Gestianus Sino, Kegigihan Petani Muda
Lulus sarjana, Gestianus Sino memilih memikul pacul untuk bertani di atas lahan kering. Dengan semangat juang penuh, dia mendirikan pertanian organik.
Gestianus Sino (37) memilih menjadi petani muda di Kupang, Nusa Tenggara Timur, sesuai dengan ilmu yang didapatnya di bangku kuliah. Dengan kegigihannya, dia membuka lahan baru, sebagian besar berupa batu karang, untuk bertani dan beternak. Awal April 2020, dia dipilih menjadi salah satu Duta Petani Milenial 2020 oleh Kementerian Pertanian.
Suasana di lahan pertanian seluas 1.000 meter persegi di Desa Matani, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, NTT, pada Senin (27/4/2020) siang terasa sejuk. Siang itu, dua unit sprinkler berputar menyirami seluruh tanaman. Di lahan tersebut, Gestianus atau Gesti menanam berbagai jenis tanaman organik, mendirikan kandang ternak, dan membuat kolam ikan.
Semua hasil pertanian dan peternakan dijual untuk umum. Selain itu, lahan juga menjadi tempat penelitian bagi generasi muda yang magang. Usaha itu seperti sebuah oase yang hadir di tengah hamparan batu karang.
Gesti menceritakan, tahun 2012, dirinya membeli lahan dari warga setempat dengan harga Rp 30 juta. Sebagai modal usaha, dia menjaminkan ijazah sarjana dari Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana, Kupang. Pinjaman lunas pada tahun 2014. Gesti baru saja dikukuhkan menjadi Duta Petani Milenial 2020 oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo melalui telekonferensi.
”Saya lulus menjadi sarjana pada tahun 2011, saat itu ada sekitar 4.000 wisudawan dari sejumlah fakultas. Tekad saya cuma satu, menjadi petani yang komplet, bertani dan beternak. Tetapi modal usaha tidak ada. Saya terpaksa gadai ijazah di bank untuk mendapat Rp 30 juta. Uangnya dipakai untuk membeli tanah, dan membangun gubuk,” kenang Gesti.
Setelah itu, Gesti langsung menggarap lahannya. Di saat teman-temannya mencari pekerjaan di kantor pemerintah atau perusahaan swasta, Gesti memilih memikul pacul membongkar batu karang satu per satu. Lahan itu memang ditumpuki batu karang sehingga tidak ditumbuhi rerumputan.
Batu-batu dijadikan pagar keliling lahan dan pematang. Dengan penuh semangat, dia mencangkul tanah itu seorang diri dari pagi hingga malam. Gesti memilih bermalam di lahannya setelah membuat sebuah gubuk dari daun dan pelepah lontar. Setiap pagi, dia mulai berkegiatan pada pukul 05.00 hingga pukul 11.00. Sore hari, pukul 15.00, Gesti melanjutkan pekerjaannya.
Satu-satunya cara mengalahkan hamparan batu karang dan panas menyengat ialah semangat juang meski hasil akhir belum pasti. Ia selalu percaya, semua orang sukses karena daya juang. Semangat ini terdorong oleh keinginan untuk mengubah hidup melalui bertani.
Bertani dan beternak
Gesti memilih tanaman pepaya california untuk dibudidayakan. Alasannya, pepaya sangat diminati masyarakat Kota Kupang. Saat itu, pepaya jenis itu masih langka sehingga harus didatangkan dari Pulau Jawa. Ketika panen tiba, ribuan buah pepaya diambil sejumlah pusat perbelanjaan dengan harga sekitar Rp 25.000 per buah.
Selain pepaya, Gesti juga membudidayakan kangkung, bayam, sawi, kol, tomat, terung, cabai, dan jahe. Ia tidak menggunakan pupuk kimia, kecuali pupuk kandang dan pupuk bokasi buatan sendiri.
Seiring dengan berjalannya waktu, dengan lahan yang masih luas, Gesti mulai beternak dengan memelihara kambing, bebek, ayam, dan itik. Namun, untuk bisa menjalankan kedua kegiatannya, bertani dan beternak, dia membutuhkan air yang cukup banyak. Sementara wilayah itu selalu kesulitan air, bahkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saja sangat sulit.
”Tahun 2015, saya buat sumur bor seharga Rp 37 juta untuk kedalaman 92 meter. Posisi air pada kedalaman 64 meter sampai dengan 92 meter. Sumur bor ini tidak pernah kering sekalipun puncak kemarau, Agustus-November. Itu berarti tanaman hortikultura berproduksi sepanjang tahun, selama dikelola dengan baik. Harapan masa depan hortikultura ada pada sumur bor tersebut,” tutur Gesti.
