Pemerintah Akui Pendataan dan Penjaringan Peserta Jadi Kendala
Ketika peserta jujur menyatakan diri masih mampu dalam deklarasi pendaftaran, tetapi tetap lolos seleksi, itu menunjukkan ada yang salah dengan mekanisme penjaringan peserta Kartu Prakerja.
Oleh
Agnes Theodora/Karina Isna Irawan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengakui, penyaluran bantuan Kartu Prakerja untuk pekerja dan sektor informal yang terdampak Covid-19 terkendala dari segi pendataan dan penjaringan peserta. Evaluasi terhadap keseluruhan program Kartu Prakerja mendesak untuk menjamin masyarakat terdampak mendapatkan bantuan dan perlindungan di tengah masa genting pandemi Covid-19.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Kamis (30/4/2020), mengatakan, likuiditas pembiayaan seluruh program penanganan Covid-19 tersedia. Kendati anggaran tersedia, dari segi eksekusi, penyaluran kepada masyarakat secara tepat sasaran menjadi tantangan luar biasa. Salah satu contohnya, program Kartu Prakerja.
Penerima manfaat Kartu Prakerja yang ditargetkan sebanyak 5,6 juta orang termasuk dalam kelompok 60-70 persen penduduk kelas menengah. Pendataan penduduk kelas menengah ini cukup sulit karena pemerintah tidak memiliki basis data yang valid.
”Meskipun anggaran tersedia, eksekusi menyangkut mobilisasi ke masyarakat secara tepat jadi tantangan luar biasa,” ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR.
Pendataan penduduk kelas menengah ini cukup sulit karena pemerintah tidak memiliki basis data yang valid.
Belakangan ini, sejumlah kasus penyaluran Kartu Prakerja yang salah alamat sempat mengemuka. Orang yang masih bekerja dan mampu bisa lolos seleksi meskipun secara jujur mendeklarasikan diri tidak terdampak Covid-19. Metode seleksi acak tanpa variabel rekrutmen yang ketat dan metode verifikasi yang tepat berpotensi membuat program ini mengalir tidak tepat sasaran.
Salah satu peserta program Kartu Prakerja, Agustinus Edy Kristianto, mengatakan lolos seleksi meskipun saat mendaftar sudah menyatakan diri bukan sebagai korban pemutusan hubungan kerja (PHK), melainkan wiraswasta. Ia mengunggah status berisi pengalamannya mengikuti Kartu Prakerja melalui akun Facebook miliknya.
Selain Agustinus, Ahmad (28), karyawan swasta di Tangerang, juga berpengalaman serupa. Saat mendaftar, Ahmad jujur menyatakan masih bekerja dan mendaftar karena sekadar ingin mencari pendapatan tambahan. Ahmad lolos seleksi Kartu Prakerja dan saat ini sudah mendapatkan saldo Rp 1 juta untuk mengikuti kelas-kelas pelatihan daring yang tersedia (Kompas, 30/4/2020).
Menanggapi hal itu, Direktur Kemitran dan Komunikasi Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja Panji W Ruky menuturkan, alokasi terbesar peserta Kartu Prakerja diberikan kepada kelompok pekerja dan pelaku usaha kecil mikro yang telah didata oleh kementerian dan lembaga sebagai yang terdampak Covid-19. Namun, masih ada sebagian kecil kuota yang diberikan untuk pendaftar umum.
Pendaftar umum harus memberi deklarasi untuk mengisi informasi sebenar-benarnya, misalnya menyatakan terkena PHK atau seorang wirausaha yang terdampak. Jika yang bersangkutan adalah wirausaha, pendaftar harus menyebutkan dampak pandemi itu pada usahanya, seperti omzet yang turun atau tidak bisa lagi membayar beban pegawai.
Dalam kasus Agustinus, lanjut Panji, ia mendaftar di dua gelombang pertama dan mendapat Kartu Prakerja di gelombang kedua dari kelompok masyarakat umum. ”Beliau (Agustinus) memberi deklarasi sebagai wirausaha yang terdampak usahanya oleh pandemi sehingga lebih diutamakan dalam (seleksi) randomisasi kelompok masyarakat umum di gelombang kedua,” katanya.
