Pembiayaan Utang Tahun Ini Rp 1.439,8 Triliun
Tahun ini, Indonesia mesti menggalang utang cukup tinggi, yaitu Rp 1.439,8 triliun akibat Covid-19. Tahun depan, Indonesia juga butuh biaya tinggi untuk pemulihan sosial-ekonomi.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia mesti menggalang pembiayaan utang cukup tinggi tahun ini, yaitu senilai Rp 1.439,8 triliun. Tingginya pembiayaan utang dihadapkan pada tantangan situasi tidak normal akibat pandemi Covid-19, serta perubahan keinginan investor pemegang surat berharga negara.
Pembiayaan utang itu terdiri dari pembiayaan defisit APBN senilai Rp 852,9 triliun, pembiayaan investasi yang salah satunya program pemulihan ekonomi nasional dari pandemi Rp 153,5 triliun, serta pembiayaan utang jatuh tempo Rp 433,4 triliun.
”Dengan meningkatnya defisit APBN, pembiayaan utang menjadi salah satu tantangan yang cukup besar,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR yang digelar secara virtual di Jakarta, Kamis (30/4/2020).
Menurut Sri Mulyani, pembiayaan tahun ini dihadapkan pada kondisi cukup menantang. Di satu sisi, pandemi Covid-19 meningkatkan risiko hampir semua negara di dunia sehingga penerbitan surat berharga negara (SBN) harus berhati-hati. Di sisi lain, investor global cenderung mengalihkan portofolionya ke instrumen yang lebih aman, seperti dollar AS dan emas.
Dengan meningkatnya defisit APBN, pembiayaan utang menjadi salah satu tantangan yang cukup besar.
Pembiayaan utang tahun ini akan bersumber dari penarikan pinjaman senilai Rp 150,5 triliun dan penerbitan SBN Rp 1.289,3 triliun. Di tengah ketidakpastian dan volatilitas yang tinggi, strategi pembiayaan diarahkan pada fleksibilitas pinjaman dan penambahan SBN.
Realisasi penerbitan SBN per 31 Maret 2020 sebesar Rp 221,4 triliun. Adapun sisa SBN yang akan diterbitkan sepanjang triwulan II hingga IV-2020 sebesar Rp 856,8 triliun melalui lelang di pasar domestik, penerbitan SBN ritel, penjualan surat utang secara bilateral (private placement), dan penerbitan SBN valuta asing (valas).
”Karena proyeksi pembiayaan cukup tinggi, penambahan SBN domestik dan valas tentu tidak terhindarkan,” ujar Sri Mulyani.
Sebagai gambaran, rata-rata lelang SBN per 2 minggu untuk triwulan II hingga IV-2020 diproyeksikan berkisar Rp 35 triliun-Rp 45 triliun. Adapun rata-rata penerbitan SBN pada periode sama tahun 2019 berkisar Rp 7,8 triliun-Rp 21,9 triliun, sementara tahun 2018 berkisar Rp 5,1 triliun-Rp 15,8 triliun.
Sri Mulyani mengatakan, pemerintah akan mencari kesempatan terbaik untuk menerbitkan SBN dengan harga kompetitif. Karena itu, rekam jejak pengelolaan keuangan yang berkelanjutan dan transparan sangat dibutuhkan. Rekam jejak penting untuk mesihat kemampuan suatu negara menerbitkan surat utang.
”Utang akan dikelola hati-hati dan produktif agar tidak membebani APBN dalam jangka menengah panjang. Pemerintah juga berkomitmen menjaga rasio utang di bawah 60 persen produk domestik bruto (PDB),” ujarnya.
Baca juga: ADB Pinjamkan 1,5 Miliar Dollar AS ke Indonesia
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, posisi utang pemerintah per Maret 2020 sebesar Rp 5.192,56 triliun atau 32,12 persen PDB. Utang pemerintah terdiri dari penerbitan SBN senilai Rp 4.292,73 triliun dan pinjaman Rp 899,83 triliun.
Surat keputusan bersama
Terbaru, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia (BI) membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Skema dan Mekanisme Koordinasi Pembelian Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara di Pasar Perdana untuk Menjaga Kesinambungan Pengelolaan Keuangan Negara.
SKB merupakan implementasi pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. SKB ditandatangani pada 16 April 2020.
Menurut Sri Mulyani, SKB menjadi dasar hukum pembiayaan defisit APBN melalui mekanisme pasar. Aturan dalam SKB mengizinkan BI membeli SBN jangka panjang yang diterbitkan pemerintah di pasar perdana. Metode pembelian SBN melalui lelang nonkompetitif, lelang tambahan, dan private placement.
”Jumlah maksimal pembelian nonkompetitif BI untuk surat utang negara (SUN) sebesar 25 persen, sementara surat berharga syariah negara (SBSN) 30 persen,” kata Sri Mulyani.
