Roh Cinta Ibu
Sekali lagi, ini Indonesia, sudah berapa puluh nama buah dari jerih payah petani Indonesia yang diperkosa namanya menjadi sebutan nama buah negara lain, belum dari sisi kedudayaan dan kesenian yang diplagiat.
Pertunjukan tunggal setiap pagi yang dilakonkan perempuan itu sanggup mengusir pementasan burung-burung yang lincah dan merdu. Perempuan itu selalu mendekap selembar kain batik mahakaryanya, ia membiarkan rambut ikal hitam sebahu miliknya berserakkan, sesekali parade angin menyibak-nyibak beberapa helai hitam panjang menutupi wajahnya. Selintas sepertinya perempuan itu menikmati pemandangan hamparan sawah dan rerimbunan yang merdeka. Namun, sorot mata itu kosong. Beberapa menit kemudian kerut di dahi mulai menebal kerut, seluruh mukanya memerah, perlahan tampak berat bibirnya bergetar lalu memuntahkan pemberontakan di batinnya.
”Mereka buta! Mereka bodoh! Tolol! Toloool ...!”
Sebentar kemudian jerit tangisnya memekik gendang jiwa.
Begitu dan selalu begitu saban pagi hingga langit mulai redup, perempuan itu hanya duduk di dipan jati depan rumah, tangannya tak mau lepas dengan kain batik kecintaannya. Meski perempuan itu bertingkah laku seperti demikian, aku selalu menaruh hormat dan tulus mencintanya, karena perempuan itu adalah Ibu kandungku.
Sebelum semuanya terjadi, Ibuku adalah perempuan yang cantik dan sumeh. Ia juga luwes serta mahir dalam urusan batik-membatik. Sunguh tak diragukan lagi, cinta ibu kepada batik dan Indonesia pun mengalahkan cintanya kepada keluarga.
Awalnya aku hanya menilai sikap Ibu yang begitu menggebu cinta kepada Indonesia dan seabreg kebudayaan di dalamnya, hanya seakan-akan saja, mirip wanita karier yang baru berdinas sebagai PNS. Ternyata dugaanku salah, terbukti saat kami sekeluarga meyaksikan berita di tivi, perihal pesawat yang jatuh ke laut, dan saat penyiar berita itu menyebut mata uang negara lain.
Tim Basarnas mendatangkan alat canggih Side Scan Sonar yang baru dibeli seharga ... zu es dolar.
Ibu langsung melempar asbak granit tepat di cocotnya penyiar itu.
”Piaaarrr”
Ujung-ujungnya aku yang menyapu pecahan kaca televisi flat itu. Kulihat muka Ayah memerah, napasnya sesak, menahan amarah yang mendidih.
”Ibu, kenapa?” tanya Ayah sembari mengekor Ibu angkat kaki dari sofa menuju kamar.
”Negara kita ini punya rupiah, kenapa penyiar goblok itu menyebut mata uang negara lain!” ketus ibu.
”Itu bukan urusan, Ibu.”
Tak ada balasan dari Ibu. Ayah juga tak melanjutkan kalimatnya.
Cerita di atas hanya sekelumit peristiwa buruk keluargaku karena sikap dan olah Ibu.
***
Ibu memegang peranan penting dalam produk kain batik tulis dan cap yang kami kelola bersama, ia tak sembarangan melukis corak batik produksinya, mulai memilih motif, gambar mentahnya dan pemolanian penebalan gambar mentah kecorak batik tulis dengan lilin cair berwarna, proses penyantingan itu Ibu sebut dengan merajah.
Hal itu terbukti ketika Ibu ingin merampungkan kain batik maha karya dengan corak seribu bunga kecil-kecil dangan kerlip bintang jatuh serta senyuman siluet daun-daun waru, ‘sekar jagat cinta’ tajuk dari batik maha karya Ibu.
Dan di setiap canting mengukir corak, Ibu curahkan sepenuhnya rasa cinta yang dahsyat agar kain maha karyanya nanti dipenuhi daya pengasihan yang luar biasa, kata Ibu sepotong-sepotong.
”Kenapa motif batik Ibu selalu bunga-bunga, kadang keindahan alam? Apakah tidak ada yang lain yang lebih menarik dari motif itu, Bu?” tanyaku di kesepatan yang lain.
