Indonesia memasuki tatanan kehidupan baru. Menurut Presiden Jokowi, masyarakat harus berdamai dan hidup berdampingan dengan Covid-19 karena virus itu tak akan hilang. Berdampingan bukan menyerah, tetapi harus melawan.
Oleh
Nobertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
Tatanan kehidupan baru di tengah pandemi harus dijalankan dengan syarat mendahulukan penanganan Covid-19 dan penerapan protokol kesehatan yang ketat karena kemungkinan berlangsung lama.
Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan, Indonesia akan memasuki tatanan kehidupan baru (new normal). Menurut Presiden Jokowi, masyarakat harus berdamai dan hidup berdampingan dengan Covid-19 karena virus itu tak akan hilang. ”Berdampingan itu justru kita tak menyerah, tetapi menyesuaikan diri (dengan bahaya Covid-19). Kita lawan Covid-19 dengan kedepankan dan mewajibkan protokol kesehatan ketat,” katanya.
Hingga Kamis (21/5/2020), total pasien Covid-19 berjumlah 20.162 kasus atau bertambah 973 kasus. Sementara yang meninggal 1.278 kasus atau tambah 36 kasus dan yang sembuh 4.838 orang atau tambah 263 orang. Ini artinya, kasus Covid-19 belum menunjukkan penurunan. Sejauh ini, pusat perbelanjaan dan pasar tampak masih dijejali warga. Sebagian abai atas protokol kesehatan.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), syarat pelonggaran pembatasan sosial saat Covid-19, selain terjadi penurunan kasus selama tiga pekan, 80 persen kasus harus diketahui data kontak beserta kluster serta turunnya angka kematian. Syarat lainnya, jumlah pasien Covid-19 turun dua pekan. Demikian pula angka kematian penderita pneumonia.
Ketua Umum Palang Merah Indonesia yang juga Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla dalam Satu Meja The Forum bertajuk ”New Normal, Cara Baru Hadapi Pandemi”, yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (21/5/2020), mengatakan, penafsiran pemerintah saat Covid-19 menyebar di China bahwa virus tak berbahaya mengakibatkan pengendalian kini sulit dilakukan. Selain berbahaya, Covid-19 terbukti cepat menular.
Berdampingan itu justru kita tak menyerah, tetapi menyesuaikan diri (dengan bahaya Covid-19). Kita lawan Covid-19 dengan kedepankan dan mewajibkan protokol kesehatan ketat.
”Dari 100 persen orang di Indonesia yang dites, 10 persen positif (Covid-19), dan dari 10 persen itu, 7 persen meninggal. Begitu tinggi risikonya,” ujar Kalla.
Diskusi dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, diikuti narasumber lewat video konferensi, yakni pendiri Rumah Perubahan Rhenald Kasali, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Agustin Kusumayati, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
Menurut Kalla, pengobatan mereka yang mengidap Covid-19 sangat penting. Namun, warga harus disiplin terapkan protokol kesehatan, yakni kurangi bepergian serta jaga jarak dan kebersihan diri. Di sisi lain, penyemprotan disinfektan harus secara terus-menerus.
Berdamai dengan Covid-19, tambah Kalla, bukan berarti tak ada bahaya sehingga membiarkan saja, tetapi tetap terus berperang. Dengan tatanan kehidupan baru, masyarakat harus beradaptasi, seperti penerapan protokol kesehatan yang ketat dengan kemungkinan lama. Pemerintah diminta tetap dahulukan penanganan Covid-19 dibandingkan dengan merelaksasi pembatasan sosial berskala besar. Sebab, stimulus ekonomi tak efektif jika penyebab tak diatasi.
Sebagai Ketua DMI, Kalla pun mengimbau agar umat Islam melaksanakan shalat Idul Fitri di rumah masing-masing pada hari raya Idul Fitri. Sebab, dalam keadaan darurat, kemaslahatan umat menjadi hal utama.
Melihat dari berbagai sisi
Rhenald mengatakan, wacana pelonggaran PSBB perlu dilihat dari banyak sisi. Secara sosiologis, PSBB terus-menerus membuat manusia sebagai makhluk sosial merasa jenuh. Sisi ekonomi, Covid-19 menghantam usaha kecil dan menengah. Krisis ini berbeda dari krisis 1998 yang menghantam sektor keuangan dan pengusaha besar.
Fenomena pasar atau pusat perbelanjaan yang diserbu, menurut Rhenald, lebih merupakan peristiwa budaya. Masyarakat berbelanja karena akan merayakan Idul Fitri yang tinggal beberapa hari. Di sisi lain, banyak masyarakat yang jenuh. ”Ini harus cari jalan keluarnya. Tadi disebutkan salah satunya law enforcement, itu bukan segala-galanya,” ujar Rhenald.
Terkait kerawanan sosial karena sulitnya ekonomi, ujar Rhenald, sebagian coba diatasi pemerintah dengan insentif dan keringanan. Namun, soal utamanya, banyak masyarakat kehilangan pekerjaan. Bagi warga miskin, bantuan langsung tunai dinilai akan lebih baik.
Dari sisi kesehatan publik, Agustin mengatakan, merujuk syarat pelonggaran pembatasan sosial oleh WHO, kondisi Indonesia saat ini belum memungkinkan. Sebab, kasus Covid-19 terus naik. Apalagi, fasilitas kesehatan belum bisa atasi lonjakan kasusnya karena perlunya fasilitas dan sukarelawan. Di sisi lain, kemampuan pengawasan mengidentifikasi kasus penularan secara cepat dan tepat dinilai belum siap.
Wacana pelonggaran PSBB perlu dilihat dari banyak sisi. Secara sosiologis, PSBB terus-menerus membuat manusia sebagai makhluk sosial merasa jenuh. Sisi ekonomi, Covid-19 menghantam usaha kecil dan menengah. Krisis ini berbeda dari krisis 1998 yang menghantam sektor keuangan dan pengusaha besar.
Oleh karena itu, Covid-19 menjadi masalah utama yang semestinya ditangani. Pasalnya, penderita selain Covid-19, seperti tuberkolosis, hingga ibu hamil dan vaksinasi anak, tak jalan karena mereka enggan ke rumah sakit. ”Banyak sekali masalah kesehatan lanjutan akan dialami. Karena itu, kita perlu bergotong royong atasi secepatnya,” kata Agustin.
Khofifah menambahkan, lonjakan positif Covid-19 di Jatim berasal dari kluster sebelum PSBB di Surabaya dan Malang Raya. Kasusnya baru terkonfirmasi pasca-penelusuran dan tes usap. Pemprov Jatim kini menambah kapasitas layanan kesehatan.
Yang positif dievakuasi ke rumah sakit, bukan isolasi mandiri. Meski demikian, PSBB belum seluruhnya diberlakukan di Jatim. Pemprov Jatim masih akan melihat efektivitas PSBB di wilayah Surabaya dan Malang Raya.
”Saat kita punya regulasi, maka perlu penegakan hukum. Efektivitas penegakan hukum sangat menentukan kedisiplinan dalam mentaati regulasi,” ujar Khofifah.
Jadi, sebelum berdampingan dengan Covid-19, pastikan terlebih dahulu penanganan efektif dan penerapan PSBB yang ketat serta penegakan hukum.