Solidaritas Sosial, Buah Manis dari Sejarah Indonesia
Gotong royong, budaya masyarakat Indonesia yang sudah mengakar sejak lama, menjadi kekuatan melawan Covid-19. Uluran tangan masyarakat terus dibutuhkan di tengah masa pandemi yang belum diketahui kapan akan berakhir.
Sikap solidaritas dan saling membantu sesama di tengah pandemi coronavirus disease (Covid-19) memang telah mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia. Buah manis yang mengukir sejarah ini tak lepas dari pemikiran para pendiri bangsa.
Bung Hatta, dalam Buku Pancasila Kekuatan Pembebas (2012) mengutarakan pandangannya tentang masyarakat desa dengan tradisi yang mengedepankan aspek solidaritas dan saling membantu melalui kegiatan gotong royong. Begitu pun yang ditekankan oleh Bung Karno, yakni ikatan masyarakat desa terjadi karena hubungan persaudaraan, bukan sebuah kontrak sosial.
Pemikiran-pemikiran ini semakin mewujud nyata di kala peperangan melawan virus korona tipe baru penyebab Covid-19, musuh biologis yang tak kasatmata. Sama seperti virus korona yang kian menyebar, gerakan kemanusiaan pun terus melawannya dengan menyebarkan kebaikan.
Bukan pertama kalinya bagi masyarakat Indonesia untuk bahu-membahu menjaga kehidupan sesama. Setiap bencana terjadi, tanpa menunggu negara hadir, inisiatif rakyat menjadi benteng terdepan sebagai aksi tanggap bencana.
Dalam krisis yang terjadi pada tahun 1998, Kompas mencatat, terjadi gerakan ibu yang menyuarakan, mulai dari krisis ekonomi hingga kegalauan akibat hilangnya anak-anak mereka, para aktivis yang diculik. Gerakan ini diinisiasi salah satunya oleh Sita Aripurnami yang tergabung dalam Kalyanamitra, kumpulan feminis yang didirikan tahun 1985.
Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian saat itu, Sita melihat pentingnya sinergi dari bekerja sama untuk saling menguatkan, bukan sebaliknya. Para ibu melakukan inisiatif membuat nasi bungkus dan mengumpulkan konsumsi untuk mahasiswa, bantuan lain pun terus mengalir (Kompas, 20 Desember 1998).
Baca juga : Pandemi Covid-19 Menjadi Momentum Menumbuhkan Solidaritas
Belum lagi dalam beberapa bencana berskala besar, antara lain saat bencana tsunami Aceh tahun 2004, gempa di Yogyakarta, letusan gunung Merapi tahun 2010, hingga bencana Lombok serta Palu tahun 2019. Inisiatif rakyat tetap menjadi tulang punggung ketangguhan bangsa.
Ketahanan masyarakat ini juga diakui dalam artikel The Diplomat berjudul ”Indonesia and COVID-19: What the World Is Missing” yang terbit pada 24 April 2020. Meski pada awal artikel dilaporkan Pemerintah Indonesia ”gagal” saat awal merespons Covid-19, kemudian disadari ada sesuatu yang terlewatkan.
Shane Preuss, penulis artikel ini, mengatakan, Indonesia tidak sendiri. Pemerintah di seluruh dunia, bahkan termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), juga telah salah pada awal mengalkulasi ancaman terjadinya pandemi.
Hal yang terlewatkan, kata Preuess, adalah inisiatif rakyat Indonesia yang bersama-sama memerangi Covid-19. ”Rakyat Indonesia memiliki keyakinan bersama dan rasa tanggung jawab untuk menghadapi Covid-19, itu sesuatu yang harus disorot,” tulisnya.
Negara dermawan
Tak mengherankan, pada 2018, untuk pertama kalinya Indonesia dicatat sebagai negara paling dermawan di dunia oleh Charity Aid Foundation melalui World Giving Index 2018. Kedermawanan Indonesia dengan skor 59 persen dinilai dari menolong orang asing yang membutuhkan, mendonasikan uang, dan menjadi sukarelawan.
Baca juga : Solidaritas Kemanusiaan Menembus Perbedaan
Skor yang dicapai Indonesia dikatakan tidak banyak berubah dibandingkan tahun lalu saat berada di posisi kedua setelah Myanmar. Namun, untuk kali ini Myanmar harus turun ke posisi sembilan setelah empat tahun berada di urutan pertama.
Dalam hal menolong orang asing yang membutuhkan (46 persen), meski tidak termasuk dalam 10 urutan teratas, Indonesia memiliki skor lebih tinggi dipandingkan Myanmar (40 persen). Posisi pertama ditempati Libya dengan dengan skor 83 persen orang dari total populasi yang bersedia menolong orang asing.