”Jati diri itu penting, setiap daerah yang ada di Indonesia ini mempunyai ciri khas motif batik tersendiri, kita juga tidak menolak pesanan bermotif pegon, ragam budaya, artefak dan parahyangan, yang penting proses pembuatannya penuh cinta,” papar Ibu dengan bias senyum keayuan.
September kemarin, Ibu meminta aku untuk menemaninya berangkat ke Jakarta, menjadi salah satu dewan juri dalam lomba batik nusantara piala Presiden. Ibu menerima penghormatan sebagai dewan juri di lomba batik khusus kategori batik tulis, tersebab sanggar batik ”Kemilau Nusantara” yang Ibu gawangi menjadi jujukan pakaian batiknya keluarga Presiden, bukan hanya itu alasannya, tetapi batik Ibu menurut mereka berkualitas tinggi, serta ditunjang banyaknya piagam penghargaan yang Ibu terima hampir setiap tahun, tingkat; kecamatan, kabupaten, gubenur, kementerian, serta piala-piala dari berbagai event batik tingkat nasional.
”Kenapa motif batik Ibu selalu bunga-bunga, kadang keindahan alam? Apakah tidak ada yang lain yang lebih menarik dari motif itu, Bu?” tanyaku di kesepatan yang lain.
***
Ruangan yang dingin itu tak menjadikan para dewan juri serta beberapa perwakilan dari pejabat Kementerian Perindrustian serta Ditjen Hak Kekayaan Intelektual juga mendingin, mereka tegang dan panas, berdebat menentukan pemenang batik pada kategori batik tulis.
”Saya tetap tidak setuju kalau batik motif itu masuk sebagai tiga besar, dua puluh besar pun saya tidak bisa terima!” sanggahan Ibu dalam rapat para juri saat pimpinan dewan juri menawarkan salah satu batik peserta sebagai pemenang.
”Lho, kenapa tidak! Ini batik bahannya sutra berkualitas terbaik juga memakai campuran emas murni pada pewarna coraknya?” sahut juri yang lain.
”Apa yang paling membuat Bu Laras tidak setuju batik ini masuk dalam tiga besar!” Pimpinan dewan juri melontarkan pertanyaan sambil memegang batik yang konon ada campuran emas murninya itu.
”Ya, Bu, coba jelaskan!” juri perempuan yang duduknya di depan Ibu. Hampir semua yang ada di ruangan itu tak sependapat dengan Ibu.
”Jawabnya simpel. Kita tahu batik adalah khasanah budaya Indonesia, dan dengan berbatik kita jadi Indonesia yang benar-benar Indonesia di kancah dunia, kenapa harus memasukan ornament bangsa lain, yang menjadikan saya sangat tidak setuju dan langsung saya gugurkan batik tersebut dalam event saat ini adalah motifnya bertajuk batik Belanda, tertera di kainnya juga ‘Kincir Angin Belanda’. Sekali lagi, ini Indonesia, sudah berapa puluh nama buah dari jerih payah petani Indonesia yang diperkosa namanya menjadi sebutan nama buah negara lain, belum dari sisi kedudayaan dan kesenian yang diplagiat – diklaim negara tetangga. Apakah Indonesia sudah tak punya kebudayaan yang menarik, miskin keindahan? Pokoknya batik bermotif atribut—nama negara lain saya diskualifikasi, meski bahan bakunya memaki emas murni!” penjelasan Ibu menohok para juri.
”Wah... Ibu kurang fleksibel!” seloroh dewan juri yang logat ngomongnya bencong.
”Fleksibel, bagaimana? Ini soal budaya kita!”
”Maka dari itu, Ibu jangan kolot!”
”Maksud saudara?” Ibu mulai tersinggung.
”Ibu jangan berselera hanya dengan corak bunga saja, keindahan alam saja, sesekali membaca sejarah biar tahu dan tidak langsung main diskualifikatif begitu!”
Sekali lagi, ini Indonesia, sudah berapa puluh nama buah dari jerih payah petani Indonesia yang diperkosa namanya menjadi sebutan nama buah negara lain, belum dari sisi kedudayaan dan kesenian yang diplagiat – diklaim negara tetangga.
”Sejarah? Sejarah batik yang mana, coba?”
