Perbaiki Industri Manufaktur di Tanah Air
Belum usai perlambatan kinerja perdagangan serta industri Indonesia akibat perang dagang Amerika Serikat dan China, muncul “serangan” baru, yakni pandemi Covid-19.
Pengantar Redaksi
Menyambut Hari Ulang Tahun Ke-100 RI pada 2045, harian Kompas yang akan berulang tahun ke-55 pada 28 Juni 2020 menyelenggarakan diskusi menuju Indonesia Emas. Laporan berikut adalah hasil diskusi ketiga pada pertengahan Maret lalu dengan topik ekonomi. Para panelis adalah Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia serta Ketua Dewan Pertimbangan Presiden 2010-2014 Emil Salim; Menteri Keuangan 2013-2014 M Chatib Basri; Menteri Komunikasi dan Informatika 2014-2019 Rudiantara; Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 2016-2019 Ignasius Jonan; ekonom senior CORE Indonesia Hendri Saparini; serta Rektor IPB University Arif Satria. Laporan diskusi dirangkum Ninuk M Pambudy, M Fajar Marta, Mukhamad Kurniawan, Albertus Hendriyo Widi Ismanto, dan Aris Prasetyo, serta disajikan pada halaman 13 dan Kompas.id.
Belum usai perlambatan kinerja perdagangan serta industri Indonesia akibat perang dagang Amerika Serikat dan China, muncul ”serangan” baru. Dalam wujud pandemi Covid-19, serangan itu semakin menjungkalkan ekonomi nasional.
Covid-19 kian menelanjangi bobroknya struktur industri manufaktur atau pengolahan nasional. Kalangan industri di Tanah Air tertatih-tatih mendapatkan bahan baku dan penolong karena China menghentikan produksi.
Selama ini, industri manufaktur dan perdagangan Indonesia memang masih bertumpu pada China. Kementerian Perindustrian mencatat, dari total impor bahan baku dan penolong industri manufaktur Indonesia, sekitar 60 persen berasal dari China.
Covid-19 kian menelanjangi bobroknya struktur industri manufaktur atau pengolahan nasional.
Dalam laporan bertajuk Asia Timur dan Pasifik ketika Covid-19, 31 Maret 2020, Bank Dunia memperingatkan, pandemi Covid-19 akan menambah parah problem kemiskinan. Jika situasi ekonomi memburuk, jumlah penduduk miskin di kawasan Asia Timur dan Pasifik bertambah sekitar 11 juta orang. Sebelumnya, lebih kurang 35 juta orang diperkirakan keluar dari kemiskinan pada 2020.
Risiko itu membayangi penduduk dan perusahaan yang bergerak di sektor-sektor yang terimbas langsung Covid-19, seperti pariwisata, manufaktur, serta informal. Ingat, manufaktur merupakan salah satu sektor yang menyerap tenaga kerja. Kejatuhan industri manufaktur akan berdampak pada peningkatkan pengangguran dan kemiskinan.
Tahun lalu, ketidakpastian ekonomi global yang dipicu perang dagang AS-China menyebabkan neraca perdagangan Indonesia defisit 3,3 miliar dollar AS. Defisit terjadi akibat volatilitas harga komoditas, penurunan permintaan, serta proteksi perdagangan.
Kondisi itu menimbulkan efek berganda bagi daerah-daerah penghasil komoditas ekspor. Dampaknya bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang melambat, melainkan juga angka pengangguran meningkat.
Tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2019 sebesar 5,28 persen. Ada 12 provinsi yang memiliki tingkat pengangguran di atas rata-rata nasional, antara lain Sumatera Barat (5,33 persen), Sumatera Utara (5,41 persen), Riau (5,97 persen), Kalimantan Timur (6,09 persen), Papua Barat (6,24 persen), Sulawesi Utara (6,25 persen), dan Maluku (7,08 persen). Beberapa daerah itu merupakan penghasil komoditas ekspor, seperti sawit, batubara, dan tambang mineral.
Pada tahun ini, tak hanya sektor komoditas mentah yang tergilas, tetapi juga manufaktur. Imbasnya berbuntut pada penghentian produksi dan buruh dirumahkan, bahkan diberhentikan. BPS mencatat, jumlah pekerja formal dan informal di Indonesia per Agustus 2019 masing-masing 56,02 juta orang serta 70,49 juta orang. Berdasarkan lapangan pekerjaan utama, jumlah pekerja di sektor industri pengolahan sebanyak 14,96 persen dari total jumlah penduduk bekerja.
Bayangkan, apa jadinya jika sektor tersebut lumpuh? Pengangguran semakin bertambah dan kelompok yang rentan miskin akan jatuh miskin. Dalam laporan bertajuk ”Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class”, Bank Dunia menyebutkan, terdapat 115 juta penduduk Indonesia atau sekitar 45 persen yang masih masuk kategori rentan miskin. Adapun penduduk yang tergolong kelas menengah baru mencapai 52 juta orang, atau sekitar 20 persen dari total jumlah penduduk.
”Refrein” persoalan
Sudah banyak kali disebut bahwa selama ini Indonesia bergantung pada komoditas mentah. Sudah berulang-ulang kali pula pemerintah mengakui hal itu dan berencana merealisasikan hilirisasi industri dan substitusi impor. Namun, setiap kali ganti pemimpin, persoalan yang sama terus berulang: beban biaya industri semakin tinggi akibat keterbatasan infrastruktur, biaya energi, ketidakefisienan pelabuhan, perizinan yang berbelit-belit, ataupun pungutan.
