Dengan pilkada diputuskan tetap digelar tahun ini, KPU membutuhkan tambahan anggaran mencapai Rp 535,981 miliar. Anggaran terutama untuk meminimalkan penyebaran Covid-19 di setiap tahapan pilkada.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah, Komisi II DPR, beserta Komisi Pemilihan Umum sepakat untuk tetap menggelar pemilihan kepala daerah tahun ini. KPU menjanjikan setiap tahapan akan diterapkan protokol pencegahan Covid-19. Untuk itu, komisi membutuhkan tambahan anggaran hingga Rp 535,981 miliar. Sebelumnya anggaran untuk pemilihan telah teralokasikan sebesar Rp 14 triliun.
Kesepakatan itu terjadi dalam rapat konsultasi Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Rabu (27/5/2020).
Salah satu dasar dari keputusan, rekomendasi dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melalui Surat Ketua Gugus Tugas Nomor: B 196/KA GUGAS/PD.01.02/05/2020 tanggal 27 Mei 2020. Dalam surat itu, gugus tugas menyarankan pilkada lanjutan dapat dilakukan dengan syarat dilaksanakan dengan protokol kesehatan penanganan Covid-19 dalam setiap tahapan.
Rapat juga menyetujui usulan perubahan Rancangan Peraturan KPU tentang Perubahan atas PKPU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020.
Sesuai rancangan PKPU Perubahan, tahapan pilkada selanjutnya akan dimulai pada 15 Juni 2020 dengan protokol kesehatan. Protokol kesehatan itu di antaranya proses pencocokan data pemilih dilakukan secara daring, verifikasi faktual dukungan bakal calon pasangan perseorangan dengan prinsip penjarakan fisik, rekapitulasi suara berjenjang secara daring, serta kampanye menggunakan media daring.
Adapun pada hari pemungutan suara, pemilih ataupun penyelenggara pemungutan suara menjaga jarak aman serta menggunakan protokol Covid-19. Jumlah pemilih di setiap tempat pemungutan suara (TPS) akan dibatasi 400 pemilih. Luas TPS diperbesar dan diusulkan jumlah TPS ditambah.
Namun, jika pada hari pemungutan suara yang disepakati belum ada perubahan situasi persebaran Covid-19, pemungutan suara diusulkan menggunakan metode pos dan kotak suara keliling.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, karena pemungutan suara dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat, KPU membutuhkan dana tambahan untuk kebutuhan logistik pemilu. KPU membutuhkan tambahan logistik khususnya alat pelindung diri berupa masker, baju pelindung diri, sarung tangan, pelindung wajah, sabun cuci tangan, tisu, ataupun cairan disinfektan. Total kebutuhan anggaran untuk APD itu mencapai Rp 535,981 miliar.
”Penambahan anggaran untuk kebutuhan logistik pilkada ini harus dianggarkan melalui APBN karena berdasarkan hasil rapat koordinasi dengan KPU provinsi, penambahan anggaran dari pemerintah daerah sudah tidak mungkin,” kata Arief.
Terkait kebutuhan anggaran itu, rapat memutuskan pemerintah dan DPR akan membahasnya lebih lanjut. KPU, Bawaslu, dan DKPP diminta untuk mengajukan usulan tambahan anggaran.
Mendagri Tito Karnavian mengungkapkan, kebutuhan dana tambahan untuk logistik pemilu untuk protokol kesehatan Covid-19 seharusnya bisa diupayakan. Alasannya, realokasi anggaran daerah untuk penanganan Covid-19 tidak menggunakan anggaran pilkada.
”Khusus anggaran pilkada tidak boleh diganggu karena daerah akan kesulitan dengan anggaran yang fluktuatif saat ini. Kami akan mengecek jika memang ada daerah yang sudah mengalihkan anggaran dana pilkadanya,” kata Tito.
Pilkada berisiko
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengatakan, pilkada terlalu berisiko jika dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Sebab, dari sisi anggaran, peraturan teknis, penyesuaian tahapan, ataupun kapasitas penyelenggara pemilu dinilainya belum siap.
Menurut dia, dalam rapat disebutkan pilkada lanjutan akan dimulai pada 15 Juni. Namun, hingga kini, belum ada peraturan teknis KPU yang mengatur pelaksanaan pilkada di masa pandemi.
”Apakah waktu dua pekan itu cukup untuk merampungkan rancangan PKPU, kemudian menyosialisasikan kepada penyelenggara pemilu? Dengan situasi yang masih meraba-raba ini, pilkada sangat berisiko dan mengancam keselamatan warga negara,” katanya.
Menurut Titi, KPU seharusnya paham hal itu terlalu berisiko. Sebab, pelaksanaan pilkada di masa pandemi membutuhkan penyelarasan aturan teknis, penyesuaian anggaran, dan adaptasi dari petugas di lapangan. Oleh karena itu, dibutuhkan waktu yang relatif panjang untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
”Ini aturannya belum ada, anggaran juga belum ada, tetapi sudah yakin bahwa pilkada bisa digelar di Desember 2020. Waktunya terlalu singkat untuk membangun disiplin dan kebiasaan baru di masyarakat untuk taat pada protokol kesehatan,” kata Titi.