Dalam lelang SBSN reguler pada 21 April 2020, BI memenangkan pembelian nonkompetitif senilai Rp 1,72 triliun dari penawaran 4,2 triliun. Adapun dalam lelang tambahan pada 22 April 2020, BI memenangkan Rp 2,93 triliun dari penawaran nonkompetitif Rp 4 triliun.
Baca juga: Dalam Sepekan, Pemerintah Melelang Dua Kali Surat Utang Tambahan
Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, SUN dan SBSN yang dibeli oleh BI dari pemerintah untuk pembiayaan umum APBN (above the line) bukan untuk tujuan tertentu, seperti pemulihan ekonomi dan atau restrukturisasi perbankan (below the line). Pembelian SBN oleh BI di pasar perdana mengutamakan mekanisme pasar.
Dihubungi terpisah, ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, berpendapat, langkah BI masuk ke pasar perdana memberikan sinyal bahwa risiko di pasar sudah berkurang. Dengan demikian, investor asing dan domestik tertarik untuk kembali ke pasar obligasi. Investor akan masuk dengan ekspektasi ada tambahan permintaan dan kondisi fundamental ekonomi Indonesia relatif baik.
”Meskipun saat ini BI masuk melalui lelang nonkompetitif, investor akan cenderung mulai masuk dengan ekspektasi ada tambahan permintaan sehingga saat lelang diperkirakan harga akan mampu lebih bersaing,” kata Josua.
Langkah BI masuk ke pasar perdana memberikan sinyal bahwa risiko di pasar sudah berkurang. Dengan demikian, investor asing dan domestik tertarik untuk kembali ke pasar obligasi.
Josua menambahkan, langkah investor asing dan domestik kembali ke pasar obligasi akan mendorong imbal hasil surat utang turun. Saat ini, imbal hasil surat utang Pemerintah Indonesia tenor 10 tahun berkisar 7-8 persen. Penurunan imbal hasil akan mengurangi beban bunga utang yang mesti dibayar pemerintah.
Prioritas 2021
Saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) melalui telekonferensi, Kamis, Presiden Joko Widodo mengungkapkan, tahun ini sejumlah target pembangunan yang dirancang dalam Musrenbang tahun 2019 telah mengalami penyesuaian. Prioritas pembangunan diubah untuk penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya.
Realokasi besar-besaran belanja negara harus dilakukan untuk keselamatan seluruh bangsa Indonesia dari pandemi Covid-19. Anggaran negara diprioritaskan untuk bidang kesehatan, jaring pengaman sosial untuk warga miskin, serta stimulus ekonomi bagi pelaku usaha demi mencegah pemutusan hubungan kerja.
Baca juga: Pemulihan Ekonomi Jadi Fokus Pembangunan Tahun 2021
Karena itu, lanjut Presiden, perencanaan pembangunan untuk tahun 2021 harus lebih adaptif dengan perkembangan situasi terkini. Berbagai skenario perlu disiapkan karena belum ada yang bisa memastikan kapan pandemi Covid-19 ini berakhir. Tak hanya mitigasi, langkah-langkah pemulihan dampak pandemi juga harus disiapkan.
”Kita harus menyiapkan berbagai skenario, dari yang paling ringan, sedang, hingga yang paling berat. Dengan berbagai skenario itu, kita siapkan langkah-langkah mitigasi sekaligus langkah-langkah pemulihan dampak ekonomi,” kata Presiden yang menyampaikan sambutan dari Istana Merdeka, Jakarta.
Presiden optimistis pemulihan ekonomi sudah bisa dilakukan pada 2021. Karena itu, para kepala daerah diminta melakukan pendataan sektor usaha yang terdampak.
”Saya minta para gubernur, bupati, wali kota, kepala Bappeda memilah di daerah masing-masing sektor apa yang terkena dampak paling parah, sektor apa yang dampaknya sedang, dan sektor apa yang masih bisa bertahan dan justru bisa mengambil peluang yang ada,” tuturnya.
Presiden optimistis pemulihan ekonomi sudah bisa dilakukan pada 2021.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, Rencana Kerja Anggaran Pemerintah (RKAP) pada 2021 yang akan diarahkan untuk percepatan pemulihan sosial-ekonomi memuat tujuh prioritas nasional yang masuk dalam agenda pembangunan dalam RPJMN 2020-2024.
Prioritas tersebut meliputi penguatan ketahanan ekonomi, pengembangan wilayah, peningkatan sumber daya manusia, peningkatan revolusi mental, pembangunan kebudayaan, penguatan infrastruktur, dan pembangunan lingkungan hidup.
”Dengan mempertimbangkan asumsi bahwa pandemi bisa berakhir tahun ini, skenario agenda pemulihan ekonomi setelah Covid-19 menjadi bagian penting dalam kerangka ekonomi makro RKAP 2021,” ujar Suharso.
Baca juga: Tahun Depan, Pemerintah Fokus Pemulihan Sosial-Ekonomi