Aksi Ambil Untung Besar Marak, Penindakan Masih Lemah
Aksi ambil untung besar di tengah pandemi Covid-19 kembali marak. Ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan penindakan. Sementara APD dan ventilator terus diupayakan.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J/AGNES THEODORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga alat pelindung diri, terutama masker, baik yang dibutuhkan tenaga medis maupun nonmedis, kembali melambung tinggi. Kementerian Perdagangan, selaku pengawas tata niaga, mengakui kesulitan menindak para pedagang perorangan yang mengambil untung besar di tengah pandemi Covid-19.
Di beberapa toko daring, harga masker masih mahal, yaitu berkisar Rp 200.000-Rp 400.000 per kotak. Setiap kotak berisi 50 masker. Padahal, dalam situasi normal, harga per kotak berisi 50 masker hanya Rp 25.000.
Di Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo, kendati belum ditemukan kasus pasien positif Covid-19, warga kesulitan mendapatkan masker yang biasa dijual di toko dan apotek. Kalaupun ada, harganya sangat mahal. ”Untuk masker model N95 dijual Rp 200.000 per biji. Padahal, harga normalnya hanya Rp 10.000 per biji. Ini sudah keterlaluan,” ujar Bani Malabar, warga Kota Gorontalo, Senin (6/4/2020).
Untuk masker model N95 dijual Rp 200.000 per biji. Padahal, harga normalnya hanya Rp 10.000 per biji. Ini sudah keterlaluan.
Untuk itu, Bani, bersama sejumlah rekannya di Gorontalo, menggagas gerakan pembuatan masker nonmedis dan pembuatan alat pelindung diri. Ibu-ibu rumah tangga yang memiliki keahlian menjahit didorong membuat masker dan alat pelindung diri. Masker nonmedis tersebut dijual Rp 5.000 per biji.
VP of Corporate Communications Tokopedia Nuraini Razak mengatakan, jika ada mitra yang menjual produk dengan harga, judul, dan deskripsi tidak di wajar di kategori barang kesehatan, termasuk masker dan bahan pokok, Tokopedia akan menutup akun toko itu secara permanen dan melarang penayangan produk terkait. Hingga kini, ribuan toko sudah ditutup dan puluhan ribu produk dilarang tayang.
Selain itu, Tokopedia juga melakukan sapu bersih (sweeping) berkala untuk memastikan produk yang dijual sesuai dengan aturan yang berlaku. ”Masker untuk menutupi mulut menjadi salah satu produk yang paling banyak dicari oleh konsumen,” ujarnya.
Public Relations Lead Shopee Aditya Maulana Noverdi mengatakan, Shopee memiliki tim internal yang fokus memantau aplikasi, khususnya pada harga, judul, dan deskripsi. Shopee mengambil langkah tegas jika terdapat penjual yang menyalahi aturan. Hingga saat ini, Shopee telah menutup lebih dari 3.000 toko yang melambungkan harga jauh di atas pasar.
Adapun Head of Corporate Communications Bukalapak Intan Wibisono mengatakan, Bukalapak telah memiliki sistem yang mengadaptasi algoritma tertentu sebagai upaya untuk mendeteksi kenaikan harga yang tak wajar pada produk yang dijual oleh mitra, termasuk masker. Dengan sistem ini, pelapak yang terbukti menaikkan harga produk secara tidak wajar dan melanggar ketentuan yang berlaku akan ditindak tegas, salah satunya berupa penutupan akun.
Selain itu, konsumen pengguna juga dapat melaporkan temuan penjualan dengan harga yang tidak wajar kepada tim BukaBantuan untuk ditindaklanjuti. ”Di tengah situasi pandemi ini, tentu kami terus berupaya untuk memastikan masyarakat mendapatkan produk dengan akses mudah dan harga yang wajar di platform kami,” ujarnya.
Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Veri Anggrijono mengatakan, sejauh ini, pemerintah hanya memberi peringatan kepada sejumlah importir, produsen, dan distributor untuk tidak menjual alat pelindung diri (APD), termasuk masker, dengan harga mahal.
”Langkah kami masih secara persuasif dan kami meminta komitmen serta pernyataannya untuk tidak menjual dengan harga tinggi,” ujarnya.
Menurut Veri, Kemendag bekerja sama dengan Kepolisian RI mengawasi pelaku usaha yang menjual masker. Namun, pemerintah dan polisi kesulitan memantau pelaku usaha perorangan yang tiba-tiba membeli dalam jumlah banyak, kemudian menjual dengan harga mahal. ”Mengawasi orang per orang ini yang agak sulit," ujarnya.
Pemerintah dan polisi kesulitan memantau pelaku usaha perorangan yang tiba-tiba membeli dalam jumlah banyak, kemudian menjual dengan harga mahal. Mengawasi orang per orang ini yang agak sulit. (Veri Anggrijono)
APD dan ventilator
Sementara itu, pemerintah dan kalangan industri berupaya untuk memenuhi kebutuhan APD dan ventilator. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Perkasa Roeslani mengatakan, Kadin terus mendorong produksi APD di dalam negeri. Hal itu penting mengingat di tengah pandemi Covid-19 saat ini negara-negara di dunia ”berebut” mendapatkan alat pelindung diri dan ventilator.
Terkait impor bahan baku APD, pelaku industri terbantu dengan mulai berproduksinya pabrik di China. Pabrik bahan baku APD di China mulai jalan dan kapasitasnya mendekati penuh. ”Namun, untuk ventilator masih ada kendala. Akibat tingginya permintaan ventilator di dunia, jika dapat mengimpor pun Indonesia akan mendapat sedikit saja,” ujarnya.
Sejumlah pemain besar industri otomotif bersiap merespons permintaan pemerintah untuk memproduksi ventilator. Public Relations Manager PT Honda Prospect Motor (HPM) Yulian Karvili mengatakan, ada permintaan produksi peralatan, seperti ventilator, dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Meski demikian, belum ada petunjuk teknis (juknis) detail terkait permintaan itu.
”Permintaan justru datang dari Kemenkeu, tetapi juknisnya belum ada,” kata Yulian.
Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) juga mengakui tengah dalam proses riset mendalam tentang teknologi ventilator dan respirator sebagai persiapan jika harus ikut memproduksinya.
”Kami sedang melihat kemungkinan-kemungkinannya,” kata Direktur Administrasi, Korporasi, dan Hubungan Eksternal PT TMMIN Bob Azam. (CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO/ARIS PRASETYO/DAHONO FITRIANTO)