Tim peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi mengembangkan inovasi alat tes cepat virus korona pemicu Covid-19. Perangkat itu akan digunakan untuk mengatasi kendala impor alat tes cepat di tengah pandemi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Pemeriksaan secara besar-besaran menjadi salah satu cara mencegah penularan Covid-19 yang kian meluas. Kendala pengadaan alat yang selama ini harus diimpor diharapkan bisa teratasi dengan produksi alat tes cepat massal yang dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia diperkirakan lebih dari yang dilaporkan secara resmi oleh pemerintah. Kasus yang rutin disampaikan ibarat puncak gunung es yang tidak mengungkapkan kondisi yang sebenarnya.
Kondisi ini salah satunya karena pemeriksaan tidak secepat laju penularan virus SARS-CoV-2 yang menjadi penyebab Covid-19. Lambatnya pemeriksaan bisa berisiko pada terlambatnya pengendalian penularan, terutama pada orang yang terinfeksi virus itu, tetapi tidak bergejala.
Jika orang itu tidak diperiksa dan tidak tahu dirinya terinfeksi, ia bisa mengancam orang di sekitarnya, khususnya pada kelompok rentan dengan usia lanjut ataupun dengan penyakit penyerta. Hal itu memperkuat alasan bahwa pemeriksaan harus dilakukan cepat dan luas di masyarakat.
Hingga Minggu (12/4/2020), pemerintah baru melakukan pemeriksaan pada 27.000 spesimen terkait Covid-19 atau 99 orang per 1 juta penduduk. Jumlah ini termasuk kecil dibandingkan dengan negara lain. Pada worldometers.info, pemeriksaan yang dilakukan di Italia mencapai 15.000 per 1 juta penduduk, Brasil 296 per 1 juta orang, Australia 13.880 per 1 juta penduduk, dan Malaysia 2.221 per 1 juta orang.
Alat tes cepat massal seharusnya bisa menjadi salah satu solusi mengatasi hal itu. Meski efektivitasnya tak seoptimal pemeriksaan dengan reaksi rantai polimerase atau polimerase chain reaction (PCR), pemeriksaan tes cepat massal bisa menjadi deteksi awal infeksi Covid-19 pada populasi masyarakat Indonesia yang cukup luas.
Sayangnya, pengadaan alat tes cepat massal atau rapid test dalam skala besar masih terkendala karena alat itu harus diimpor. Sementara semua negara di dunia juga berebut untuk mendapat alat tersebut. Karena itu, pengadaan produk tes cepat massal dalam negeri jadi kebutuhan mendesak saat ini.
Produk dalam negeri
Koordinator Sub Task Force Non PCR Diognostic Kit yang juga Perekayasa Madya Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Irvan Faizal menyampaikan, ada dua jenis alat tes cepat massal yang dikembangkan. Alat itu meliputi alat cepat massal (rapid diagnostic test/RDT) dengan identifikasi antibodi dan RDT dengan identifikasi antigen.
Pengembangan alat pemeriksaan dengan antibodi dilakukan tim peneliti BPPT bersama tim dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Alat ini dikembangkan dengan basis gen sintetik dari kode antigen Spike Subunit 1 dan Nucleocapsid yang merupakan rekombinan Covid-19. Gen sintetik ini dirancang berdasarkan sekuens atau pengurutan pada GenBank yang salah satunya berasal dari susunan gen N Indonesia.
Pengembangan RDT antibodi ini melalui tahapan produksi dan pemurnian protein Covid-19 rekombinan. Selain itu, RDT tersebut juga telah melalui optimasi konjugasi dengan protein Covid-19 rekombinan. Prototipe alat pemeriksaan yang diberi nama RDT Covid-19 IgG/IgM itu kini telah dibuat dan sudah melalui formulasi dan uji sensitivitas, spesifisitas, serta stabilitas.
Pendaftaran nomor izin edar untuk alat ini telah diproses sehingga diharapkan segera diproduksi secara massal oleh industri. Alat itu diharapkan bisa dihasilkan paling lambat pada September 2020.
”RDT deteksi antibodi IgG/IgM berbasis protein rekombinan ini dibuat berdasarkan susunan marka gen khas virus Covid-19 origin orang Indonesia. Untuk itu, diharapkan hasil pemeriksaannya bisa lebih sensitif dan spesifik,” kata Irvan.
Basis teknologi yang digunakan untuk pengembangan RDT ini tak jauh berbeda dengan pembuatan RDT untuk demam berdarah dengue yang sebelumnya dikembangkan. Namun, karena pembuatan RDT Covid-19 perlu dilakukan secara cepat, alat yang dikembangkan adalah alat untuk mendeteksi antibodi dalam tubuh setelah hari kelima menderita Covid-19.
RDT deteksi antibodi IgG/IgM berbasis protein rekombinan dibuat berdasarkan susunan marka gen khas virus Covid-19 origin orang Indonesia. Harapannya, hasil pemeriksaan lebih sensitif dan spesifik.
Dengan RDT Covid-19 IgG/IgM ini, hasil pemeriksaan bisa didapatkan setelah 5-10 menit. ”Caranya, dengan meneteskan darah atau serum pada kit pemeriksaan. RDT ini didesain menggunakan platform teknologi imunokromatografi berbasiskan virus lokal Indonesia sehingga diharapkan lebih sensitif dan spesifik dibandingkan produk impor yang sering menghasilkan false negatif atau false postitif,” tuturnya.
Selain RDT Covid-19 IgG/IgM, BPPT juga mengembangkan RDT berbasis deteksi antigen dengan sensor cip mikro. Dalam sekali pemeriksaan, pada satu cip bisa memeriksa sekaligus delapan sampel. Alat ini bisa digunakan untuk mendeteksi virus Covid-19 dengan sensor Surface Plasmon Resonance (SPR) pada pasien dalam pengawasan, orang dalam pemantauan, dan orang tanpa gejala.
”Pengembangan RDT berbasis antigen ini akan dihasilkan dalam jangka waktu satu tahun karena pekerjaannya lebih rumit dan lama dibandingkan yang RDT berbasis antibodi,” ucap Irvan.
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang PS Brodjonegoro sebelumnya menyampaikan, pemerintah menganggarkan Rp 41,24 miliar guna mendukung hasil inovasi dalam negeri untuk menghadapi Covid-19. Dari jumlah itu, Rp 38,04 miliar digunakan untuk kegiatan penelitian, termasuk pengembangan alat tes cepat Covid-19.
”Kita perlu upayakan percepatan produk dari inovasi dalam negeri. Kami sadar impor tidak bisa jadi solusi karena pengadaannya tidak mudah dengan stok yang mulai langka dan diperebutkan banyak negara,” ujarnya.