Risiko penularan Covid-19 pada anak kian tinggi. Kondisi ini juga dapat mengancam persoalan kesehatan lainnya, seperti tengkes dan imunisasi dasar lengkap.
Oleh
Deonisia Arlinta
·4 menit baca
Tidak ada yang tahu kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Upaya mitigasi pun mendesak dilakukan, termasuk mitigasi untuk mengoptimalkan layanan kesehatan pada anak. Selain risiko penularan pada anak yang kian tinggi, kondisi ini dapat mengancam persoalan kesehatan lainnya, seperti tengkes serta imunisasi dasar lengkap.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2018, proporsi status gizi anak balita dengan indikator tinggi badan di bawah standar atau pendek (stunting) berada di angka 30,8 persen pada 2018. Sementara pemerintah menargetkan, status tengkes atau stunting bisa mencapai target 14 persen pada 2024.
Selain itu, cakupan imunisasi dasar lengkap pada anak usia 0-11 bulan yang tercatat per 20 April 2020 sebesar 93,7 persen. Jumlah ini melebihi target yang ditetapkan pemerintah, yakni 93 persen. Namun, jumlah ini masih di bawah target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mencapai 95 persen.
Persoalan lainnya adalah tidak meratanya cakupan di setiap daerah. Dari 34 provinsi, sekitar 14 provinsi saja yang cakupan imunisasi dasar lengkapnya mencapai 95 persen. Bahkan, masih ada 40 kabupaten atau kota yang cakupan imunisasinya kurang dari 60 persen.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Eni Gustina saat dihubungi di Jakarta, Selasa (26/5/2020), menyampaikan, pemerintah telah menerbitkan sejumlah pedoman bagi masyarakat serta tenaga kesehatan agar pelayanan kesehatan bagi anak tetap berjalan. Ini termasuk pemantauan status gizi serta pemberian imunisasi pada anak.
”Pada daerah yang zona hijau, misalnya, pelayanan imunisasi di posyandu tetap berjalan. Sementara di daerah zona merah akan disesuaikan dengan pelaksanaan memakai protokol kesehatan. Meski tidak ada posyandu di zona merah, imunisasi tetap bisa didapatkan di puskesmas dengan terlebih dulu membuat janji temu dengan petugas,” katanya.
Kementerian Kesehatan pun telah menerbitkan panduan pelayanan kesehatan anak balita pada masa pandemi Covid-19 bagi tenaga kesehatan. Dalam panduan tersebut dijelaskan, terkait sistem pelayanan kesehatan selama pandemi, proses rujukan ketika ada anak balita yang sakit serta pencatatan dan pelaporan status kesehatan anak.
Pada sistem pencatatan dan pelaporan status kesehatan anak, buku kesehatan ibu dan anak (KIA) diharapkan bisa dimanfaatkan secara optimal oleh orangtua dan tenaga kesehatan. Setidaknya, pencatatan dari buku ini bisa memperlihatkan kondisi gizi, status imunisasi dan penjadwalannya, serta pemantauan tumbuh kembang dan layanan kesehatan anak lainnya.
Layanan terbatas
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan menilai, berbagai ancaman kesehatan anak bisa terjadi karena terbatasnya pelayanan kesehatan anak pada masa pandemi. Banyak puskesmas dan posyandu yang tidak beroperasi maksimal.
Hal itu mengganggu pemantauan tumbuh kembang anak. Sementara sebagian orangtua memiliki keterbatasan keterampilan dan pengetahuan untuk memantau tumbuh kembang anaknya.
”Jika pandemi ini tidak segera berakhir dan tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah, kita bisa mengalami lost generation. Itu disebabkan target penurunan stunting (tengkes) tidak lagi diperhatikan, target cakupan imunisasi tidak tercapai, dan target lainnya yang tidak tercapai dalam SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan),” tuturnya.
Jika pandemi ini tidak segera berakhir dan tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah, kita bisa mengalami lost generation.
Selain itu, beban lainnya yang dihadapi saat ini adalah risiko penularan Covid-19 pada anak. Bahkan, kasus kematian pada anak akibat penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 ini pun cukup tinggi.
Berdasarkan pendataan oleh IDAI yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, setidaknya tercatat ada 129 anak yang meninggal dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19 dan 14 anak meninggal dengan status terkonfirmasi positif Covid-19.
Sementara data yang dihimpun oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang ditunjukkan dalam laman covid19.go.id tercatat, secara akumulasi jumlah kasus kematian pada usia 0-17 tahun per 25 Mei 2020 sebanyak 1,4 persen. Adapun data total kematian pada periode tersebut 1.391 kasus sehingga total kasus kematian pada anak usia 0-17 tahun mencapai 19 anak. Untuk data kematian anak pada status PDP tidak disebutkan oleh pemerintah.
Selain itu, data dalam lawan covid19.go.id menunjukkan, dari 22.750 kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19 per 25 Mei 2020, sebesar 7,5 persen di antaranya terjadi pada anak usia 0-17 tahun. Artinya, ada sekitar 1.700 anak di Indonesia yang tertular Covid-19.
”Pemerintah dan masyarakat luas harus lebih memperhatikan kesehatan anak selama masa pandemi ini. Tidak benar jika anak tidak bisa tertular Covid karena anak justru menjadi salah satu kelompok yang rentan tertular,” tuturnya.
Oleh karena itu, aturan terkait rencana dibukanya kembali sistem pembelajaran di sekolah perlu dipertimbangkan. Risiko penularan menjadi lebih besar. Belum lagi, pembatasan sosial sulit dijalankan oleh anak, baik mengatur jarak antarteman maupun menggunakan masker secara terus-menerus.
Risiko penularan itu juga perlu diperhatikan orangtua ataupun kerabat yang baru pergi dari luar rumah. Dalam panduan pencegahan Covid-19 pada anak yang diterbitkan Kementerian Kesehatan disebutkan, pencegahan penularan dari orangtua ke anak bisa dilakukan, antara lain dengan tidak boleh bermain ataupun menyentuh anak jika belum membersihkan diri dengan mandi dan berganti baju. Pakaian kotor bekas digunakan juga harus segera dicuci agar tak menjadi sumber penularan virus.