Musmuliadi adalah guru yang tangguh. Ia merintis sekolah di dusun terpencil di bawah kaki Gunung Rinjani agar anak-anak di sana bisa sekolah. Ia tidak mengeluh meski hanya mendapat honor Rp 250.000 per bulan.
Oleh
Khaerul Anwar
·5 menit baca
Musmuliadi (36) prihatin melihat masih banyak anak di dusun terpencil tidak bisa mengenyam pendidikan. Ia pun menerima tawaran menjadi guru sekaligus merintis sekolah filial di Dusun Semokan Ruak, Desa Sukadana, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat.
”Saya mau jadi guru honorer di sini, selain karena banyak kerabat, juga kasihan sama anak-anak yang tidak bisa sekolah. Bagaimana bisa sekolah, lha sekolah tidak ada,” ujar Musmuliadi di rumahnya di Dusun Batu Rakit, Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, sekitar 80 kilometer utara ibu kota Mataram, Kamis (9/4/2020).
Warga di dusun itu, lanjut Musmuliadi, juga tidak sanggup mengirim anaknya untuk sekolah di dusun atau desa lain karena pendapatan mereka sehari-hari hanya cukup untuk makan.
Dusun Semokan Roak berada di dataran tinggi dan berjarak sekitar 16 kilometer di selatan Desa Sukadana. Jalan menuju dusun itu hanya 12 kilometer yang beraspal, selebihnya orang harus melalui jalan setapak, naik turun bukit, dan menyeberang sungai. Karena letak dusun yang terpencil, warga di dusun itu umumnya tidak bisa mengakses pendidikan. Hanya kepala dusun yang ”beruntung” pernah sekolah hingga lulus SD.
Akses transportasi dan komunikasi yang terbatas di dusun itu juga membuat warga, terutama anak-anak, jarang sekali berhubungan dengan dunia luar. Mereka seakan terkunci di dusun itu. Musmuliadi menceritakan, dulu kalau ada orang asing datang mengenakan celana panjang ke dusun itu, anak-anak takut dan menangis.
”Sekarang (setelah mereka sekolah), kalau ada tamu dari luar mengunjungi sekolah, mereka ikut nyambut meski hari libur (Minggu),” ujarnya. Sekolah yang dimaksud adalah SD Semokan Ruak yang dirintis Musmuliadi sejak 2012.
Jatuh bangun
Kisah berdirinya SD Semokan Ruak yang berinduk pada SDN 4 Sukadana bermula ketika Musmuliadi bekerja sebagai penjaga SD Sukadana. Saat itu, kepala sekolah menawarinya untuk menjadi guru honorer sekaligus merintis sekolah filial di Dusun Semokan Ruak.
Setelah enam bulan, ia menyanggupi tawaran itu karena ia merasa kasihan kepada anak-anak dusun tersebut yang tidak bisa sekolah. Selain itu, ia merasa memiliki ikatan batin karena lahir dan besar di Dusun Batu Rakit yang bertetangga dengan Dusun Semokan Ruak.
Musmuliadi mulai membuka sekolah filial itu pada Juli 2012 ketika SD regular memasuki semester II. Saat itu, jumlah siswanya 50 orang. Sebanyak 15 orang di antaranya telah berusia 13-14 tahun dan seharusnya sudah duduk di kelas II SMP. Mereka belajar di sekenem (balai-balai bertiang enam), berpakaian kaus oblong, dan mengenakan sarung tanpa alas kaki. Jam pelajaran ditetapkan pukul 07.00-09.00 Wita, tetapi sering molor karena siswa baru tiba pukul 09.00 WITA.
Ia mengajar dengan buku pelajaran Pemberantasan Buta Huruf Paket A. Di luar itu, ia mengajar siswanya pelajaran Agama, seperti tata tertib shalat, mengaji, dan membaca Al Quran. Tiap hari Sabtu, ia mengajak siswa berjalan kaki menyusuri kawasan hutan dan bukit untuk mendorong siswa peduli pada alam dan lingkungan sekitar mereka.
Tahun-tahun berikutnya ternyata tidak mudah untuk mendapatkan siswa. Musmuliadi bersama beberapa siswanya mesti mendatangi penduduk yang tinggal di pondok-pondok sederhana di kaki Gunung Rinjani agar dekat dengan ladang garapan mereka. Musmuliadi meminta kepada warga untuk mengizinkan anak-anak mereka sekolah.