Untuk hal berdonasi, Indonesia berada di posisi kedua dengan skor 78 persen. Posisi pertama tetap ditempati Myanmar selama enam tahun meski skornya menurun dari 91 persen menjadi 88 persen.
Posisi pertama dipegang Indonesia untuk kategori menjadi sukarelawan dengan skor 53 persen, meski dengan skor yang tidak banyak berubah. Posisi kedua kemudian diikuti oleh Liberia (47 persen) dan kemudian Kenya (45 persen).
Legatum Prosperity Index, pada 2019, memosisikan Indonesia di posisi kelima dari 167 negara dalam kategori kekuatan modal sosial. Kategori ini mengukur kemampuan personal dan hubungan sosial, nilai-nilai sosial, dan partisipasi masyarakat sebagai warga negara.
Inisiatif rakyat
Sejak adanya pandemi Covid-19, bantuan dari rakyat dan untuk rakyat tidak hentinya mengalir. Salah satu situs penggalangan dana dalam jaringan, KitaBisa.com, mencatat, dana yang terkumpul untuk membantu penanganan Covid-19 lebih dari Rp 140 miliar dari dua juta donasi.
Pendiri KitaBisa.com, Al Fatih Timur, mengatakan, penyaluran dana yang sudah digunakan mencapai 80 persen dari berbagai kampanye yang dilakukan. Sebagai contoh, kampanye #BersamaLawanCorona yang diadakan KitaBisa.com sudah mengumpulkan dana lebih dari Rp 28 miliar dari sekitar 269.000 donatur.
Dari dana tersebut, pada 16 Maret-14 Mei 2020, beberapa jenis bantuan yang sudah disalurkan antara lain masker (116.671 buah), alat pelindung diri (38.872 pasang), pelindung wajah (2.584 buah), nurse cap (2.250 buah), kacamata medis (10.340 buah), sarung tangan medis (252.920 pasang), alas kaki medis (9.686 pasang) yang sudah didistribusikan ke rumah sakit dan puskesmas di Indonesia.
Adapun bantuan berupa bahan kebutuhan pokok (21.846 paket), makanan (25.271 paket), vitamin (160 boks). Selain itu, dana juga digunakan untuk penyemprotan disinfektan di 168 lokasi dan instalasi wastafel portable di 22 lokasi.
Kondisi ini, kata Fatih, menunjukkan modal sosial masyarakat yang memang sudah terbentuk karena sudah biasa berbagi dan saling membantu. KitaBisa.com juga menjadi saksi langsung dari jutaan kebaikan masyarakat.
”Otot solidaritas kita sudah terbentuk karena memang sudah terlatih. Tapi memang seolah apa yang kita lakukan ini seperti menggarami lautan, kayak enggak akan cukup. Maka gotong royong perlu terus dilakukan,” ujarnya.
Selain berupa donasi, aksi solidaritas sosial juga bisa dilakukan dengan memberikan informasi keadaan sekitar terkait Covid-19 yang akan menjadi data akurat. Upaya untuk memberikan transparansi data terkait Covid-19 kini sedang dikerjakan oleh LaporCovid19.
Irma Hidayana, salah satu inisiator platform LaporCovid-19, menilai, masih diperlukan banyak sukarelawan data untuk membantu mencarikan data terkait Covid-19 yang valid. Data kemudian digunakan untuk melengkapi data pemerintah agar dapat mengambil kebijakan yang tepat.
”Saat ini baru 345 dari 514 kabupaten kota di Indonesia yang sudah ada sukarelawan data. Kami masih membutuhkan para sukarelawan data untuk membantu memperbarui data harian seputar Covid-19,” ujar Irma.
Masyarakat secara umum pun, kata Irma, dapat berperan serta dengan memberikan laporan keadaan sekitar. Mulai dari laporan keramaian, laporan keluhan dari pelayanan dan penanganan Covid-19, hingga laporan keluhan tes.
Dari data yang sudah dihimpun, LaporCovid19 menemukan, data pelaporan kematian yang tidak lengkap karena tidak menyertakan kematian orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP). Perbandingan kematian dengan memperhitungkan orang yang berstatus ODP dan PDP dengan positif Covid-19 di 24 provinsi tercatat mencapai 3,5 kali lipat.
Sebagai contoh, apabila ada 100 orang yang dinyatakan meninggal positif Covid-19, seharusnya ada sekitar 350 orang yang meninggal, termasuk mereka yang berstatus PDP dan ODP. Artinya, data sangat penting untuk memberikan gambaran utuh dari dampak Covid-19.
”Maka keputusan untuk transisi menuju new normal dengan membuka kembali aktivitas ekonomi harus didasari pada indikator yang terukur dengan data valid. Jika tidak, warga yang akan selalu menjadi korban,” ucap Irma.