Antisipasi Lonjakan Pengangguran
Jumlah pengangguran per Februari 2020 tercatat 6,88 juta orang, bertambah 60.000 orang dibandingkan dengan Februari 2019. Memasuki triwulan II-2020, angka pengangguran itu diperkirakan akan bertambah.
JAKARTA, KOMPAS — Angka pengangguran diprediksi akan melonjak pada triwulan II-2020 seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang anjlok pada tiga bulan pertama tahun ini. Kondisi ini harus diantisipasi pemerintah melalui kebijakan penanggulangan Covid-19 yang lebih terintegrasi antara aspek kesehatan, dunia usaha, dan ketenagakerjaan.
Beberapa kebijakan pemerintah untuk menanggulangi dampak Covid-19 di sektor ketenagakerjaan juga perlu dikaji ulang. Itu karena implementasi kebijakan-kebijakan tersebut selama dua bulan pertama pandemi ini belum efektif.
Laporan Badan Pusat Statistik yang dirilis pada Selasa (5/5/2020) menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2020 ini sebesar 2,97 persen. Pada tahun ini, pemerintah yang semula memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh pada kisaran 4,5 persen-4,6 persen merivisinya dalam dua skenario. Dalam skenario berat, ekonomi RI pada 2020 diperkirakan tumbuh 2,3 persen dan dalam skenario sangat berat bisa minus 0,4 persen.
BPS juga merilis, per Februari 2020, tingkat pengangguran terbuka (TPT) turun tipis menjadi 4,99 persen ketimbang 5,01 persen pada Februari 2019. Meski demikian, jumlah pengangguran per Februari 2020 tercatat 6,88 juta orang, bertambah 60.000 orang dibandingkan dengan Februari 2019. Ini karena ada penambahan penduduk usia bekerja.
Kepala BPS Suhariyanto menekankan, kondisi itu sebelum ditemukan kasus Covid-19 di Indonesia, awal Maret 2020. Memasuki triwulan II-2020, angka pengangguran diperkirakan akan bertambah. ”Kondisi di Februari memang masih stabil. Kondisi itu berbeda dengan April yang sudah terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK),” katanya.
Jumlah pengangguran per Februari 2020 tercatat 6,88 juta orang, bertambah 60.000 orang dibandingkan dengan Februari 2019. Memasuki triwulan II-2020, angka pengangguran diperkirakan akan bertambah.
Suhariyanto menambahkan, berdasarkan analisis mahadata ketenagakerjaan, BPS menemukan, terjadi penurunan jumlah iklan lowongan kerja yang mulai melambat pada Maret 2020 dan menurun drastis pada April 2020. Hal ini mengindikasikan dampak dari Covid-19 dan kondisi ekonomi saat ini terhadap penyerapan tenaga kerja.
Sementara Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, per 4 Mei 2020, jumlah pekerja yang di-PHK dan dirumahkan nyaris mencapai 3 juta orang. Ada 1,72 juta pekerja yang sudah terdata dengan baik, sementara data 1,2 juta orang pekerja sisanya masih divalidasi. Dari jumlah tersebut, pekerja yang di-PHK masih lebih sedikit dari yang dirumahkan tanpa upah, yakni sebanyak 375.165 orang.
Direktur Eksekutif Center for Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, kondisi pertumbuhan ekonomi saat ini mengarah pada skenario berat. Dengan pertumbuhan ekonomi 2,97 persen pada triwulan I, jumlah penganggur pada April-Juni bisa bertambah 6 juta orang sampai 9 juta orang.
Dengan pertumbuhan ekonomi 2,97 persen pada triwulan I, jumlah penganggur pada April-Juni bisa bertambah 6 juta orang sampai 9 juta orang.
Baca juga: Dampak Pandemi, Ekonomi Indonesia Hanya Tumbuh 2,97 Persen
Pemerintah harus segera mengantisipasi potensi lonjakan pengangguran dengan regulasi yang lebih tepat dan implementasi kebijakan di lapangan yang lebih cepat. Berbagai kebijakan yang sudah dikeluarkan pemerintah untuk membantu pelaku usaha dan pekerja saat ini belum signifikan.
”Dari segi kebijakan memang sudah banyak, tetapi terhitung lambat, baik untuk payung hukumnya maupun implementasinya. Kebijakan stimulus pertama saja masih banyak yang belum merasakan, apalagi untuk stimulus gelombang berikutnya,” katanya.
Menurut Faisal, penambahan anggaran untuk kebijakan penanggulangan Covid-19 pun perlu ditingkatkan. Saat ini, pemerintah sudah mengeluarkan Rp 405 triliun untuk menangani Covid-19. ”Dengan melihat kondisi saat ini dan pertumbuhan ekonomi kita yang ternyata jauh di bawah prediksi, anggaran Rp 405 triliun itu masih sangat kurang untuk mengantisipasi kondisi ke depan,” katanya.