Panji mengatakan, dalam penjaringan acak itu, sistem menyaring berdasarkan basis data milik pemerintah terkait data masyarakat yang terdampak Covid-19. Kedua, verifikasi dilakukan berdasarkan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) milik Kementerian Sosial agar peserta tidak tumpang tindih dengan penerima bansos lainnya.
”Kami terus mengevaluasi dan memperbaiki agar penyaluran tepat sasaran di gelombang berikutnya,” ujarnya.
Menanggapi Panji, Agustinus menyatakan, saat mendaftar, ia memang mencantumkan status sebagai wiraswasta. Namun, dia tidak mendeklarasikan diri sebagai wiraswasta yang terdampak Covid-19 dan mengalami penurunan omzet usaha.
Sri Mulyani mengakui, program Kartu Prakerja kini menjadi perbincangan hangat di publik. Bukan hanya masalah pendataan yang diperbincangkan, melainkan juga eksekusi dan koordinasinya.
Presiden sudah meminta pemerintah daerah untuk turut membantu eksekusi program ini agar lebih tepat sasaran. Sejauh ini, peserta gelombang I sebanyak 168.111 orang dan gelombang II sebanyak 288.154 orang.
”Memang pada gelombang I dan II tidak berjalan lancar, semoga ke depan akan makin baik dan jelas targetnya,” kata Sri Mulyani.
Evaluasi
Komisioner Ombudsman RI, Alamsyah Saragih, mengatakan, kesalahan Kartu Prakerja terletak sejak sistem rekrutmen awal. Syarat peserta Kartu Prakerja tidak ditetapkan secara ketat sehingga ada celah penyaluran tidak tepat sasaran, khususnya pada pendaftaran kelompok masyarakat umum yang tidak terdata di pemerintah.
Ini menunjukkan, ada kelemahan sejak awal. Sistem acak sebenarnya tidak bermasalah karena dalam kondisi seperti ini semua orang harus dapat kesempatan kompensasi.
”Namun, variabel dan syarat rekrutmennya itu harus jelas. Sistem harus bisa memverifikasi apakah orang bersangkutan itu benar-benar terdampak Covid-19 atau tidak,” ujarnya.
Menurut Alamsyah, ketika peserta jujur menyatakan diri masih mampu dalam deklarasi pendaftaran, tetapi tetap lolos seleksi, itu menunjukkan ada yang salah dengan mekanisme penjaringan peserta Kartu Prakerja.
”Kalau orang sudah jujur, tetapi masih lolos, berarti sistem tidak valid. Beda halnya jika peserta bohong, berarti sistem ditipu. Ini jadi kusut. Akurasi penjaringan dalam sistem TI rendah dan program ini memang pada dasarnya tidak kontekstual dijalankan saat pandemi,” katanya.
Kalau orang sudah jujur, tetapi masih lolos, berarti sistem tidak valid. Beda halnya jika peserta bohong, berarti sistem ditipu.
Ia menyarankan agar program ini ditunda setelah dua gelombang pertama dijalankan. Kartu Prakerja baru tepat dilaksanakan setelah Covid-19 usai.
”Dana yang ada bisa dialihkan untuk skema program bantuan sosial pekerja yang benar-benar untuk jaring pengaman sosial. Ini harus betul-betul diperhatikan karena anggaran Covid-19 ini tidak kecil dan sebagian masuk dalam anggaran untuk Covid-19,” katanya.
Dihubungi terpisah, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Akhmad Akbar Susamto, berpendapat, biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk Kartu Prakerja cukup besar. Sebagian alokasi dana berpotensi jatuh ke tangan perusahaan besar dengan potensi konflik kepentingan yang sangat tampak.
Untuk itu, pemerintah harus mengevaluasi penunjukan mitra-mitra Kartu Prakerja. Penunjukan perusahaan-perusahaan sejauh ini tanpa prosedur dan kriteria yang jelas, bahkan sebagian umumnya perusahaan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
”Di sisi lain, materi pelatihan tidak berbeda jauh dengan materi yang beredar gratis di media sosial. Biaya ratusan miliar rupiah per gelombang pelatihan akan lebih bermanfaat jika diberikan kepada keluarga-keluarga yang kehilangan pendapatan akibat Covid-19,” ujar Akhmad.