Akhir tahun lalu, pemerintah meluncurkan enam program jangka pendek transformasi ekonomi untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan dengan cara meningkatkan produk ekspor dan mengembangkan substitusi impor. Porgram itu sedianya akan dilaksanakan awal 2020. Keenam program itu meliputi implementasi mandatori biodiesel 30 persen, gasifikasi batubara, restrukturisasi Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), pembangunan smelter, pengembangan kilang hijau, dan pengenaan bea masuk tindakan pengamanan sementara (BMTPS).
Sudah banyak kali disebut bahwa selama ini Indonesia bergantung pada komoditas mentah.
Implementasi pencampuran 30 persen biodiesel dalam 1 liter solar (B-30) pada 2020 dilakukan dengan penyaluran bahan bakar nabati (BBN) sebanyak 9,6 juta kiloliter. Implementasi B-30 ini diperkirakan menghemat devisa 4,8 miliar dollar AS. Langkah itu akan diikuti percepatan pembangunan pabrik gasifikasi batubara berkapasitas 1,8 juta ton per tahun untuk substitusi impor elpiji.
Program ketiga adalah restrukturisasi TPPI untuk mengurangi impor produk petrokimia. Penghematan devisa dari program ini diperkirakan 1 miliar dollar AS per tahun. Berikutnya adalah pembangunan smelter, pabrik pengolahan, dan pemurnian bijih tambang untuk hilirisasi produk tambang, terutama industri nikel. Industri hulu dan hilir aluminium juga akan diintegrasikan melalui program sinergi BUMN.
Adapun program kelima adalah pengembangan kilang hijau berbahan baku produk olahan minyak kelapa sawit di Plaju, Sumatera Selatan, oleh PT Pertamina. Pengembangan bahan bakar hijau, seperti solar hijau (green diesel) dan bensin hijau (green gasoline), ini masih dalam tahap penelitian dan percobaan untuk menggantikan bahan bakar minyak berbasis fosil. Terakhir ialah pengenaan BMTPS untuk melindungi produk dalam negeri dari impor produk sejenis.
Melalui enam program itu, target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 diharapkan terealisasi. Dalam draf rancangan awal RPJMN 2020-2024, pertumbuhan ekspor dan impor ditargetkan seimbang masing-masing 4,8 persen. Khusus ekspor nonmigas rata-rata ditargetkan tumbuh 7,2 persen. Adapun rata-rata pertumbuhan ekonomi pada periode 2020-2024 sebesar 6 persen.
Di tengah masifnya pandemi Covid-19, rencana itu tinggalah rencana. Kendati demikian, selama masih bisa direalisasikan kendati lambat, rencana itu perlu diwujudkan. Langkah-langkah tersebut juga perlu ditopang berbarengan dengan industri 4.0 untuk lebih mengefesienkan biaya produksi. Di sisi lain, industri padat karya yang berkelanjutan tetap perlu ditumbuhkan guna menciptakan lapangan pekerjaan.
Investasi kecil
Menuju Indonesia pada 2045, industri manufaktur nasional tidak bisa selamanya bergantung pada bahan baku dan penolong impor. Produksinya selalu digenjot untuk memenuhi konsumsi rumah tangga domestik, tetapi dari sisi suplai (bahan baku atau penolong) justru malah bergantung dari negara-negara lain.
Indonesia perlu belajar dari momen-momen kejutan dan kejatuhan industri. Mulai dari pemulihan pasca-pandemi Covid-19 hingga 2045 nanti, Indonesia perlu fokus memproduksi sesuatu yang bernilai tambah dengan berbasis bahan baku dalam negeri. Untuk itu, industri-industri penengah/perantra hulu dan hilir perlu dibangun. Arahkan investasi langsung untuk menciptakan industri-industri tersebut.
Di sisi lain, Indonesia akan mendapat bonus demografi pada 2030. Namun perlu diwaspadai, kalau lapangan pekerjaan tidak benar-benar disiapkan, pengangguran justru berpotensi bertambah. Center of Reform on Economics (Core) Indonesia mencatat, tingkat pengangguran terbuka memang turun, tetapi jumlah pengangguran terbuka usia muda naik.
Selama periode Februari 2017 hingga Februari 2019, tingkat pengangguran terbuka turun di rentang angka 5,33 persen (Februari 2017) hingga 5,01 persen (Februari 2019). Namun, tingkat pengangguran terbuka untuk usia 25-29 tahun justru meningkat selama tiga tahun berturun-turun dari sekitar 7 persen di Februari 2017 hingga mendekati 8 persen di Februari 2019.
Kalau tidak ada lapangan pekerjaan formal di sektor industri, pengangguran terbuka usia muda yang didominasi lulusan SMK itu akan terus bertambah. Kalaupun mereka bisa bekerja, peluang yang bisa mereka ambil adalah di sektor informal.
Untuk mengatasi hal itu, investasi langsung di sektor industri padat karya, sumber daya alam domestik, dan berbasis ekspor memang perlu terus didorong. Namun, investasi yang ditumbuhkan itu tidak hanya dalam skala besar, tetapi juga skala menengah kecil.
Kalau tidak ada lapangan pekerjaan formal di sektor industri, pengangguran terbuka usia muda yang didominasi lulusan SMK itu akan terus bertambah.
Di Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, potensi minyak asiri yang dikembangkan usaha kecil menengah (UKM) cukup besar. Potensi minyak dari daun cengkeh ini perlu didorong guna memenuhi permintaan global. Di Kalimantan, minyak kelapa murni (VPO) juga sebenarnya banyak dikembangkan pelaku UKM. Kualitas produknya bisa ditingkatkan dan diekspor karena memiliki di 165 negara.
Setelah kualitas produk-produk lokal buatan UKM itu terjamin, pemasarannya perlu ditopang dengan teknologi digital. Di sinilah revolusi industri 4.0 termaknai, yaitu tak sekadar otomatisasi pengganti pekerja, tetapi lebih pada teknologi yang membantu mengembangkan kualitas dan pemasaran.