Pelonggaran pembatasan sosial berskala besar dapat dimulai, asalkan syarat pelonggaran sudah terpenuhi. Salah satunya, yakni tes PCR secara massal dan cepat untuk memberikan data yang akurat terkait penyebaran Covid-19.
Oleh
SHARON PATRICIA / YOESEP BUDIANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelonggaran pembatasan sosial berskala besar harus dilakukan dengan mengacu pada data yang valid terkait perkembangan coronavirus disease atau Covid-19. Tanpa data yang akurat, pelonggaran dinilai berpotensi memperpanjang masa pandemi.
Data LaporCovid19.org, platform digital terkait pelaporan Covid-19 menunjukkan, ada selisih data kematian antara penghitungan yang memasukkan orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) dengan yang hanya memasukkan orang positif Covid-19 di 24 provinsi. Selisih tersebut mencapai 3,5 kali lipat.
Hingga Minggu (17/5/2020), Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat, ada sebanyak 1.148 orang positif Covid-19 yang meninggal. Jika memperhitungkan kematian ODP dan PDP, jumlahnya diperkirakan mencapai lebih dari 4.000 orang.
Irma Hidayana, salah satu inisiator platform LaporCovid-19.org menyampaikan, selisih terjadi karena data yang selama ini disampaikan kepada publik hanyalah data kematian yang sudah dinyatakan positif Covid-19. Data tersebut tidak mencakup data kematian ODP dan PDP.
”Kondisi ini membuat data pelaporan kematian terkait Covid-19 tidak lengkap. Masyarakat pun menjadi tidak mengetahui seberapa besar dampak penyakit ini sehingga mereka tidak waspada,” ujar Irma.
Paparan ini mengemuka dalam konferensi pers bertemakan ”Berdamai atau Justru Menyiapkan Pertempuran Jangka Panjang”. Hadir pula sebagai narasumber, antara lain Beben Benyamin, ahli biostatistik Indonesia yang juga pengajar di School of Health Sciences University of South Australia; Tri Maharini, dokter emergensi dari Persatuan Dokter Emergensi Indonesia; Vinny Arista dan Florence Armein, relawan LaporCovid19.
Kompas mencatat, kesan meremehkan terlihat dari berbagai kerumunan yang masih terjadi, salah satunya penumpukan penumpang yang sempat terjadi di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten pada Kamis (14/5/2020) pagi. Penumpukan terjadi setelah Kementerian Perhubungan menerbitkan surat edaran yang mengizinkan layanan transportasi kembali beroperasi meski terbatas.
Irma menegaskan, keputusan untuk transisi menuju normal baru dengan membuka kembali aktivitas ekonomi harus didasari pada indikator yang terukur. Data yang bisa dipercaya secara ilmiah dan transparan juga menjadi faktor penting.
Untuk itu, pemerintah harus lebih memperbanyak tes PCR dan mempercepat proses pelaporan. Penelusuran kontak dengan pasien positif dan karantina selama minimal 14 hari terhadap mereka yang diduga terinfeksi harus lebih ditegakkan.
”Pemerintah juga dituntut untuk mengikuti panduan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) dalam melaporkan korban Covid-19. Mereka yang meninggal dengan status ODP dan PDP pun harus dilaporkan,” ujar Irma.
Syarat pelonggaran
Beben Benyamin menjelaskan, untuk mengestimasi atau memperkirakan daya penularan dari suatu penyakit, dapat dilihat dari angka reproduksi dasar (basic reproductive number/R0). Semakin tinggi angkanya, penularan penyakit tersebut semakin cepat.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian, kata Beben, Covid-19 memiliki R0 sebesar 3. Artinya, dari 1 orang yang terinfeksi Covid-19 dapat menyebarkan ke 3 orang, kemudian menyebar lagi ke 9 orang dan seterusnya.
”Perbandingannya kalau terkena flu, dalam waktu 10 kali proses penularan kita menularkan ke 14 orang tetapi kalau terinfeksi Covid-19, maka dalam waktu 10 kali penularan kita bisa menularkan ke 60.000-70.000 orang,” ujarnya.
Menurut Beben, penyebaran yang begitu cepat harus sejalan dengan tes PCR yang cepat. Namun, untuk Indonesia, tes 10.000 per hari belum juga dapat dilakukan dalam waktu dua bulan ini.
Dengan begitu, sebelum memutuskan pelonggaran PSBB, ada syarat yang harus dipenuhi. Pemerintah harus berfokus menggunakan data epidemiologi di negaranya untuk mengidentifikasi hotspot dan kluster penyebaran Covid-19.
Selain itu, pemerintah juga harus bisa memastikan kapasitas rumah sakit cukup untuk merespons pandemi ini. Baik untuk mengisolasi maupun merawat orang-orang yang terduga dan terinfeksi Covid-19.
”Pertanyaannya, apakah Indonesia sudah bisa memulai pelonggaran dengan kondisi yang ada sekarang dan langkah yang dilakukan pemerintah? Apakah kita sudah memenuhi syarat untuk bisa melakukan pelonggaran?” tutur Beben.
Tri Maharini juga menyoroti tes PCR yang belum maksimal. Menurut dia, tes massal harus lebih digalakkan, salah satu caranya dengan melakukan tes di semua rumah sakit kabupaten kota untuk mengantisipasi penumpukan dan keterlambatan dari hasil tes PCR.
”Rapid test harus bisa dilakukan di tempat yang paling dasar, misalnya di posko, di puskesmas sehingga hasil orang yang dites pun akan meningkat. Kalau tidak begitu, angka mortalitas terlihat menjadi rendah karena orang meninggal sebelum dites,” kata Tri.
Sukarelawan data
Angka kematian di Indonesia akibat Covid-19 memang belum merekam data secara utuh. LaporCovid19.org pun berupaya untuk melengkapi data agar masyarakat lebih waspada dan pemerintah bisa membuat keputusan tepat.
Langkah ini dilakukan oleh para sukarelawan LaporCovid19.org, salah satunya Florence Armein yang bertugas memperbarui data di 4 kabupaten di Sumatera Utara dan 6 kabupaten di Sumatera Selatan. Ada pun Vinny Asrita bertugas memperbarui data empat kabupaten di Sulawesi Utara.
Mencari data terkait Covid-19 per kabupaten kota dikatakan menjadi tantangan tersendiri. Sebab, belum ada keseragaman data dalam pencatatan terkait Covid-19 dan tidak semua wilayah sudah secara transparan membuka datanya.
Sukarelawan LaporCovid19.org pun kini baru memegang 345 kabupaten kota di 24 provinsi. Masih ada daerah-daerah yang belum terdata karena kurangnya tenaga sukarelawan.