Kebijakan pemerintah melonggarkan pembatasan sosial beberapa hari terakhir mesti diwaspadai. Sejumlah pihak menilai keberhasilan intervensi penanganan Covid-19 di Indonesia belum memiliki ukuran yang jelas.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS- Akhir pandemi Covid-19 di Indonesia sulit ditentukan karena tidak adanya data ilmiah dan pengukuran kurva epidemi. Tanpa data-data itu, keberhasilan intervensi menjadi sulit diukur sehingga kebijakan untuk pelonggaran pembatasan sosial, justru akan kembali memicu ledakan kasus.
"Ketika pemerintah mengklaim intervensi untuk menurunkan kasus penularan Covid-19 sudah efektif, ini harus didukung dengan studi ilmiah. Bisa kerjasama dengan universitas," kata epidemiolog dari Grifftih University, Dicky Budiman dalam webinar yang diselenggarakan Universitas Airlangga, Surabaya, Sabtu (9/5/2020).
Seperti diketahui, pemerintah saat ini mulai mengoperasikan penerbangan, mengizinkan kembali operasional sejumlah perusahaan di Jakarta guna memulihkan ekonomi, hingga membuka kembali sekolah, menyusul klaim mengenai penurunan laju penularan. Namun demikian, menurut Dicky, keberhasilan intervensi di Indonesia masih dipertanyakan karena tidak ada ukuran yang jelas.
"Kalau dinyatakan intervensi PSBB (pembatasan sosial berskala besar) sudah berhasil, Ro (angka reproduksi kasus) kita sekarang berapa? Juga berapa doubling time (waktu penggandaan). Sampai sekarang data ini tidak ada," kata dia.
Menurut Dicky, intervensi dianggap berhasil jika nilai Ro semakin menurun hingga mendekati nol, yang artinya tidak lagi terjadi penularan. Perubahan nilai Ro ini harus diukur sebelum dan sesudah intervensi.
"Misalnya, di sejumlah negara bagian di Australia setelah dilakukan intervensi, nilai Ro yang semula di atas 2 menjadi 1,8. Dengan penurunan ini, mereka sekarang mulai bersiap melonggarkan lockdown. Jadi, ada ukurannya," kata dia.
Jika pelonggaran intervensi hanya berdasar klaim, hal itu bisa menyebabkan blunder (Dicky Budiman)
Dicky menambahkan, jika pelonggaran intervensi hanya berdasar klaim, hal itu bisa menyebabkan blunder. "Kita tahu Covid-19 ini penyakit baru yang bisa memicu masalah kesehatan yang serius," kata dia.
Menurut Dicky, keterbatasan data di Indonesia membuat skenario untuk memodelkan pengakhiran pandemi menjadi tidak mudah. Apalagi, pengakhiran wabah juga tidak bisa dilepaskan dengan dinamika kesehatan global.
"Jika secara global belum selesai, kita juga belum akan berakhir. Demikian sebaliknya. Kita harus mengantisipasi bakal terjadi beberapa puncak dan ini bisa terjadi sampai 2021 dan paling lama 2023. Walaupun vaksin ditemukan tahun 2021, namun implementasinya butuh waktu," kata dia.
Kesulitan untuk memodelkan kapan pandemi di Indonesia akan berakhir juga dikemukakan ahli biostatistik dan kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Hari Basuki Notobroto, dalam diskusi. "Saat ini kita masih di awal kasus dan datanya masih terus berubah. Selisih dua hari saja bisa bergeser puncaknya dan juga kapan menurunnya. Sejumlah pemodelan yang dibuat sejumlah lembaga juga terus direvisi," kata dia.
Menurut Hari, pemodelan di Indonesia juga menghadapi keterbatasan dan keterlambatan data kasus yang diumumkan. "Model prediksi lokal dan jangka pendek akan lebih akurat," kata dia.
Dari pemodelan dengan pendekatan probabilistik yang dibuatnya, Mei akan jadi puncak penularan di Jakarta dan sekitarnya dan diperkirakan mulai mereda pada akhir Juli atau awal Agustus 2020. Sedangkan untuk Jawa Timur, kasusnya akan memuncak pada Juni dan reda pada September.
"Kalau pakai model probabilistik, tidak akan pernah mencapai titik nol. Lebih tepat kapan mereda," kata dia.
Kurva Epidemi
Ahli biostatistik Eijkman Oxford Clinial Research Unit Iqbal Elyazar mengatakan, pemerintah Indonesia seharusnya membuat kurva epidemi, yang biasa digunakan unuk menjelaskan perjalanan pandemi, menentukan sumber dan kapan terjadinya penularan, menentukan puncak pandemi, memperkirakan akhir pandemi, serta mengevaluasi efektivitas tindakan pengendalian.
Secara sederhana menurut Iqbal, kurva epidemi akan menggambarkan jumlah kasus baru dari waktu ke waktu. Patokan waktu itu misalnya, tanggal orang terinfeksi, tanggal orang mulai bergejala, dan tanggal orang diperiksa.
Jika laju infeksi harian senilai 0,5, itu artinya ada pertambahan kasus baru sebanyak 50 persen setiap hari. Semakin besar laju infeksi harian, maka semakin banyak pula kasus baru yang ditemukan dalam sehari dibandingkan waktu sebelumnya. Semakin banyak kasus baru bertambah setiap hari, semakin terjal lereng kurva epidemi.
Masalahnya, menurut Iqbal, selama ini belum ada kurva epidemi Covid-19 yang ditunjukkan pemerintah, yang sesuai dengan standar ilmu epidemiologi. Oleh karena itu, klaim penurunan kasus baru bisa diragukan. Masalah yang lain, jumlah pemeriksaan di Indonesia masih sangat kecil.
"Namun, data yang sudah ada sebaiknya dipakai membuat kurva epidemi untuk setiap provinsi dan kabupaten/kota. Kurva yang dibuat ini harus bisa dibuktikan secara ilmiah, bukan asumsi saja, sehingga ini bisa jadi dasar menilai situasi," kata dia.
Agar para saintis bisa membantu pemerintah menganalisis kondisi yang sesungguhnya, menurut Iqbal, pemerintah perlu secara terbuka dan transparan membuka data yang ada, termasuk data jumlah pemeriksaan PCR dan lamanya waktu pemeriksaan di setiap provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini juga untuk menaikkan kepercayaan publik terhadap kurva epidemi yang akan dikeluarkan pemerintah.