Ketahanan Pangan di Tengah Pembatasan Sosial
Dalam tiga bulan terakhir, pandemi Covid-19 telah berdampak luas terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat, termasuk ketahanan pangan.
Meluasnya wabah virus korona di Tanah Air berdampak pada meningkatnya kebutuhan bahan pokok masyarakat.
Wacana lockdown atau karantina wilayah yang sempat bergaung juga menambah kekhawatiran masyarakat akan terjaminnya stok komoditas kebutuhan pokok di pasar. Implementasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dapat diperluas sewaktu-waktu juga kian mempersempit ruang gerak masyarakat.
Kondisi tersebut membuat sebagian masyarakat mengkhawatirkan ketersediaan bahan kebutuhan pokok sehari-hari. Kendati pemerintah menjamin stok dan distribusi bahan pokok tetap lancar, di supermarket dan pasar tradisional masyarakat tampak memborong bahan kebutuhan pokok. Akibatnya harga sejumlah bahan pokok mulai merangkak naik. Bahkan komoditas pangan seperti gula, bawang putih, dan bawang bombai langka di pasaran.
Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) mencatat pada Maret ini sejumlah komoditas bahan pokok mengalami kenaikan rata-rata harga nasional yang signifikan dalam sebulan terakhir dan kenaikan sejak awal tahun (year to date/ytd). Gula pasir lokal tercatat naik 18,71 persen (ytd 31,2 persen), dan gula pasir kualitas premium 10,68 persen (ytd 15,54 persen).
Baca juga: Belanja di Pasar Kini Bisa dari Rumah
Bawang putih juga naik hingga 36 persen (ytd), bawang merah 5,56 persen (ytd 4,57 persen), cabai rawit merah 18,11 perse (ytd 2,74 persen). Adapun harga kebutuhan pokok lainnya seperti beras, daging ayam, daging sapi, telur ayam, dan minyak goreng relatif stabil.
Kenaikan sejumlah komoditas pangan, seperti harga gula, bawang, dan telur ayam ras, yang masuk kelompok makanan, minuman, dan tembakau dalam Indeks Harga Konsumen (IHK) menyumbang inflasi pada Maret 2020.
Menurut catatan BPS, kenaikan harga sejumlah komoditas tersebut disebabkan karena impor komoditas tertentu seperti bawang putih belum sampai ke Indonesia. Untuk pasokan komoditas bawang putih misalnya, masih berasal dari stok yang ada yang dimiliki oleh importir.
Penyebab lain, wabah korona juga telah mengganggu rantai pasokan makanan secara global sejak Desember tahun lalu. Penutupan perbatasan dan karantina mengganggu rantai pasok pangan. Akses warga ke sumber makanan yang beragam dan bergizi kian terbatas.
Menghadapi kondisi tersebut, seberapa kuat ketahanan pangan Indonesia baik menyangkut ketersediaan, distribusi, dan keterjangkauan pangan menghadapi situasi krisis seperti saat ini?
Ketersediaan dan Distribusi
Selama masa pandemi korona dan jelang bulan Ramadan hingga Hari Raya Idul Fitri, pemerintah berkomitmen memenuhi komoditas utama bahan pangan. Presiden Joko Widodo menegaskan akan tetap menjaga stok dan ketersediaan, pasokan, distribusi, dan stabilitas harga bahan pokok. Terlebih, meluasnya penyebaran virus Covid-19 di berbagai daerah berdampak pada kemungkinan perpanjangan Masa Darurat Bencana korona hingga akhir Mei, setelah Idul Fitri.
Dari sisi stok dan ketersediaan, Badan Urusan Logistik atau Bulog mencatat beras masih tersedia 1,6 juta ton yang tersimpan di 1.647 gudang Bulog. Selain itu, pada April Indonesia mengalami panen raya padi yang akan mencapai 5,03 juta ton. Itu berarti stok beras domestik mampu memenuhi kebutuhan beras saat ini. Stok beras akan mencukupi untuk kebutuhan konsumsi hingga Lebaran. Stok ini akan dipenuhi dari hasil panen raya pada April, Mei, dan Juni.
