Kebutuhan Pelayanan Publik Tinggi Selama Pandemi, Birokrasi Dituntut Bekerja Lebih Radikal
Mengacu survei Litbang Kompas terbaru, kekhawatiran publik di tengah pandemi Covid-19 terkait pelayanan publik di antaranya kesulitan mencari bahan pokok, menurunnya profesionalitas ASN, dan kesulitan mengurus perizinan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah pandemi Covid-19, kekhawatiran muncul di masyarakat terkait terhentinya pelayanan publik, mulai dari sulitnya mencari bahan pokok hingga tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Oleh karena itu, birokrasi dituntut bekerja lebih radikal sehingga pelayanan kepada masyarakat tak terganggu.
Berdasarkan survei Litbang Kompas pada 22-24 April 2020, kekhawatiran terbesar publik di tengah pandemi Covid-19 ialah kesulitan mencari bahan pokok (38 persen). Kekhawatiran lain, di antaranya menurunnya profesionalitas aparatur sipil negara (9,2 persen), tidak mendapat pelayanan kesehatan yang berkualitas (23 persen), tidak dapat mengurus surat-menyurat dan perizinan yang berdampak pada bisnis (8 persen), serta tidak mendapatkan pekerjaan (7,3 persen).
Survei tersebut dilakukan secara daring dengan melibatkan 2.297 responden dari 33 provinsi di Indonesia. Setelah pembersihan dan pembobotan data, pengolahan data dilakukan terhadap 2.057 responden yang menjawab semua pertanyaan survei. Tingkat kepercayaan survei mencapai 95 persen dengan nirpencuplikan ± 2,16 persen.
Guru Besar Ilmu Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Erwan Agus Purwanto, saat dihubungi di Jakarta, Senin (27/4/2020), mengatakan, hasil survei hendaknya dijadikan birokrasi untuk meningkatkan kinerja di tengah pandemi Covid-19. Apalagi, aparatur sipil negara kini masih menerapkan sistem bekerja di rumah (work from home/WFH).
”Situasi krisis tak bisa direspons dengan tindakan yang normal, tetapi harus dengan tindakan-tindakan yang luar biasa dan lebih radikal atau extraordinary action. Pelayanan birokrasi harus tetap jalan sehingga basic needs, kebutuhan rumah tangga, kebutuhan pokok, serta obat-obatan juga terus terpenuhi,” ujar Erwan.
Ia menekankan, ada dua hal yang harus dikerjakan di tengah pandemi ini, yakni menyelamatkan manusia tetapi juga menyelamatkan ekonomi. Aktivitas ekonomi harus tetap terjaga melalui pelayanan birokrasi yang juga tidak mati.
”Jangan sampai nanti kalau dalam situasi normal kita malah ketinggalan terlalu jauh. Jadi, pelayanan birokrasi harus tetap berjalan,” tuturnya.
Pelayanan digital
Di tengah kekhawatiran masyarakat itu, sebagian besar masyarakat berharap agar pemerintah mengoptimalkan pelayanan publik secara digital (dalam jaringan/online). Masih mengacu hasil survei Litbang Kompas, sebesar 53,9 persen responden berharap semua tahapan pengurusan administrasi bisa dilakukan secara daring.
Adapun sebesar 44,6 persen responden meminta agar pelayanan tetap dilakukan seperti biasa dengan menerapkan standar kesehatan saat wabah Covid-19. Contohnya, pengetatan penggunaan masker dan jaga jarak (physical distancing).
Pelayanan publik yang dipandang perlu tetap dibuka selama masa pandemi ini, meliputi pengurusan administrasi kependudukan dan perpanjangan izin administrasi seperti paspor, surat izin mengemudi (SIM), serta pembayaran pajak tahunan kendaraan. Itu dibutuhkan karena situasinya darurat.
Erwan menyampaikan, transisi dari model birokrasi konvensional ke e-government adalah keharusan. Dalam kondisi yang tak normal ini, birokrasi harus segera melakukan penyesuaian (readjustment).
”Pandemi Covid-19 ini harus bisa menjadi semacam trigger bahwa dalam waktu singkat semuanya harus bisa beralih ke digital. Sebab, semua harus serba cepat, tuntutan waktunya pendek sehingga pandemi ini harapannya bisa menjadi momentum untuk mengubah mentalitas birokrasi,” ujar Erwan, yang juga anggota Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional itu.
Perubahan kultur
Menurut Erwan, komitmen dari kepala daerah, yang kemudian diikuti para ASN di lingkungannya, menjadi kunci transformasi birokrasi. Apabila komitmen itu telah ada, teknologi dan instrumentasi yang lain akan menyusul dan bisa diatasi.
”Yang penting perubahan mindset dan kultur untuk pelayanan. Ini pekerjaan rumah yang harus terus dievaluasi,” kata Erwan.
Dari catatan Kompas, peralihan pelayanan publik ke digital masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Untuk urusan administrasi kependudukan, misalnya, menurut data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, sebanyak 467 dari 514 dinas dukcapil di seluruh daerah sudah menerapkan layanan daring. Namun, peralihan layanan ke digital yang digiatkan sejak tahun lalu itu belum tuntas di 47 daerah. Persoalannya karena keterbatasan internet plus kapasitas ASN yang belum terbiasa menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.
”Sebanyak 47 daerah tersebut sedang berproses dan membiasakan online. Masih tahap sosialisasi,” ujar Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh.
Sementara itu, untuk urusan perizinan, berdasarkan data Kemendagri, masih ada 217 kabupaten/kota yang belum mengimplementasikan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau kerap disebut online single submission (OSS). Adapun di level provinsi masih ada 13 provinsi. Padahal, Presiden Joko Widodo telah memerintahkan seluruh pemda mengaplikasikan sistem OSS, hampir dua tahun lalu. Ini seperti tertera pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, dalam surat edaran Menpan dan RB tertanggal 20 April 2020, mengingatkan pejabat pembina kepegawaian di setiap instansi untuk memastikan sistem kerja ASN tidak mengganggu jalannya pemerintahan dan pelayanan publik.
”Setiap dua minggu, tim Kemenpan dan RB mengevaluasi efektivitas dan pelayanan publiknya, khususnya di daerah yang berlaku PSBB (pembatasan sosial berskala besar),” ujar Tjahjo.