Syarat Bepergian Pakai Tes Cepat Dinilai Tidak Tepat
Hasil negatif dari tes Covid-19, baik melalui metode ”rapid test” maupun PCR, menjadi salah satu syarat untuk dikecualikan dari pembatasan perjalanan. Namun, ”rapid test” dinilai tak tepat sebagai syarat untuk bepergian.
Oleh
Satrio Pangarso Wisanggeni
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil rapid test atau tes cepat sebagai salah satu syarat untuk dikecualikan dari pembatasan perjalanan dinilai tidak memadai untuk digunakan sebagai penentu keberadaan infeksi Covid-19 pada setiap individu. Oleh karena itu, penggunaan rapid test dapat membuka celah terjadinya transmisi Covid-19 dari satu daerah ke daerah lain.
Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang yang diterbitkan oleh Gugus Tugas Pecepatan Penanganan Covid-19 menyatakan bahwa hasil negatif dari tes Covid-19 menjadi salah satu syarat untuk dikecualikan dari pembatasan perjalanan yang selama ini berlaku.
Dalam bagian huruf C nomor 2 surat edaran yang diterbitkan Rabu tersebut, dinyatakan bahwa orang dapat dikecualikan dari pembatasan ini asalkan dapat menunjukkan hasil negatif Covid-19; baik dari hasil tes polymerase chain reaction (PCR), rapid test, ataupun surat keterangan sehat dari fasilitas pelayanan kesehatan.
Antibodi baru akan timbul setelah infeksi berjalan sekitar 8 hari. Jadi ada celah di sini. Orang yang belum delapan hari infeksi bisa saja dianggap negatif.
Tes PCR memang menjadi standar deteksi infeksi Covid-19 di dunia karena akurasinya yang tinggi. Metode ini pada prinsipnya mendeteksi keberadaan virus pada sampel yang diambil dari rongga hidung ataupun mulut manusia.
Namun, di sisi lain, rapid test tidak memiliki akurasi yang setara. Kepala Departemen Epidemiologi Universitas Indonesia Tri Yunis Miko, Kamis (7/5/2020), berpendapat bahwa ada peluang yang signifikan orang yang terinfeksi Covid-19 tidak akan terdeteksi melalui rapid test.
Hal ini karena sampel yang digunakan rapid test adalah antibodi dalam darah. Apabila orang terinfeksi virus penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, maka dalam beberapa hari tubuhnya akan membangun antibodi yang spesifik merespons virus tersebut. Antibodi khusus inilah yang menjadi dasar rapid test.
Oleh karena itu, menurut Tri, yang menjadi persoalan adalah jeda waktu antara infeksi dan pembentukan antibodi. Antibodi baru akan terbentuk sekitar delapan hari setelah infeksi. Hal ini memungkinkan orang yang sudah terinfeksi tetapi antibodinya belum terbentuk bisa lolos dari rapid test.
”Antibodi baru akan timbul setelah infeksi berjalan sekitar 8 hari. Jadi ada celah di sini. Orang yang belum delapan hari infeksi bisa saja dianggap negatif,” kata Tri.
Pakar biologi molekuler Adelaide University, Fatwa Adikusuma, mengatakan, tidak seharusnya hasil rapid test digunakan sebagai standar diagnosis.
Fatwa mengatakan, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) menggunakan rapid test untuk mengetahui siapa yang sudah memiliki antibodi dan siapa yang bisa menjadi donor untuk terapi plasma darah.
”Saya khawatir dampak negatif rapid test ini besar. Pertama, rapid test massal bisa membuat orang berkerumun. Kedua, warga yang negatif rapid test dikira tidak terinfeksi Covid-19. Ketiga, yang false positives malah diisolasi bersama yang benar-benar positif,” kata Fatwa.
Tidak bisa ditawar
Tri juga mengingatkan bahwa pemerintah harus bisa memastikan setiap orang yang tiba untuk segera diisolasi selama 14 hari—selama durasi masa inkubasi virus tersebut, khususnya bagi mereka yang akan menghabiskan waktu lebih dari sehari di wilayah tersebut.
”Kalau tidak bepergian secara bolak-balik, maka harus dikarantina dua minggu. Tidak bisa ditawar ini. Harusnya tidak ada tawar-menawar kalau Covid-19,” kata Tri.
Menunjukkan hasil tes bebas Covid-19 menjadi salah satu syarat untuk dikecualikan dari pembatasan perjalanan. Persyaratan lain adalah menunjukkan surat tugas dari instansi tempat bekerja atau kelurahan; menunjukkan identitas diri, dan melaporkan rencana durasi dan jadwa perjalanan.
Dalam surat edaran yang dikeluarkan Gugus Tugas, juga disebutkan bahwa pengendalian dan pengawasan serta penegakan hukum dari kebijakan ini diwujudkan salah satunya dengan membentuk pos penjagaan dan pemeriksaan.
Pos ini akan dibangun di setiap akses keluar masuk batas negara, batas wilayah administratif, jalan tol, jalan nasional, terminal, stasiun, pelabulan laut, dan bandar udara yang dilengkapi dengan fasilitas pelayanan kesehatan.
Meski ada pengecualian ini, juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, menegaskan pada dasarnya tidak ada perubahan kebijakan pelarangan mudik Idul Fitri dan pembatasan bagi orang untuk keluar dari wilayah PSBB.
Pembatasan sosial masih mutlak diperlukan karena kasus positif harian di Indonesia masih terus meningkat. Pada Kamis, ada 338 kasus baru dengan total kasus 12.776 kasus.
Hingga Kamis ini, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan masih menyusun surat edaran yang akan menjadi petunjuk teknis penerapan pengawasan ini di lapangan.
Paspor kekebalan
Penggunaan hasil tes antibodi sebagai syarat pengecualian dari kebijakan pembatasan sosial ini secara garis besar mirip dengan kebijakan paspor kekebalan yang sedang dipertimbangkan oleh sejumlah negara meski ditentang Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Pada prinsipnya, kebijakan paspor imunitas ini memegang asumsi bahwa setiap orang yang memiliki antibodi dianggap sudah kebal terhadap Covid-19 sehingga diperbolehkan untuk beraktivitas di publik secara normal.
WHO menentang rencana kebijakan ini karena keberadaan antibodi belum tentu mengindikasikan kekebalan yang memadai untuk mencegah reinfeksi terhadap individu tersebut. Bahkan dikhawatirkan, pemberian sertifikat ini dapat terus memicu penyebaran virus.
Hal ini disampaikan melalui keterangan resmi pada 24 April lalu. ”Warga yang berasumsi mereka telah imun karena telah memiliki antibodi akan cenderung mengabaikan nasihat untuk tetap melakukan pembatasan fisik. Dengan demikian, penerapan sertifikat semacam ini meningkatkan risiko berlanjutnya penularan,” tulis WHO (Kompas, 29/4/2020).