Adapun stok bahan pokok lain seperti jagung, bawang merah, cabai besar, cabai rawit, daging ayam, telur ayam, dan minyak goreng juga diperkirakan memadai. Khusus bawang putih, pemerintah telah memberikan persetujuan impor yang diperkirakan masuk pada bulan ini. Demikian pula untuk ketersediaan daging sapi/kerbau dan gula pasir.
Sementara untuk gula pasir, pemerintah telah melakukan operasi pasar dengan mengalihkan stok di sejumlah daerah. Penyediaan gula dari ex-Dumai sebanyak 20 ribu ton, ex-Lampung sebanyak 33 ribu ton, dan ex-industri rafinasi untuk makanan dan minuman sebanyak 250 ribu ton.
Baca juga: Beras di Rumah Menipis, Warga Berharap Bantuan Kebutuhan Pokok Segera Dibagikan
Namun demikian, tidak sekadar menjamin stok bahan pangan di gudang Bulog dan swasta. Pemerintah juga perlu mencermati rantai distribusi bahan pokok agar berjalan lancar dan kebutuhan warga tercukupi. Pemerintah perlu memastikan jalur produksi dan kelancaran distribusi barang di daerah berlangsung lancar, baik di pelabuhan udara, laut, maupun darat.
Apalagi dengan terbitnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menghadapi pandemi, hal itu bisa berdampak pada terhambatnya distribusi bahan pokok. Terakhir pemerintah DKI Jakarta akan mulai menerapkan PSBB pada 10 April ini. Sementara lima daerah satelit ibu kota DKI Jakarta yakni Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi sepakat akan mengajukan status PSBB.
Padahal ketersediaan bahan pangan dan bahan pokok sangat vital agar masyarakat tidak panik. Selama jalur distribusi seperti gudang, pelabuhan, bandara, layanan kereta api barang dan truk, masih berjalan, logistik cukup aman.
Namun masalahnya, sejumlah daerah justru menerapkan karantina dengan cara masing-masing dan regulasi berbeda-beda. Soal angkutan barang misalnya ada daerah yang membolehkan pengiriman masuk di wilayah karantina, tetapi ada daerah yang melarang. Ada gudang di wilayah karantina yang ditutup, tetapi ada pula yang tidak ditutup. Keputusan sejumlah daerah memberlakukan karantina lokal tersebut berpotensi menghambat arus logistik. Pasokan bahan pangan bisa ikut terpengaruh.
Setidaknya ada tiga kepala daerah mengambil tindakan antisipatif di tengah kondisi darurat virus korona dengan menutup wilayahnya. Ketiga daerah tersebut adalah Kota Tegal, Maluku, dan Papua. Di daerah tersebut diterapkan penutupan akses dengan kurun waktu yang beragam, dari hitungan minggu hingga bulan. Langkah mandiri ini termasuk membatasi akses kendaraan dan orang untuk keluar masuk di jalur-jalur utama daerah.
Persoalan lain yang perlu diantisipasi adalah jalur logsitik yang aman. Jalur logistik yang bebas virus atau steril belum siap karena kelangkaan alat pelindung diri (APD) untuk personel logistik.
Keterjangkauan
Selain ketersediaan bahan pokok dan rantai distribusi, keterjangkauan atau harga yang layak semestinya perlu diperhatikan agar masyarakat, terutama rumah tangga kurang mampu tidak tergerus daya belinya.
Melonjaknya harga kebutuhan pokok bisa berdampak buruk pada keluarga kurang mampu, apalagi mereka yang sumber penghasilannya terhenti akibat pandemi Covid-19. Keluarga yang paling rentan bisa menghabiskan hingga 60 persen dari pendapatan mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Menurut data BPS, rumah tangga miskin saat ini sebesar 9,22 pada 2019. Mereka tersebar di daerah perkotaan 6,56 persen atau 9,86 juta dan daerah pedesaan 12,60 persen atau 14,93 juta yang mayoritas bekerja di sektor pertanian.
