Program penanganan Covid-19, termasuk program Pemulihan Ekonomi Nasional, berbiaya besar. Pengawasan ketat agar tidak disalahgunakan dan mitigasi risiko diperlukan.
Oleh
fx laksana agung saputra/karina isna irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pemeriksa Keuangan tengah menyusun kajian mitigasi risiko pengelolaan keuangan program penanggulangan Covid-19 yang digulirkan pemerintah. Hal ini dilakukan mengingat masifnya anggaran yang dialokasikan untuk mengatasi krisis Covid-19, yakni Rp 803,59 triliun.
Agenda penyusunan kajian mitigasi risiko penanggulangan Covid-19 itu disampaikan pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Kamis (14/05/2020). Dalam kesempatan itu, Presiden didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
Ketua BPK RI Agung Firman Sapurna mengatakan, pada prinsipnya BPK mendukung upaya pemerintah menghadapi pandemi Covid-19 dan upaya mitigasi risiko pascapandemi Covid-19. BPK juga akan menyampaikan hasil kajian pengelolaan keuangan negara dalam menghadapi Covid-19 tentang risiko dan bagaimana upaya memitigasi risiko itu, serta mitigasi risiko pasca-Covid-19.
Kajian yang dilakukan itu berisi tentang risiko-risiko yang potensial dihadapi para pengelola keuangan negara dalam menjalankan program penanggulangan Covid-19 berikut mitigasi risikonya.
”Hal ini mencakup program penanggulangan masalah kesehatan akibat Covid-19 sekaligus program untuk mengatasi dampak sosial-ekonomi,” katanya.
BPK juga akan menyampaikan hasil kajian pengelolaan keuangan negara dalam menghadapi Covid-19 tentang risiko dan bagaimana upaya memitigasi risiko itu, serta mitigasi risiko pasca Covid-19.
Pemerintah telah memfokuskan anggaran untuk penanggulangan Covid-19 baik di sektor kesehatan maupun sosial-ekonomi. Misalnya, program jaring pengaman sosial untuk masyarakat miskin dan rentan miskin di kota dan desa yang dianggarkan senilai total Rp 482,5 triliun. Jumlah ini terdiri dari Rp 372,5 triliun yang telah dialokasikan dalam APBN 2020 dan Rp 110 triliun anggaran hasil realokasi program lain.
Pemerintah juga merencanakan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan anggaran Rp 318,09 triliun. Dari dana itu, sekitar Rp 152,1 triliun akan disuntikkan ke badan usaha milik negara (BUMN) melalui penyertaan modal negara, dana talangan untuk modal kerja, serta percepatan pembayaran kompensasi dan penugasan.
Anggaran program PEN untuk BUMN itu jauh lebih tinggi dari alokasi tambahan sektor kesehatan dan jaring pengaman sosial yang tambahannya pada 2020 masing-masing sebesar Rp 75 triliun dan Rp 110 triliun.
Dana lainnya antara lain untuk penempatan dana pemerintah di bank guna restrukturisasi utang senilai Rp 35 triliun dan insentif perpajakan untuk dunia usaha senilai Rp 63 triliun. Sementara subsidi bunga untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) senilai Rp 34,1 triliun.
Langkah-langkah penggalangan dana, suntikan dana kepada BUMN, dan penempatan dana pada bank itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program PEN dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Mengadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional.
BUMN disorot
Suntikan dana negara ke BUMN mesti berhati-hati. Hal itu perlu dibaregi pengawasan dan persyaratan yang ketat untuk menjamin dampak positifnya bagi perekonomian.
Peneliti Bidang Industri, Perdagangan, dan Investasi, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, saat ini ruang fiskal pemerintah sangat terbatas sehingga suntikan dana ke BUMN mesti efektif dan efisien. Suntikan dana perlu dibarengi perbaikan tata kelola internal BUMN.
”Suntikan dan program PEN untuk BUMN tidak akan menimbulkan efek berganda bagi perekonomian jika hanya digunakan untuk menutup utang,” ujarnya yang dihubungi di Jakarta, Kamis.
Suntikan dan program PEN untuk BUMN tidak akan menimbulkan efek berganda bagi perekonomian jika hanya digunakan untuk menutup utang.
Menurut Andry, saat ini tren BUMN mayoritas memiliki aset besar dan tinggi, tetapi profitabilitas rendah. Untuk itu, suntikan dana dari pemerintah harus dengan syarat perbaikan manajerial perusahaan. Pemerintah dapat menyusun kebijakan agar suntikan dana dikembalikan dalam jangka waktu tertentu.
BUMN yang tidak dapat mengembalikan suntikan dana dan memperbaiki internal perusahaan perlu dikenai sanksi. Beberapa BUMN juga sudah menghadapi masalah keuangan sebelum Covid-19 muncul.
”Pasca-Covid-19 perlu dilihat juga mana BUMN yang asetnya tinggi, tapi profitabilitasnya rendah, karena ini sama seperti menyimpan bom waktu,” kata Andry.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengemukakan, program PEN mesti dilakukan bersamaan dengan penanganan dampak Covid-19 di bidang kesehatan dan sosial. Jika tidak, pandemi akan semakin dalam memukul perekonomian dalam negeri yang berujung krisis.
Terkait pemulihan ekonomi dunia usaha, suntikan dana dari pemerintah tidak diberikan untuk semua BUMN. BUMN yang akan mendapat prioritas adalah yang terdampak Covid-19 di delapan sektor, yaitu infrastruktur, pangan, transportasi, sumber daya alam, keuangan, manufaktur, energi, dan pariwisata.
”Sejauh ini ada 12 perusahaan BUMN yang digadang-gadang mendapat suntikan dana dari pemerintah,” kata Febrio.
Sebelumnya, dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR RI, Menteri BUMN Erick Tohir menyampaikan, beberapa BUMN sangat membutuhkan suntikan dana dari pemerintah dalam bentuk PMN. Kondisi keuangan perusahan terganggu akibat pandemi Covid-19 sehingga kesulitan membayar utang jatuh tempo dan biaya operasional.
”Kendati begitu, BUMN tetap didorong melakukan pembiayaan kreatif, antara lain melalui penerbitan surat utang. Sejauh ini setidaknya empat perusahaan BUMN sudah dan akan merilis surat utang global senilai total Rp 83 triliun,” kata Erick.