Rencana penerapan normal baru dinilai belum matang karena kurang memerhatikan kemungkinan dan ekses dari relaksasi PSBB. Masih banyak celah di sejumlah sektor.
Oleh
Agnes Theodora/cyprianus anto saptowalyono
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah melonggarkan pembatasan sosial berskala besar tanpa persiapan matang bisa membawa dampak yang lebih buruk terhadap perang melawan Covid-19. Kebijakan itu juga belum tentu signifikan memulihkan ekonomi nasional yang banyak terpengaruh disrupsi sentimen pasar serta rantai pasokan global.
Meski demikian, pemerintah tetap menyeriusi rencana relaksasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Pada 20 Mei 2020, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) No. HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.
KMK itu dikeluarkan untuk menyiapkan dunia usaha dan dunia kerja menyambut transisi kehidupan normal baru. Dalam regulasi itu, pelaku usaha dan industri diminta menyiapkan protokol kesehatan baru yang lebih ketat untuk tetap beroperasi di tengah pandemi.
Beberapa di antaranya pengaturan lembur dan sif kerja sesuai usia, mengatur asupan nutrisi makanan bagi pekerja untuk menunjang daya tahan tubuh, menerapkan pembatasan jarak fisik di lingkungan kerja, dan penyediaan sarana untuk mencuci tangan. Ini diterapkan selama masa PSBB.
Sementara, pasca-PSBB, protokol kesehatan lebih ketat berlaku. Misalnya, perkantoran wajib menyediakan ruang khusus, bahkan fasilitas karantina/isolasi mandiri untuk mengobservasi pekerja yang memiliki gejala Covid-19. Perkantoran atau pabrik juga harus melakukan penyemprotan disinfektan setiap empat jam sekali.
Bidang usaha yang berkaitan dengan layanan publik juga harus memasang pembatas atau tabir kaca bagi pekerja yang melayani pelanggan. Pengukuran suhu tubuh juga ditetapkan di setiap titik masuk tempat kerja. Penerapan penjagaan jarak fisik juga dilakukan dengan mengatur jumlah pegawai yang masuk. Jika memungkinkan, perusahaan menyediakan transportasi khusus pekerja.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani saat dihubungi di Jakarta, Senin (25/5/2020) menyatakan, sebagian besar perusahaan siap mengikuti anjuran protokol itu. Namun, ia tidak menjamin hal serupa dapat dipenuhi, begitu sejumlah perkantoran dan pusat perbelanjaan kembali dibuka dalam waktu dekat dan kembali didatangi pelanggan.
”Masalahnya bukan di perusahaan, tetapi di masyarakat. Perusahaan dan pekerja akan lebih mudah karena ada sosialisasi dan kontrol internal. Tapi, kalau sudah berhadapan dengan publik, itu yang harus diantisipasi pemerintah,” kata Hariyadi.
Ia mencontohkan pusat perbelanjaan seperti mal. Karyawan dan manajemen mal relatif bisa patuh pada protokol kesehatan. Namun, belum tentu dengan masyarakat yang berbelanja. Pemerintah dinilai belum memperhatikan kemungkinan serta ekses dari relaksasi PSBB itu.
”Itu yang susah. Tidak hanya di mal, tetapi juga ruang publik lain, seperti transportasi. Kalau mau beroperasi lagi, kontrolnya bagaimana? Ini harus jadi tanggung jawab pemerintah,” katanya.
Itu yang susah. Tidak hanya di mal, tetapi juga ruang publik lain, seperti transportasi. Kalau mau beroperasi lagi, kontrolnya bagaimana? Ini harus jadi tanggung jawab pemerintah.
Tidak instan
Wakil Ketua Umum Apindo Sintha W Kamdani menambahkan, dampak pemulihan ekonomi dari relaksasi PSBB tidak akan instan. Sebab, tekanan pada kinerja manufaktur dan ekspor-impor tidak hanya terjadi karena PSBB, melainkan dipengaruhi sentimen pasar global dan rantai pasok global yang terdisrupsi.
”Ada faktor tekanan permintaan pasar nasional dan global yang kami juga tidak tahu pemulihannya akan seperti apa dalam waktu dekat. Itu sangat tergantung pada kepercayaan pasar dalam negeri dan global,” ujarnya.
Tekanan pada kinerja manufaktur dan ekspor-impor tidak hanya terjadi karena PSBB, melainkan dipengaruhi sentimen pasar global dan rantai pasok global yang terdisrupsi.