Ibu melempar sorot mata geram kepada juri yang kebencongan asal ngomong itu, para juri diam.
”Saya suka dan cinta motif batik apa pun dan dari daerah mana pun asal jangan memasukan tetekbengek milik negara lain untuk sebuah karya batik Indonesia,” sambung Ibu.
”Sudah! Sudah... siapa yang setuju batik bermotif kincir angin Belanda ini sebagai pemenangnya dan beri apresiasinya?” Pimpinan dewan juri menyela.
”Lho, jangan main voting begitu dong, Pak?” sanggah Ibu.
”Jika Ibu tidak setuju silahkan meninggalkan ruangan ini!” Pimpinan dewan juri menunjuk pintu keluar penuh emosi.
Lantang suara Pimpinan dewan juri sungguh tak beretika. Ibu, aku dan satu juri peremupuan meninggalkan ruangan penuh kekecewaan. Keputusan dan perkataan Pimpinan dewan juri itu menimbulkan enigma dan perih di sekujur batin Ibu.
***
Sudah tiga malam setelah kepulangan dari Jakarta, Ibu tak pernah nyenyak dalam tidurnya. Ayah menyuruhku tidur bareng Ibu. Selain Ayah menghindari debat ruwet dengan Ibu, karena aku anak sulung juga satu-satunya anak perempuan dari tiga bersaudara.
Belakangan, sering aku dapati Ibu kerap kaget di tengah lelapnya, juga selalu mengigau, ”Ini lomba batik nasional, masak pemenangnya batik bermotif Belanda. Edan itu jurinya!”
Pernah pada suatu malam aku menangkap bias cinta Ibu yang menyilaukan dan aku hanya diam mengikuti langkah kaki Ibu saat menuju ke gudang (tempat produksi batik) lalu menggambar aneka macam motif, kemudian mendekap erat kain batik maha karyanya sampai azan Subuh menghentikan laku Ibu.
Hal demikian sering Ibu lakukan di saat anggota keluarga terlelap, kecuali aku. Hingga pada dini hari yang lain, kobaran cinta Ibu meluap-luap lepas melampui batasnya, kobaran itu semakin membesar, kulihat Ibu tak seperti Ibuku; mata ibu, rambutnya, langkah-langkah kakinya menyala-nyala, lalu Ibu mengumpat-umpat dengan sedikit gentayangan, dan akhirnya menendang tungku api yang masih menyala, hingga api itu muncerat, merambat cepat melahap-membakar gudang.
Aku berteriak minta tolong. Menggedor-gedor kamar Ayah, sambil terus berteriak-teriak minta tolong.
”Biarkan aku terbakar bersama batik-batikku! Biarkan, Yah!”
Ibu meronta-ronta saat ayah mendekap menyelamatkannya.
”Ayo keluar, Bu! Jangan melawan!”
Ayah memaksa – menutupi Ibu dengan kasur lantai yang basah.
”Ayah keluar sana!” sergah ibu. Entah kekuatan dari mana, ibu mampu mendorong ayah terjungkal beberapa jengkal.
Beberapa jenak, Ibu lunglai setelah kayu ring penyangga genting menimpa punggungnya.
”Bruug!”
”Ibuuuu ...!” teriak Ayah, kemudian membopong Ibu menerjang kobaran api.
Sementara aku, keluarga dan warga terus berusaha memadamkan api dengan alat seadanya.
Waktu bergulir, satu jam selanjutnya Ibu siuman, batik maha karya itu terselinap didekap tangannya. Bibir ibu gemetaran, seperti ingin mengentakkan sesuatu. Namun, tak kuasa untuk mengucap, hanya jerit tangis yang pecah.
Sorot mata Ibu adalah kobaran api, entah api yang keluar dari percikan sakit hati, kekecewaan atau api yang muntah dari kekuatan cinta yang terlanjur mengakar di dasar jiwa.
Ibu telah terbakar cinta yang menjadi ruh dalam kehidupannya.[*]
Pekalongan - Demak, 2019.
_______________
Gansar Dewantara, lahir dari sastra pesantren. Alumnus Ponpes Raudlatus–Salikin, Wedung, Demak. Pegiat komunitas literasi pena santri Demak (PeSAN). Sekarang berkerja dan tinggal di Demak, Jawa Tengah.