Upaya peningkatan akses pangan rumah tangga tersebut akan tercapai jika harga-harga kebutuhan pokok terkendali sehingga masyarakat mampu membeli makanan untuk memenuhi kebutuhannya.
Di situasi saat ini, stabilisasi harga pangan perlu dilakukan agar masyarakat berpendapatan rendah mampu menjangkau pangan yang ada di pasaran. Stabilitas harga pangan juga penting untuk dijaga agar masyarakat bisa terus mengonsumsi makanan bernutrisi untuk meningkatkan imunitas tubuh. Hal ini juga baik untuk menggerakkan konsumsi.
Tantangan lain yang dihadapi adalah oknum penimbun bahan pokok. Apalagi, wabah korona dan menjelang hari raya Idul Fitri dikhawatirkan bakal dimanfaatkan untuk memainkan harga di pasar. Untuk mengatasi persoalan tersebut, Satuan Tugas atau Satgas Pangan di pusat dan daerah, serta dinas ketahanan pangan di daerah perlu selalu mengontrol stabilitas harga.
Baca juga: Libatkan Pelaku UMKM dalamRantai Distribusi Pangan
Langkah strategis
Untuk memastikan ketersediaan komoditas pangan di pasar dan stabilitas harga, pemerintah bisa mengambil langkah strategis secepatnya untuk memastikan ketersediaan pangan, baik akses fisik maupun akses finansial. Salah satunya dengan mengurangi berbagai hambatan perdagangan dan menjaga perdagangan bahan pokok untuk tetap terbuka. Pemerintah juga perlu melakukan diversifikasi sumber impor bahan pokok strategis dari berbagai negara.
Berbagai hambatan perdagangan yang selama ini dihadapi antara lain adalah Surat Pengajuan Impor (SPI), sistem kuota, sistem birokrasi yang tidak sederhana dan memakan waktu lama yang pada akhirnya membuat proses impor menjadi lama. Dampaknya ketersediaan bahan pokok bisa terkendala.
Mengantisipasi kebutuhan pokok di masa pandemi, pemerintah mencadangkan anggaran sebesar Rp 25 triliun untuk kebutuhan pokok dan operasi pasar logistik. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dana tersebut untuk mengantisipasi kelangkaan bahan pokok di tengah pandemi korona.
Selain menyiapkan Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk menjaga daya beli, pemerintah juga perlu menyiapkan program padat karya tunai. Program tersebut utamanya ditujukan bagi masyarakat lapisan bawah di pedesaan yang terdampak pandemi Covid-19.
Terkait rantai distribusi, pemerintah perlu memastikan agar distribusi logistik tidak terganggu, sehingga masyarakat dapat membeli kebutuhan pokoknya dengan baik. Selain mengamankan stok, pemerintah daerah, para distributor dan satgas pangan Polri perlu terus memantau jalur distribusi pangan sehingga ketersediaan pangan lancar dan tidak ada yang kekurangan.
Pemerintah juga perlu memperhatikan secara serius daerah-daerah yang selama ini masuk kategori rawan pangan. Menurut catatan Badan Ketahanan Pangan, setidaknya 76 kabupaten kota masuk kategori daerah rawan pangan.
Tak hanya pemerintah. Di tengah kebijakan pembatasan sosial, muncul inisiasi dari toko retail hingga pengelola pasar untuk melayani pesan antar kebutuhan pokok ke rumah masyarakat. Sudah banyak pelaku usaha yang berinovasi, baik lewat layanan pesan singkat maupun membuat aplikasi daring. Pengelola pasar di Jakarta, PD Pasar Jaya misalnya, mempublikasikan di instagram resminya, nomor kontak pedagang yang melayani pesan antar beragam kebutuhan pokok termasuk sayur dan daging.
Dengan memastikan ketersediaan komoditas pangan dan barang-barang penting di pasaran, masyarakat mendapat kebutuhannya dengan harga terjangkau. Pemerintah pun dapat terus menjaga tumbuhnya konsumsi sebagai bentuk stimulus terhadap perekonomian nasional. (LITBANG KOMPAS)