Shinta memproyeksikan, permintaan terhadap ekspor dan konsumsi nasional akan tetap naik pascanormal baru. Namun, peningkatannya akan lama dan belum tentu akan setinggi seperti masa prapandemi.
”Itu pun dengan proyeksi bahwa normal baru akan sukses ditransisikan pelaksanaannya tanpa menciptakan peningkatan penyebaran wabah secara lebih eksponensial sehingga tidak ada tekanan dari publik dan komunitas internasional yang bisa mendorong sentimen negatif terhadap iklim usaha dan investasi kita,” kata Sintha.
Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance Enny Sri Hartati mengemukakan, penerapan relaksasi PSBB dan membuka kembali perkantoran harus direncanakan dengan ekstra hati-hati. Pemerintah seharusnya tidak hanya memperhatikan pengetatan protokol kesehatan di perkantoran dan pabrik-pabrik, melainkan juga di ruang publik dan sektor lain seperti transportasi.
”Protokol kesehatan tidak cukup hanya di tempat kerja, justru titik krusialnya dalam perjalanan dari rumah ke tempat kerja dan sebaliknya,” kata dia.
Menurut Enny, tidak semua perusahaan bisa menyediakan kendaraan untuk mengantar jemput pegawainya bekerja. Sementara, mayoritas pekerja menggunakan transportasi publik untuk mencapai tempat kerja.
”Kalau mau merelaksasi PSBB, semua tempat harus mengikuti protokol Covid-19. Tidak hanya mal, ritel modern, tetapi juga pasar-pasar rakyat dan ruang publik lainnya,” ujarnya.
Kalau mau merelaksasi PSBB, semua tempat harus mengikuti protokol Covid-19. Tidak hanya mal, ritel modern, tetapi juga pasar-pasar rakyat dan ruang publik lainnya.
Enny menambahkan, protokol Covid-19 yang masih bersifat imbauan juga bisa berdampak fatal karena tidak semua perusahaan akan disiplin mengikutinya. Relaksasi PSBB seharusnya diikuti regulasi yang diikuti pengawasan dan sanksi yang ketat.
”Ini semuanya gamang, pemerintah tidak mampu bertanggung jawab secara hukum, sehingga yang berlaku hanya imbauan dan pendekatan moral,” ujarnya.
Transportasi
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Harya Setyaka Dillon ketika dihubungi di Jakarta, Senin, mengatakan, respons masyarakat setelah pandemi terhadap transportasi umum adalah persoalan empiris yang perlu disurvei. Ada orang-orang yang nanti memilih angkutan pribadi dibanding angkutan umum.
Ada juga orang-orang yang mungkin tetap tidak akan keberatan atau tidak punya pilihan selain naik angkutan umum ketika nanti lapangan pekerjaan sudah kembali dibuka.
”Masyarakat yang punya pilihan, yang punya kendaraan bermotor, misalnya, mungkin akan menggunakan kendaraan pribadi. Atau ada juga masyarakat yang berprinsip hanya akan naik angkutan umum ketika sudah sepi,” kata Harya.
Menurut Harya, perlu ada survei terkait kondisi normal baru ke depan. Survei itu antara lain bisa tentang pola kerja sehari-sehari, pilihan sarana bertransportasi, dan kombinasi antara keduanya. Tiga bulan ini, banyak korporasi yang sudah tahu cara mengoptimasi atau menjaga tingkat keluaran (output) dengan pola kerja yang ada dengan bekerja dari rumah. Kehadiran fisik di kantor tidak sewajib masa sebelum pandemi Covid-19.
Harya juga berpendapat, hal penting yang harus dilakukan saat pandemi Covid-19 adalah menghindari kerumunan. Langkah ini dibutuhkan untuk mencegah virus korona baru agar tidak menular lebih luas. Di sektor transportasi, pergerakan kendaraan memang tidak bisa ditekan sampai nol. Indikator keberhasilan opsi PSBB, termasuk pengendalian transportasi, juga tidak biner.
”Indikator paling definitif untuk keberhasilan PSBB adalah dengan melihat jumlah kasus positif pada 1-2 minggu ke depan. Semua langkah kami ini kan dalam rangka mencegah penyebaran virus. Oleh karena itu, berhasil tidaknya upaya ini ditentukan oleh tingkat penularan atau infeksi ke depan,” ujarnya.