Hasil produksi pertaniannya dimasukkan ke sejumlah toko swalayan, supermarket, hotel, perusahaan, dan kantor-kantor di Kota Kupang. Hasil pertaniannya antara lain cabai, tomat, pepaya, kol, wortel, kacang panjang, bit, lobak, dan sawi. Selama ini, sayur-sayuran tersebut sebagian besar didatangkan dari Surabaya.
Sejak 2017, ia memiliki ribuan pelanggan tetap mulai dari individu, hotel, supermarket, perusahaan, hingga kantor. ”Kadang mereka pesan, kadang saya yang menawarkan produk usaha baru mau dipanen, seperti ikan lele, gurami, atau ikan nila. Telur ayam kampung, telur bebek, itik, termasuk daging ayam kampung. Semua yang dipelihara di sini organik,” kata Gesti.
Biasanya, dia akan memberi perlakuan khusus kepada pelanggan tetap, seperti harga lebih murah, dan barang yang dipesan diantar langsung ke rumah pelanggan. ”Pelanggan itu raja. Mereka harus dilayani sesuai kebutuhan mereka, bukan kebutuhan produksi,” ucapnya.
Semboyan ini pun membuat jumlah pelanggan terus naik dari tahun ke tahun. Di saat pandemi Covid-19, mereka tetap memesan produk pertanian Gesti.
Kadang mereka pesan, kadang saya yang menawarkan produk usaha baru mau dipanen, seperti ikan lele, gurami, atau ikan nila. Telur ayam kampung, telur bebek, itik, termasuk daging ayam kampung. Semua yang dipelihara di sini organik.
Jumlah pelanggan belum termasuk warga yang datang berbelanja langsung di kebun. Kebanyakan mereka membeli jenis sayuran atau makanan tertentu yang tidak tersedia di pasar tradisional, seperti telur bebek, sayur lobak, bit, brokoli, ikan lele, gurami, dan ikan nila.
Panen hasil pertanian di lokasi itu tidak pernah berhenti sepanjang tahun. Semua jenis tanaman dan hasil usaha ternak dipanen secara bergiliran. Bagi Gesti, lahan seluas 1.000 meter persegi itu seperti sebuah tabungan hidup.
Produktivitas pertanian dan peternakan yang semakin meningkat membuat Gesti memperbaiki gubuknya menjadi rumah permanen yang dipakai untuk kegiatan operasional. Bangunan seluas 250 meter persegi dipakai untuk ruang tamu, kantor, kamar tidur, dapur, dan gudang. Daya listrik juga diperbesar dari 900 VA dinaikan menjadi 4.000 VA.
Dengan pekerjaan yang semakin banyak, Gesti merekrut tiga karyawan untuk membantu di Matani, termasuk satu karyawan untuk administrasi. Jika ada proyek pekerjaan dari luar, ia memanfaatkan tenaga lepas.
Selain itu, Gesti juga menyediakan tempat magang bagi siswa SMK dari sejumlah sekolah di NTT ,seperti Sumba Barat, Timor Tengah Selatan, Kota Kupang, Malaka, dan Sikka. Puluhan dosen dan ratusan mahasiswa pun melakukan penelitian pertanian lahan kering dan tanaman organik di situ.
Tahun 2018, ia mendapatkan lahan baru seluas 10.000 meter persegi di Desa Baumata, sekitar 15 kilometer dari Matani. Lahan ini ditanami 10.000 pohon pepaya dan cabai serta ternak sapi. Saat ini sedang ditanami pakan ternak berupa rumput gajah, lamtoro, dan pisang barangan. Jika kondisi memungkinkan, akan ditambah dengan nanas dan buah naga.
Di sini, ia berencana menggunakan memakai sistem mekanisasi pertanian sehingga tidak butuh tenaga kerja dalam jumlah banyak. Dia mungkin hanya butuh satu atau dua orang untuk menjalankan pertaniannya.
Kini, Gesti berharap suatu saat bisa memasarkan hasil pertaniannya ke Timor Leste. Dia ingin memotivasi sebanyak mungkin anak muda NTT untuk terjun ke dunia pertanian lahan kering.
”Katong lahir dan besar di atas batu karang, diterpa panas terik dan angin kencang, mengapa harus mencari ruangan ber- AC di kantor. Mari kita hijaukan daerah ini dengan hasil-hasil pertanian organik untuk meraih mimpi, menjadi tuan di negeri sendiri,” ujar Gesti.
Gestianus Sino
Lahir: Detukopi, Sikka, 22 April 1983
Pendidikan: Sarjana Pertanian Universitas Nusa Cendana (2011)
Istri: Kristiani Paskalista Pati
Anak: 1
Penghargaan: Duta Petani Milenial Nasional 2020, Korwil NTT