CORE Indonesia memproyeksikan, dengan pertumbuhan ekonomi di angka 2,97 persen, potensi jumlah penganggur pada triwulan II-2020 bisa bertambah antara 6,68 juta orang dan 9,35 juta orang.
Sementara mengacu pada riset The SMERU Research Institute, dengan pertumbuhan ekonomi saat ini yang mendekati skenario moderat (pertumbuhan ekonomi 3 persen), angka kemiskinan bisa bertambah 3,89 juta orang. Dengan skenario moderat itu, akan ada 28,69 juta orang miskin tercatat pada akhir 2020.
Kebijakan belum efektif
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengemukakan, pertumbuhan ekonomi 2,97 persen merupakan sinyal yang harus diantisipasi pemerintah. Dengan kondisi seperti sekarang ini, pertumbuhan ekonomi pada triwulan II diprediksi akan semakin anjlok. Saat ini, daya beli pekerja menurun banyak karena banyak yang di-PHK dan dirumahkan.
”Sementara pertumbuhan ekonomi kita masih banyak bergantung pada konsumsi rumah tangga masyarakat, yang notabene juga pekerja,” ujarnya.
Baca juga: Pola Inflasi Berubah, Daya Beli Masyarakat Melemah
Menurut Timboel, pemerintah harus lebih fokus pada program-program padat karya tunai di daerah untuk merekrut para pekerja yang terdampak Covid-19. Saat ini, beberapa kebijakan untuk memitigasi angka pengangguran cenderung tidak maksimal dan tidak tepat sasaran. Program Kartu Prakerja, misalnya, harus segera dievaluasi agar anggaran negara bisa diarahkan untuk kebutuhan yang lebih mendesak.
Bantuan sosial harus terus dilanjutkan pada masa pandemi ini supaya daya beli masyarakat terjaga sehingga produk barang dan jasa yang diproduksi bisa dikonsumsi. ”Keberhasilan pengendalian kondisi ekonomi dan pengangguran juga sangat tergantung dari strategi kebijakan pemerintah untuk menekan angka Covid-19,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani berpendapat, pemerintah perlu mengantisipasi kondisi saat ini dengan kebijakan yang lebih terintegrasi. Kebijakan yang dimaksud tidak hanya terkait stimulus dan insentif bagi dunia usaha dan kelompok pekerja dan buruh, tetapi juga kebijakan di aspek kesehatan untuk menekan angka kasus Covid-19.
”Kita harus menyadari, Covid-19 ini akan lama. Selama situasi masih seperti ini, tren pasti akan turun terus. Aktivitas ekonomi akan melambat, bahkan mungkin akan minus ke depan. Yang harus dilakukan adalah memastikan dulu aspek keselamatan dan kesehatan sembari menjaga aktivitas ekonomi agar tidak benar-benar berhenti,” katanya.
Menurut Hariyadi, beberapa stimulus yang diberikan untuk kalangan dunia usaha belum terasa sampai sekarang. Keringanan Pajak Penghasilan untuk badan usaha (PPh 25), misalnya, tidak signifikan karena kondisi arus kas perusahaan saat ini mayoritas sudah meradang. Dengan kondisi seperti itu, PHK pun tetap terjadi di mana-mana.
Hariyadi juga menyoroti kebijakan penghapusan PPh 21 yang tidak terlalu dirasakan pekerja. ”Saat ini pekerja sudah tidak digaji penuh, ada juga yang sudah tidak digaji. Maka, penghapusan Pajak Penghasilan juga tidak terlalu terasa. Kebijakan itu sudah tidak terlalu efektif,” ujarnya.
Padat karya tunai
Sementara Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terus mempercepat program Padat Karya Tunai (PKT). Program ini dinilai dapat berdampak ganda pada ekonomi desa, mulai dari mengurangi pengangguran, menyokong daya beli masyarakat, hingga meningkatkan infrastruktur pertanian.
Anggaran program PKT pada 2020 sebesar Rp 11,2 triliun. Program ini difokuskan untuk membangun infrastruktur pendukung produktivitas masyarakat perdesaan. Program-program itu antara lain peningkatan irigasi kecil, perbaikan jalan lingkungan, penyediaan rumah subsidi, dan penanganan kawasan kumuh. Selain itu, ada juga peningkatan kualitas air minum dan sanitasi.
Baca juga: Padat Karya Tunai Bisa Berdampak Ganda bagi Ekonomi Desa
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan, program Padat Karya Tunai dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat setempat melalui pembangunan infrastruktur. Proyek infrastruktur ini khususnya yang berskala kecil dan berupa pekerjaan sederhana yang tidak membutuhkan teknologi.
”Program itu bertujuan mempertahankan daya beli masyarakat di perdesaan. Caranya, dengan mendistribusikan uang pembangunan ke desa-desa,” katanya.