Energi Terbarukan Terpukul Gelombang Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 turut memukul pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Harga energi terbarukan kalah bersaing dengan harga energi fosil yang saat ini sangat murah.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan energi terbarukan di Indonesia turut terdampak pandemi Covid-19. Harga energi terbarukan harus bersaing dengan energi fosil yang saat ini sangat murah seiring berkurangnya permintaan di tengah pasokan yang berlimpah. Namun, pemerintah menyatakan bahwa pengembangan energi terbarukan terus berjalan.
Demikian yang mengemuka dalam diskusi daring tentang dampak pandemi Covid-19 terhadap sektor ketenagalistrikan dan energi terbarukan di Indonesia, Selasa (21/4/2020). Hadir sebagai narasumber adalah Direktur Konservasi Energi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Hariyanto, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, dan Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah Sujarwanto Dwiatmoko.
Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia, menurut Hariyanto, menyebabkan permintaan terhadap minyak menurun. Pada saat bersamaan, pasokan minyak melimpah yang berakibat harga minyak mentah dunia merosot tajam. Pandemi juga menyebabkan pergerakan barang dan jasa terhenti.
Kejatuhan harga minyak tersebut menimbulkan persaingan harga dengan sumber energi terbarukan.
”Dengan kejatuhan harga minyak dunia, biaya pokok produksi listrik tenaga diesel menjadi sangat murah, yaitu 3 sen dollar AS per kWh. Bahkan, harga tersebut dengan asumsi kurs rupiah Rp 15.700 per dollar AS,” ujar Hariyanto.
Kejatuhan harga minyak tersebut menimbulkan persaingan harga dengan sumber energi terbarukan. Selain itu, lantaran pergerakan barang dan jasa terhenti, proyek pembangkit listrik dari energi terbarukan juga tersendat. Di tengah kekhawatiran tersendatnya proyek dan pengurangan tenaga kerja, pemerintah tetap berkomitmen melanjutkan pengembangan energi terbarukan.
”Beberapa pertimbangan untuk merespons situasi tersebut adalah dengan mempercepat proyek energi terbarukan yang bersifat padat karya di daerah, termasuk insentif pajak berupa penghapusan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Penghasilan untuk pengembangan energi terbarukan,” ucap Hariyanto.
Fabby juga mengakui bahwa tren positif pengembangan energi terbarukan di Indonesia menjadi tersendat sejak munculnya pandemi Covid-19. Konsumsi listrik nasional juga terus menurun sejak diberlakukan kebijakan bekerja dari rumah dan pembatasan sosial berskala besar. Hal itu turut berdampak pada melambatnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
”Lantaran situasi makro ekonomi turut terpukul pandemi Covid-19, masyarakat menunda pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, baik itu di sektor rumah tangga, bisnis, maupun komersial. Mereka cenderung menahan belanja untuk kebutuhan yang tidak mendesak,” kata Fabby.
Sejumlah perusahaan konstruksi PLTS menunda rencana membuka kantor perwakilan mereka di Jawa Tengah.
Padahal, potensi pemasangan PLTS atap di sektor bisnis dan komersial, terutama di kota besar, bisa mencapai 200 megawatt. Belum lagi proyek PLTS Cirata di Jawa Barat yang bakal digarap PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mulai 2021 dengan kapasitas 145 megawatt. Proyek lain yang bakal terdampak adalah pemasangan PLTS pada fasilitas umum, seperti bandara, penerangan jalan umum, termasuk rencana pemanfaatan lahan bekas tambang.
Dampak di daerah, menurut Sujarwanto, sudah mulai dalam dua bulan terakhir. Sejumlah perusahaan konstruksi PLTS menunda rencana membuka kantor perwakilan mereka di Jawa Tengah. Proyek pembangunan infrastruktur PLTS yang didanai APBN dan APBD juga ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Tahun ini, pemerintah menargetkan investasi di sektor energi terbarukan sebesar 2,3 miliar dollar AS. Tahun lalu, realisasi investasi di sektor ini mencapai 1,5 miliar dollar AS. Adanya pandemi Covid-19 berpotensi menurunkan realisasi investasi pada tahun ini.