Perlindungan bagi para tenaga kesehatan yang berada di garda terdepan penanganan Covid-19 dinilai belum optimal. Akibatnya, tenaga medis rentan tertular penyakit itu.
Oleh
·4 menit baca
Perlindungan bagi para tenaga kesehatan yang berada di garda terdepan penanganan Covid-19 dinilai belum optimal. Akibatnya, tenaga medis rentan tertular penyakit itu.
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah pandemi Covid-19, para tenaga kesehatan sebagai garda depan penanganan pasien rentan tertular penyakit itu. Banyak tenaga kesehatan terinfeksi saat melayani pasien, sebagian di antaranya meninggal. Selain kekurangan alat pelindung diri, keselamatan mereka terancam karena pasien yang berisiko Covid-19 tak terbuka terkait riwayat perjalanannya.
Perlindungan mutlak diperlukan bagi tenaga kesehatan di rumah sakit, klinik, dan puskesmas. Hal ini tidak hanya bertujuan menjamin keselamatan mereka, tetapi juga keselamatan keluarga dan pasien. Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia Harif Fadhillah, di Jakarta, Minggu (19/4/2020), menuturkan, 14 perawat meninggal akibat Covid-19.
Puluhan perawat lainnya dirawat karena tertular penyakit itu. Ketua Tim Audit Internal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia N Nazar memaparkan, setidaknya 30 dokter meninggal karena Covid-19.
Tim audit PB IDI mendata penyebab kematian para dokter. ”Kami akan audit mulai dari riwayat penularan, penyakit penyerta yang dimiliki, hingga lingkungan kerja dokter yang merawat pasien. Dari audit, tergambar interaksi dokter selama 14 hari sebelum timbul gejala ataupun tiga minggu sebelum meninggal,” ujarnya.
Tidak terbuka
Tak tersedianya alat pelindung diri (APD) sesuai standar memicu tingginya risiko infeksi pada tenaga kesehatan. Risiko kian tinggi akibat ketidakjujuran pasien terhadap status kesehatan dan riwayat perjalanan karena ada stigma dari warga.
”Orang tanpa gejala terkait Covid-19 makin banyak. Ini jadi persoalan bagi tenaga kesehatan di tengah perlindungan yang terbatas. Risiko penularan kian besar terjadi di rumah sakit (RS) non-rujukan, RS swasta, klinik, dan puskesmas yang tak disiapkan menghadapi pasien Covid-19,” ujarnya.
Banyak kejadian orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) menyembunyikan statusnya. ”Kalau mereka tak jujur saat berobat, tenaga kesehatan menjadi korban,” kata Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia Abraham Andi Padlan Patarai.
Kepala Dinas Kesehatan Kuningan, Jawa Barat, Susi Lusiyanti mengatakan, sejumlah PDP Covid-19 yang berobat ke puskesmas dan bidan tak mengaku sebagai pemudik. Pasien enggan terbuka terkait status kesehatan dan riwayat perjalanannya karena khawatir mendapat stigma dari warga.
Ketersediaan APD
Lonjakan jumlah pasien di RS rujukan penanganan Covid-19 membuat orang dengan gejala penyakit itu kini datang ke layanan kesehatan primer. Namun, APD masih menjadi kendala, terutama bagi tenaga kesehatan di layanan kesehatan primer seperti puskesmas, klinik, dan praktik pribadi. ”Mereka paling rentan karena jadi pintu pertama berhadapan dengan warga,” kata Abraham.
Sejumlah daerah melaporkan ketersediaan APD menipis. Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Cirebon Sri Laelan mengatakan, ketersediaan APD bergantung dari donasi warga. Untuk kacamata pelindung, sepatu pelindung, dan alat pengukur suhu, misalnya, Pemkot Cirebon tak memiliki stok.
Untuk menghemat APD, Eny (28), sukarelawan perawat di RS Darurat Wisma Atlet, Jakarta, harus memakai APD lengkap 7-10 jam sehari. Menurut Letnan Dua Ckm dr Reyner Sebastian Mulyadi, dokter di Wisma Atlet, meski stok di RS itu mencukupi, penghematan APD dilakukan sebagai solidaritas bagi tenaga medis lain. ”Komitmen kami, satu sif satu APD,” ujarnya.
Guna mencegah penularan Covid-19, tenaga kesehatan layanan primer harus memakai APD sesuai standar. ”Masker N95 wajib bagi mereka, selain pelindung mata. Kini mencari masker N95 sulit dan harganya mahal, per lembar Rp 100.000,” kata Abraham.
RS dan puskesmas membuka donasi APD. ”Di puskemas kami hanya ada satu baju pelindung. Habis dipakai, dicuci, jemur lagi. Padahal, kini ada tiga PDP dan banyak ODP karena banyak orang pulang kampung,” kata Rika, apoteker di Puskemas Cikalong, Kabupaten Bandung.
Menurut pengurus IDI, Halik Malik, banyak tenaga kesehatan di puskemas dan RS di daerah memakai mantel hujan karena tak ada APD memadai. Leliltasari Danukusumo, dokter keselamatan kerja dari 4life, mengatakan, masker N95 sulit dicari. Masker medis mulai banyak meski harganya tinggi, Rp 200.000-Rp 400.000 per kotak, padahal dulu hanya Rp 30.000.
Akibatnya, banyak tenaga kesehatan memakai masker daur ulang N95 dan KN95. ”Ada yang disetrika, direndam disinfektan, bahkan ditaruh di penanak nasi,” katanya. Mutu APD yang diberikan kepada tenaga kesehatan juga perlu diperhatikan. Kementerian Kesehatan telah menerbitkan pedoman standar APD bagi tenaga kesehatan. Hal itu mesti disertai penyuluhan ke semua produsen APD.
Kepala Bidang Promosi Produk Dalam Negeri Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia Erwin Hermanto mengatakan, pengadaan bahan baku produksi APD bagi tenaga kesehatan di Indonesia masih mengandalkan impor. Guna mempercepat penanganan Covid-19, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mendatangkan 50.000 tes PCR (reaksi rantai polimerase) dari Korea Selatan.
”Dalam waktu kurang dari 24 jam, kita mendapat 50.000 tes PCR,” ujar Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo. Per 19 April 2020, menurut juru bicara pemerintah terkait penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, dari pemeriksaan terhadap 47.478 spesimen, tercatat 6.575 kasus Covid-19. Jumlah pasien yang sembuh 686 orang dan 582 pasien meninggal. Terdata pula 15.646 PDP dan 178.883 ODP.(TAN/AIK/DRI/IKI/JUD/FAI)