup Tirta. Keterlibatan Tirta dalam gerakan pencegahan Covid-19 adalah jejak tambahannya.
Tirta menyatakan, demi kebaikan orang lain dan negara, apa pun akan ia lakukan. ”Jikalau suatu saat saya positif Covid, percayalah, semangat saya enggak akan padam. Bahkan, jika saya sekarat sekalipun, perlawanan tetap akan jalan. Hidup mati di tangan Allah. Tapi, yang penting berjuang dulu di sini,” ujar Tirta.