Namun, tidak sedikit warga yang menolak permintaanya. Alasannya, mereka khawatir anak-anak diserang kawanan monyet saat menuju sekolah. Serangan semacam itu memang sering terjadi pada warga yang sedang berada di ladang. Selain itu, mereka khawatir pada sergapan kabut tebal yang kerap datang pada pagi hari. Jika kabut tebal datang, jalan setapak yang kiri atau kanannya berjurang kadang tidak terlihat jelas.
Musmuliadi tidak patah semangat dengan adanya penolakan. Setiap hari, ia tetap datang ke sekolah dengan sepeda motor menempuh jarak 4 kilometer. Pada 2 kilometer terakhir menuju sekolah, yang dilalui merupakan medan berbahaya berupa jalan setapak berkerikil yang naik turun bukit dengan jurang terjal. Jatuh bangun dari sepeda motor sudah biasa buat Musmuliadi.
Saya jatuh dari motor karena roda depan terpeleset setelah melindas batu di jurang. Untung ada orang lewat yang menolong saya.
”Makanya, begitu dengar suara mesin motor saya, anak-anak berdatangan, bantu dorong motor. Tadi siang pulang ngecek sekolah, saya jatuh dari motor karena roda depan terpeleset setelah melindas batu di jurang. Untung ada orang lewat yang menolong saya,” katanya.
Pada musim hujan lebat, jalan menuju dusun itu sangat licin dan becek. Musmuliadi kadang meliburkan sekolah jika hujan deras turun yang mengakibatkan air sungai meluap.
Perjuangan Musmuliadi akhirnya terbayar. Empat tahun setelah sekolah dirintis, jumlah siswa yang awalnya hanya puluhan bertambah jadi 100 orang. Kegiatan belajar di balai-balai pun dipindahkan ke rumah warga. Karena sekolah itu banyak diekspos surat kabar lokal, para donatur dan sukarelawan memberi berbagai bantuan, bahkan menyokong dana pembebasan tanah dan pembangunan gedung sekolah tahun 2016.
Tahun itu juga, siswa SD itu mengikuti ujian nasional karena mereka masuk Daftar Pokok Pendidikan (Dapodik). Akan tetapi, Musmuliadi harus menemui satu per satu siswa perempuan di rumahnya untuk menggelar ujian. Mereka tidak bisa datang ke sekolah karena sedang hamil tua. Malah, pada hari kedua, siswi-siswi yang menikah muda itu telah melahirkan. Persoalan pernikahan dini juga menjadi tantangan lain yang mesti dihadapi Musmuliadi dalam upayanya mengampanyekan pendidikan di dusun itu.
Kini, sekolah itu telah memiliki gedung sendiri di atas tanah seluas 6 are atau 600 meter persegi, lengkap dengan meja, kursi, dan papan tulis. Siswa-siswanya juga sudah mengenakan seragam. SD itu telah meluluskan banyak siswa yang sebagian melanjutkan ke SMP.
Saya tidak berpikir soal gaji untuk mengajar di sini. Cuma, saya punya obsesi anak Semokan Ruak harus bisa mengenyam pendidikan dan (jadi) manusia terdidik.
Musmuliadi sangat gembira atas perkembangan SDN Semokan Ruak yang ia rintis meski status kepegawaiannya masih tetap guru honorer dengan gaji Rp 250.000 per bulan, jauh di bawah upah minimum Lombok Utara tahun 2020 sebesar Rp 2.186.053 sebulan.
”Saya tidak berpikir soal gaji untuk mengajar di sini. Cuma, saya punya obsesi anak Semokan Ruak harus bisa mengenyam pendidikan dan (jadi) manusia terdidik,” ujar Musmuliadi yang pernah merantau ke Bali sebagai buruh bangunan selama tahun 2000-2010 ini.
Musmuliadi
Lahir: Lombok Utara, 31 Desember 1984
Istri: Mariati (32)
Anak: Anfal Wardhatul Zahira (6)
Pendidikan:
SDN 2 Sukadana, Lombok Utara (tamat 1977)
MTs Darul Husaini Nahdlatul Wathan, Desa Kelebuh Timur, Lombok Tengah (2000)
Paket C Desa Sukadana (2007)
Pendidikan Guru Sekolah Dasar STKIP Hamsar, Desa Bayan, Lombok Utara (2015)