Kartu Prakerja Saat ”Survival” Buruh
Program Kartu Prakerja yang diputuskan pemerintah timbulkan sejumlah pertanyaan tak terjawab. Di saat krisis Covid-19, program senilai Rp 20 triliun itu seolah menafikan kebutuhan riil mereka yang terkena gelombang PHK.
Program pelatihan kerja untuk meningkatkan kompetensi agar mampu menangkap peluang usaha seraya menunggu Covid-19 berakhir banyak dikritisi. Lebih baik memberi bantuan nyata saat gelombang PHK terjadi.
Program Kartu Prakerja yang diputuskan pemerintah menimbulkan sejumlah pertanyaan yang tak terjawab hingga kini. Di tengah krisis Covid-19, program senilai Rp 20 triliun yang dipaksakan jalan terus itu tak saja kian mempertajam pertanyaan yang ada, tetapi juga seolah menafikan kebutuhan riil jutaan buruh yang kehilangan pekerjaan sehingga perlu bantuan tunai untuk sekadar menyambung hidup.
Tujuan dari program ini adalah memberikan pelatihan kerja dari pemerintah kepada angkatan kerja dalam meningkatkan kompetensi agar mampu menangkap peluang usaha di masa depan seraya menunggu Covid-19 berakhir. Program ini juga merupakan aktualisasi janji kampanye Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada kampanye 2019.
Pada tahun perdana ini, pemerintah menganggarkan Rp 20 triliun dengan sasaran 5,6 juta orang. Wujudnya berupa pelatihan gratis dan pemberian insentif kepada peserta pelatihan. Meski menyangkut tenaga kerja, penyelenggaraan program tidak di bawah Kementerian Ketenagakerjaan, tetapi Kementerian Koordinator Perekonomian.
Baca juga : Mereka yang Tak Lagi Bekerja Lirik Program Kartu Prakerja
Syarat peserta adalah warga negara Indonesia berusia di atas 18 tahun dan tak sedang mengikuti pendidikan formal. Setiap calon peserta terlebih dahulu harus mendaftar secara daring untuk kemudian diseleksi penyelenggara.
Pada tahun perdana ini, pemerintah menganggarkan Rp 20 triliun dengan sasaran 5,6 juta orang. Wujudnya berupa pelatihan gratis dan pemberian insentif kepada peserta pelatihan. Meski menyangkut tenaga kerja, penyelenggaraan program tidak di bawah Kementerian Ketenagakerjaan, tetapi Kementerian Koordinator Perekonomian.
Pendaftaran perdana dibuka mulai 11 April. Mengutip siaran pers Kemenko Perekonomian, setiap minggu sampai minggu ke-4 November 2020 akan dibuka kuota untuk sekitar 164.000 peserta. ”Sampai akhir 2020 direncanakan akan ada lebih dari 30 gelombang pendaftaran,” kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Sabtu (11/4/2020), di Jakarta.
Setiap penerima Kartu Prakerja akan mendapatkan paket manfaat senilai Rp 3,55 juta. Ini terdiri dari bantuan biaya pelatihan senilai Rp 1 juta guna membeli konten pelatihan di platform digital mitra pemerintah dan insentif yang akan ditransfer ke rekening bank atau e-wallet. Insentif ini terdiri atas dua bagian, yakni insentif setelah penuntasan pelatihan pertama senilai Rp 600.000 per bulan selama empat bulan dan insentif setelah pengisian survei evaluasi Rp 50.000 per survei untuk tiga kali survei.
Dalam survei Litbang Kompas per 22-24 April, masyarakat skeptis terhadap efektivitas program Kartu Prakerja dalam membantu peserta mendapatkan pekerjaan. Sebanyak 43,8 persen responden tak yakin karena lapangan pekerjaan tetap sempit, 34,8 persen responden tak yakin karena program rentan disalahgunakan, 16,7 persen responden yakin, dan 4,7 persen responden lainnya tidak tahu.
Ekonom senior Faisal Basri dalam Satu Meja the Forum yang disiarkan Kompas TV dengan tema ”Ada Apa dengan Kartu Prakerja” dan dipandu wartawan senior harian Kompas, Budiman Tanuredjo, Rabu (6/5/2020), menyatakan, desain kebijakan program Kartu Prakerja buruk. Akibatnya, muncul persoalan di berbagai aspek, misalnya target.
Narasumber lain yang tersambung dalam diskusi virtual itu—selain anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PAN, Saleh Daulay; Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Rosan Roeslani, dan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian—adalah CEO Gresnews.com yang juga peserta Kartu Prakerja, Agustinus Edy Kristianto.
Menurut Faisal, target program Kartu Prakerja tidak jelas. Jika targetnya adalah orang yang tidak bekerja saja, itu mencakup jutaan orang dengan karakteristik berbeda-beda. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini meliputi 6,9 juta penganggur, 3 juta buruh korban pemutusan hubungan kerja (PHK), ratusan ribu tenaga kerja Indonesia yang berduyun-duyun pulang ke Tanah Air selama krisis Covid-19, dan jutaan orang yang baru tamat sekolah lalu masuk pasar kerja.
Ini belum termasuk mereka yang bekerja dan ingin meningkatkan kapasitas. Kategori ini dalam ketentuan program Kartu Prakerja juga diakomodasi. ”Dari ini semua, sasarannya yang mana,” ucap Faisal.
Soal nihilnya mekanisme lelang penetapan mitra penyedia konten pelatihan, Faisal menyatakan, itu adalah bagian dari desain kebijakan yang buruk tersebut. Demikian pula dengan penempatan program di bawah Kemenko Perekonomian dan bukan Kementerian Ketenagakerjaan.
”Seharusnya tak ada gelombang 3, 4, dan seterusnya karena jelas tidak tepat sasaran. Desainnya buruk. Dan, yang dibutuhkan sekarang oleh korban PHK, orang yang menganggur, adalah bayar sewa rumah atau kos, bayar cicilan utang karena hampir semua utang karena gajinya tidak cukup, beli kebutuhan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Itu yang harus diselamatkan dulu. Oleh karena itu, 100 persen (sebaiknya) untuk bantuan sosial, bukan untuk kursus-kursus yang enggak karuan itu,” paparnya.
Tanggung jawab untuk mengoreksi program, menurut dia, berada di Presiden Jokowi. Alasannya, program bersifat lintas kementerian.
Saleh berpendapat, pelaksanaan Kartu Prakerja di tengah situasi Covid-19 tidak tepat. Sebab, kebutuhan utama masyarakat bawah pada saat ini adalah bertahan hidup. Lagi pula, target program itu juga tak jelas.
Ia juga tidak melihat adanya keterhubungan antara program dan kebutuhan dunia usaha. ”Apa dunia usaha membutuhkan pelatihan seperti yang mereka ajarkan. Jangan sampai sebelum ikut pelatihan menganggur, setelah pelatihan menganggur. Yang diuntungkan dari program ini bukan mereka yang ikut pelatihan, melainkan justru pelaksananya,” tutur Saleh.
Oleh sebab itu, ia meminta pemerintah menghentikan program Kartu Prakerja. Selanjutnya, dana yang tersisa direalokasikan dalam program bantuan sosia langsung tunai kepada masyarakat yang membutuhkan.
Adapun Rosan menyatakan, alih-alih terjadi penciptaan lapangan kerja, tahun ini justru banyak perusahaan melakukan PHK atau merumahkan pekerjanya. Persoalannya, pekerja yang kehilangan pekerjaan itu tidak terjaring dalam program jaring pengaman sosial pemerintah mana pun. ”Jadi, menurut saya, fokuskan saja di bansos. Tahun depan, saat keadaan ekonomi membaik, ini baru bisa diterapkan,” kata Rosan.
Edy juga menyampaikan hal senada. Ia berpendapat, program Kartu Prakerja adalah kebijakan yang buruk sejak dari hulu. Ia menduga terdapat transaksi menggunakan uang negara yang menguntungkan segelintir pihak dalam program itu. ”Bisa dikatakan ini adalah bisnis di balik Kartu Prakerja karena ada transaksi. Transaksi kali ini mungkin banyak dan sering,” kata Edy.
Oleh karena itu, ia merekomendasikan agar Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja melalui Program Kartu Prakerja segera dicabut dan direvisi. Sementara semua kegiatan jual beli konten video pelatihan dihentikan terlebih dahulu.
Soal kenapa tidak tender, biar dijawab direktur eksekutif manajemen pelaksana program (Denny Purbasari). Namun, sejak awal, LKPP dan BPKP dilibatkan dan tak ada yang dipersoalkan.
”Prioritaskan pemberian bansos atau jaring pengaman sosial untuk pekerja. Kalau mau dilakukan pelatihan, formatnya tidak dengan seperti ini, online ataupun offline. Lakukan tanpa ada jual beli memakai uang negara dengan memanfaatkan tangan orang yang lagi susah,” kata Edy.
Baca juga : Efektifkah Kartu Prakerja di Tengah Pandemi Covid-19?
Donny menyatakan, pemerintah menerima semua masukan soal program Kartu Prakerja. Selanjutnya, evaluasi untuk perbaikan akan terus dilakukan. Meski demikian, ia menekankan bahwa proses program Kartu Prakerja dijalankan dalam prinsip tata kelola yang baik. Dalam hal pengadaan, termasuk eksekusi, misalnya, pemerintah melibatkan Lembaga Kebijakan Pengadaan Badang/Jasa Pemerintah (LKPP) serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Bahkan, dalam proses eksekusinya, dua lembaga itu diminta terus memonitor.
”Soal kenapa tidak tender, biar dijawab direktur eksekutif manajemen pelaksana program (Denny Purbasari). Namun, sejak awal, LKPP dan BPKP dilibatkan dan tak ada yang dipersoalkan,” kata Donny.
Terkait adanya laporan masyarakat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi soal dugaan korupsi dalam program Kartu Prakerja, ia mengatakan, pelaporan warga kepada aparat hukum merupakan hal yang biasa. ”Kami sangat terbuka apabila memang ada sesuatu yang dirasakan tidak pada tempatnya, ya, silakan saja. Namun, pemerintah yakin bahwa sampai saat ini semua berjalan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Tidak ada sesuatu yang dianggap sebagai sebuah pelanggaran,” kata Donny.